Begitu tiba di rumah, Nyoman Sukra langsung menuju kamar tidurnya. Tanpa mengganti pakaian kerja yang masih melekat di badannya, Sukra langsung saja memeluk bantal guling dan memejamkan mata.
Lelaki bujang berusia 27 tahun yang baru dua bulan menjadi pekerja kantoran itu merasa begitu capek, memang. Beban pekerjaan yang menumpuk di kantor membuatnya mesti segera menuntaskannya. Jika biasanya dia pulang ke rumah sekitar pukul 16.00, kini dia datang lebih lambat, sekitar pukul 18.00.
Melihat Sukra langsung tidur begitu sampai di rumah, sang ibu, Ni Ketut Supleg buru-buru menghampiri putra ketiganya itu. Dengan kelembutan kasih seorang ibu, Supleg duduk di samping tempat tidur anaknya. Dia pandangi wajah anaknya yang terlihat begitu lelah lalu diusapnya wajah anaknya itu dengan penuh sayang.
“Man, kamu capek sekali, ya,” bisik sang ibu di telinga Sukra.
Sukra tidak menjawab. Matanya tetap dipejamkan. Walau sesungguhnya dia mendengar bisikan ibunya itu. Dia baru membuka matanya ketika sang ibu mengulangi lagi bisikannya untuk kedua kalinya.
“Iya, Me. Capek sekali rasanya. Saya mau istirahat dulu,” kata Nyoman Sukra tetapi tetap memeluk bantal. Hanya matanya yang dibuka.
“Man, tak baik tidur sandikala seperti ini. Kamu akan langkahin surya. Itu bisa berpengaruh buruk pada dirimu,” kata sang ibu.
“Ah, itu kan hanya kone, Me. Orang saya capek sekali, mau gimana lagi, Me,” tampik Sukra.
“Ya, Meme mengerti kamu lagi capek. Tapi, sebaiknya jangan langsung tidur sekarang. Kamu mandi dulu, terus sembahyang, makan, baru kemudian tidur. Tunggu sandikala ini lewat dulu agar kamu tidak dimakan Batara Kala,” kata sang ibu lagi.
Sukra tak hendak membantah lagi. Meski dia masih ingin sekali tidur, dia memilih bangun demi memenuhi saran ibunya.
Sukra pun bergegas mandi. Setelah badannya bersih, dia pun mengenakan pakaian sembahyang menuju sanggah di rumah. Selesai sembahyang, Sukra menuju dapur menikmati hidangan yang disediakan ibunya.
“Tidur sandikala memang tidak baik, Man. Baik dari segi keyakinan kita di Bali, maupun dari segi kesehatan,” kata ayah Sukra, I Ketut Mudra.
“Apa pengaruhnya dari segi kesehatan, Pa,” tanya Sukra.
“Kalau kamu tidur saat sandikala, kamu bisa terbangun nanti pada tengah malam. Akhirnya kamu terpaksa begadang karena tidak akan bisa tidur lagi hingga pagi. Sementara esok kamu mesti sudah berangkat bekerja pagi-pagi sekali. Jadi, sebaiknya kamu tunggu setelah hari sudah memasuki malam baru tidur,” ujar sang ayah.
“Tapi capek di badan ini terasa sulit sekali diajak kompromi. Maunya tidur saja,” ujar Sukra.
“Itu artinya kamu terlalu memporsir diri bekerja. Tubuh kita ini ada batas kemampuannya. Kita harus memanfaatkannya sesuai batas kemampuannya. Jangan melebihi batas itu. Kalau memang waktunya istirahat, istirahatlah. Waktunya bekerja, bekerjalah. Artinya pula, kamu jangan menunda-nunda pekerjaan karena itu akan mengurangi jatah waktu istirahatmu di kemudian hari,” pesan sang ayah.
Sukra manggut-manggut. Diam-diam dia membenarkan ucapan ayahnya. Pekerjaan menumpuk di kantor yang menyebabkan dia harus bekerja dengan waktu yang lebih dari biasanya memang karena dia menunda-nunda pekerjaan. Sukra pun bertekad untuk mengubah kebiasaan buruknya itu. (b.)
- Penulis: Nyoman Samba
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: I Made Sujaya