Besok, Bulan Bahasa Bali Dibuka
Relasi antara bahasa dan alam tampaknya masih menjadi perhatian dalam Bulan Bahasa Bali (BBB) yang digelar Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. BBB VII yang akan dibuka Sabtu, 1 Februari 2025 besok di Gedung Ksiraranawa, Taman Budaya Bali masih mengusung tema tentang pertautan antara bahasa dan alam.
“Jagat Kerthi—Jagra Hita Samasta”, begitu tema BBB VII tahun 2025 ini. Tema ini dimaknai sebagai Bulan Bahasa Bali menjadi altar pemuliaan bahasa, aksara, dan sastra Bali sebagai sumber kesadaran menuju harmoni semesta raya.
Selama sebulan penuh, BBB akan dimeriahkan dengan aneka agenda, seperti utsawa (festival), wimbakara (lomba), sasolahan (panggung apreasiasi sastra), widyatula (seminar), kriyaloka (workshop), reka aksara (pameran), dan Bali Kerthi Nugraha Mahottama.
Nyurat Aksara Massal
Selain pergelaran seni, BBB tahun ini juga menyajikan kegiatan khas, yakni nyurat aksara Bali dan mengetik aksara Bali dengan keyboard secara masal dengan melibatkan 500 peserta remaja setingkat SMA dan SMK se-Bali. Acara ini turut dihadiri ratusan penyuluh bahasa Bali dari seluruh kabupaten/kota se-Bali.
Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Provinsi Bali, I Made Dana Tanaya menjelaskan, selain dilaksanakan di tingkat provinsi, BBB juga digelar di masing-masing kabupaten/kota, termasuk di desa adat di seluruh Bali. “Sedikitnya ada 12 kegiatan lomba yang melibatkan peserta desa adat, desa dinas, dan sekolah-sekolah,” kata Tanaya di sela-sela gladi persiapan pembukaan, Jumat, 31 Januari 2025.
Pembukaan BBB VII dikemas dengan prosesi seni, sehingga menjadi lebih menarik. Acara pembukaan akan dimeriahkan dengan pementasan fragmentari yang mengangkat tema “Sewaka Kurma Raja”. Fragmentari akan dibawakan oleh Sanggar Seni Kokar Bali dengan melibatkan siswa dan guru-guru dari jurusan Tari, Karawitan dan Pedalangan.
Bercermin Pada Kisah Watugunung
Fragmentari “Sewaka Kurma Raja” berkisah tentang tokoh mitologis Watugunung. Kisah dimulai dengan Dewi Sintakasih dan Dewi Landep yang meminta kepada Watu Gunung untuk menikahi istri Dewa Wisnu, Dewi Nawangratih. Watu Gunung mengutus Sang Warigadean untuk melamar istri Dewa Wisnu.
Mendengar hal itu dewa Wisnu marah dan perang pun tak terelakan lagi. Namun, Watu Gunung sangat kuat dan sulit untuk dikalahkan. Saat situasi krisis datanglah Bagawan Wrespati dan mengutus Bagawan Lumanglang turun ke bumi menjadi laba-laba untuk mengintai kelemahan Watu Gunung. Setelah kelemahan Watugunung diketahui, Batara Wisnu menjelma menjadi Kurma Raja dan memerangi Watu Gunung. Akhirnya Watu Gunung dapat dikalahkan dan jazadnya jatuh ke bumi. Peristiwa ini dikenal dalam tradisi Bali dengan sebutan Watu Gunung Runtuh.
Menurut kurator BBB VII, I Nyoman Suarka, konsep maupun pesan yang disampaikan dalam fragmentari sarat dengan ketidakkaruan situasi atau musim saat ini. Pementasan “Sewaja Kurma Raja” berkaitan dengan Brahma yang memiliki “sakti” Dewi Saraswati. Saraswati merupakan simbol ilmu pengetahuan. “Ilmu yang diturunkan merupakan support kreativitas anak muda agar mampu menciptakan atau menghasilkan karya, dengan catatan orang harus menjauhkan dari sikap diri yang egois. Jauhkan dari karakter Prabu Watugunung. Prabu itu kepala, Watugunung itu keras, simbol keras kepala. Ini makna cerita Prabu Watugunung,” ujar guru besar sastra Unud itu.
Pesan cerita itu memiliki kaitan erat dengan kondisi alam dewasa ini yang serba tidak karuan. Musim cepat berubah tidak menentu lagi, bahkan manusia kehilangan keyakinan.
“Saat ini bumi dalam posisi dalam hukum rta, tidak ada keteraturan, tidak ada masa (musim). Rta berubah, sehingga perlu penataan kembali. Pemahaman dan pencerdasan terhadap hukum alam,” tandas Suarka. (b.)
- Teks: I Nyoman Dhirendra
- Foto: I Nyoman Dhirendra
- Penyunting: I Made Sujaya