Mata dibuat berbinar dan tercengang melihat apa yang ada di depan kami saat itu. Ditambah lagi dengan bumbu sejarahnya yang membuat rasa penarasan kami semakin bergejolak. Sesak nafas sebelum sampai di puncak hingga mencium aroma yang sangat wangi menambah kesan pertama yang tak terlupakan saat kami berkunjung ke tempat ini.
Menjadi periset dan bergabung dengan tim Sitadewiku (Sinergi Konservasi Burung Bersama Desa Adat dalam Mempromosikan Bukit Demulih, Bangli sebagai Kawasan Wisata Edukasi Virtual yang Hijau dan Berkicau) menjadi pengalaman yang luar biasa. Riset Keilmuan adalah salah satu program dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang bertujuan untuk mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tim kami merupakan salah satu tim riset yang lolos dan didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Kami akan melakukan riset mengenai konservasi burung.
Pertama kali melakukan riset di suatu daerah menjadi tantangan tersendiri dan memberikan pengalaman baru yang tak akan pernah terlupakan. 16 Januari 2022 merupakan hari pertama kami menuju daerah yang akan kami teliti, yaitu Desa Adat Demulih, Bangli. Demulih merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Kurang lebih memerlukan waktu 1 jam 30 menit dari Kota Denpasar.
Tempat ini ternyata memiliki banyak hal menarik, mulai sejarah, potensi lingkungan hingga potensi masyarakatnya. Banyak hal yang sebenarnya dapat dipelajari dan dikaji dari desa ini. Desa ini memiliki sebuah hutan adat yang hijau dan penuh dengan berbagai jenis burung dan pepohonan yang sangat rindang. Desa ini juga memiliki sejumlah pura di atas bukit dengan sejarah yang menarik.
Dari Denpasar ke Demulih
Berangkat dari Kota Denpasar sebelum sang surya menampakkan wajahnya menandakan bahwa kami sangat bersemangat menuju Desa Demulih. Kami bercanda ria di dalam mobil, saling bertukar cerita satu sama lain. Saat mulai memasuki wilayah Kabupaten Bangli, di sepanjang perjalanan menuju lokasi kami sudah disambut oleh kesejukan yang sangat berbeda dari suasana kota. Mata dimanjakan dengan hijaunya hamparan sawah dan pegunungan.
Jalan yang kami lalui cukup berliku sehingga sedikit mengguncang perut dan membuat kepala terasa pusing. Kami disambut dengan candi perbatasan desa dengan tulisan jelas terbaca: “Selamat Datang Di Desa Demulih”. Ini menandakan kami sudah memasuki wilayah desa yang kami tuju. Saat sudah memasuki daerah desa, beberapa kali kami disuguhi dengan pemandangan aktivitas masyarakat yang mayoritas merupakan petani yang terlihat begitu menikmati pekerjaan mereka.
Saking menikmati perjalanan, tak terasa akhirnya kami tiba di Kantor Desa Demulih, disambut dengan senyuman warga. Senyum sumringah mereka saat menyambut kami, menandakan warga di sana menyambut baik kehadiran kami.
Kami tentu membalasnya dengan senyuman ramah pula. Hati kami benar-benar senang saat sampai di sana. Sesekali kami juga berinteraksi dengan warga dan mengucapkan salam.
Kami berjalan kaki menuju sebuah pura yang berada di kaki bukit. Tamak rumah-rumah penduduk tersusun rapi dan masih kental dengan nuansa Bali.
Kami terkagum-kagum dengan apa yang menyambut perjalan ini. Belum sampai setengah perjalanan mata kami sudah dibuat salah fokus pada suatu tempat. Pandangan kami tertumbuk ke sebelah kanan jalan yang kami lalui. Di sana tampak tempat pemandian yang disebut kayoan oleh masyarakat sekitar. Kami juga menyaksikan ada beberapa warga yang sedang mandi di tempat itu.
Suara air semakin menenangkan suasana. Nampak airnya terlihat sangat segar. Menurut informasi yang kami dapatkan, di tempat ini orang juga bisa mencari tirta atau air suci untuk upacara-upacara kecil. Warga juga sering malukat di tempat ini. Menurut warga setempat, air yang ada di kayoan ini berasal dari bukit yang sering di sebut Tri Komala Guna yang bermakna tiga sumber air yang sangat berguna untuk masyarakat Demulih
Menoleh ke kiri dan ke kanan, semuanya tampak hijau. Pepohonan yang tinggi-tinggi serta berbagai jenis tanaman mengelilingi kami. Kicauan burung terdengar dari berbagai arah menandakan bahwa memang masih banyak sekali burung yang hidup di kawasan tersebut.
Pura Taman terletak di kaki bukit dengan gapura yang sangat cantik. Di belakang pura terdapat mata air yang mengalir dan sering disebut dengan patirtaan dan air ini yang mengalir menuju kayoan.
Masyarakat sekitar memiliki kepercayaan tentang kacuntakaan selama 12 hari. Jika ada orang yang sedang mengalami kacuntakaan, tidak boleh menaiki bukit selama 12 hari dan hanya boleh sampai di Pura Taman tersebut.
Tangga Menuju Surga…. (baca halaman berikutnya)