Berdiri bersahaja di puncak Bukit Andakasa, Pura Luhur Andakasa merupakan salah satu pura penting dalam kosmologi Bali. Di pura inilah dipuja Dewa Brahma, manifestasi Tuhan sebagai Sang pencipta (utpatti). Di pura ini juga bisa dibaca bagaimana pemahaman ilmiah para tetua Bali tentang teori semesta.
Nama Pura Andakasa diambil dari konsepsi andabhuwana (telur semesta). Konsepsi andabhuwana inilah memberi gambaran pemahaman berkesadaran ilmiah para tetua Bali bahwa bumi ini berbentuk bulat layaknya telur.
Yang menjadi lebih menarik lagi, dalam konsepsi padmabhuwana, Pura Luhur Andakasa terletak di arah selatan. Adapun yang dipuja di sini adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan sebagai pencipta (utpatti). Masyarakat sekitarnya kerap menyebut dengan nama Hyang Tugu. Ada tiga status yang sekaligus dimiliki Pura Luhur Andakasa yakni kahyangan jagat (nawadhikpala), pura tri kahyangan agung serta sad kahyangan.
Kendati memiliki posisi yang demikian penting, hingga kini sejarah pura yang masih belum benderang benar. Kapan sejatinya pura ini mulai didirikan masih belum diketahui secara jelas. Sumber-sumber prasasti atau pun teks-teks tradisional semisal babad masih belum juga bisa mengungkap keberadaan pura ini.
Namun, lontar Kusumadewa menyebutkan Pura Andakasa bersama kahyangan jagat lainnya di seantero Bali dibangun semasa Empu Kuturan yang dikenal dengan nama Mpu Raja Kerta. Sebagaimana diungkap dalam sumber-sumber sejarah, Mpu Kuturan diperkirakan hidup sekitar abad ke-11 semasa pemerintahan Udayana hingga digantikan putra bungsunya, Anak Wungsu (1049-1077). Andai apa yang disuratkan lontar Kusumadewa itu memang benar, dapat diduga Pura Luhur Andakasa sudah ada sejak abad ke-10 silam.
Selain itu, ditemukan juga sejumlah tinggalan arkeologis di areal pura seperti arca-arca kuno. Menurut penelitian yang dilakukan Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali dan hasilnya dimuat dalam buku Pura Luhur Andakasa menyebutkan arca-arca itu menunjukkan langgam abad ke-17-18. Karenanya, diperkirakan, Pura Luhur Andakasa mengalami pengembangan dan perbaikan pada sekitar abad ke-17-18.
Namun, melihat posisi pura yang berada di puncak bukit diduga kuat Pura Luhur Andakasa awalnya merupakan tempat pemujaan dari tradisi megalitik. Pada masa megalitik, tempat-tempat tinggi memang menjadi pusat orientasi pemujaan, khususnya untuk memuja leluhur.
Sebutan Hyang Tugu pun diduga berasal dari pelinggih awal di Pura Andakasa yang berupa lingga. Lingga ini dinamanya Tugu Andakasa atau Tugu Jineng Batu Bunggul.
Pura Luhur Andakasa juga memiliki selembar prasasti tembaga. Pembacaan prasasti berukuran panjang 25,7 cm, lebar 6,7 cm, dengan ketebalan 0,2 cm dilakukan epigrafis dari Balai Arkeologi Denpasar bersama peneliti Unud dan Dinas Kebudayaan tahun 1996. Namun, prasasti itu tampak tidak memiliki kaitan langsung dengan Pura Luhur Andakasa tetapi tentang anugerah Raja Ragaya kepada pejabat desa di bawah pengawasan Samgat Tuha Grangana dan Samgat Tuha Jawa.
Terlepas dari semua itu, Pura Luhur Andakasa tetap menjadi pusat oreintasi spiritual penting bagi masyarakat Bali. Ke sinilah umat Hindu datang mengarus, baik saat pujawali maupun pada hari-hari tertentu yang dianggap suci untuk memuja Tuhan atau pun menggapi puncak keheningan.
Yang cukup menarik, Pura Luhur Andakasa diyakini sebagai tempat untuk memohon taksu. Karenanya, bagi para balian-pemangku-katakson banyak yang datang memohon anugerah di sini. Belakangan, para penekun spiritual atau kebatinan juga datang, duduk tepekur, menemu keheningan menuju Hyang Embang. (b.)
________________________________
Penulis: Ketut Jagra
Foto: Ketut Jagra
Penyunting: I Made Sujaya