Karena kerap mempersembahkan sesaji kepada pohon-pohonan, orang Bali kerap dituding sebagai penyembah pohon. Orang Bali lantas merasa terganggu dengan tudingan itu. Sebabnya, julukan sebagai penyembah pohon memunculkan kesan sebagai penyembah berhala.
Orang Bali tentu menolak keras disebut menyembah berhala. Orang Bali pun menjelaskan panjang lebar betapa mereka sesungguhnya menyembah Tuhan Yang Tunggal, sama seperti penganut agama lain. Sesaji yang dipersembahkan pada pohon-pohonan merupakan persembahan kepada Tuhan sebagai rasa syukur atas anugerah berupa tumbuh-tumbuhan.
Memang tidak mudah memahami laku beragama dan laku budaya orang Bali. Tak hanya rumit dan kaya simbol, beragam ritual orang Bali berakar pada teks yang kompleks. Tak hanya teks keagamaan, tapi justru yang jauh lebih kuat adalah teks-teks tradisi yang sudah berusia tua. Teks-teks tradisi itu pun tak semata yang tersurat, tetapi yang jauh lebih mengakar adalah teks-teks lisan.
Untuk memahami tradisi mengupacarai pohon dalam kebudayaan orang Bali, seperti saat perayaan hari Tumpek Wariga, Sabtu (25/1) hari ini, mungkin bisa dilacak dari teks lisan yang menyertai tradisi itu. Manakala mempersembahkan sesaji hari Tumpek Wariga, sembari memukul-mukul ringan batang pohon, orang Bali masaa (mengucapkan doa pujaan dalam bahasa Bali):
Kaki Bentuyung/ titiang mapangarah/ buin selae dina Galungan/ mabuah nyen apang nged/nged, ngeeeed// (Kaki Bentuyung/ saya memberitahukan/ Galungan tinggal 25 hari lagi/ berbuahlah dengan lebat/ lebat, lebat//.
Orang Bali memanggil pohon dengan sebutan Kaki. Kaki tiada lain panggilan untuk kakek atau orang yang sudah tua. Hal ini menggambarkan bagaimana cara pandang manusia Bali terhadap pohon yang jauh lebih tua. Orang Bali meyakini, tumbuh-tumbuhan lebih dulu lahir tinimbang manusia. Seperti halnya orang tua, tumbuh-tumbuhanlah yang melindungi dan merawat manusia.
Pemahaman tradisional yang bersumber pada tradisi lisan manusia Bali itu bertemali erat dengan pandangan yang tersurat dalam tradisi tulis. Menurut pendharma wacana agama Hindu, I Ketut Wiana, dalam Niti Sastra disebutkan tri ratna permata, tiga hal yang menyebabkan kemuliaan hidup yakni tumbuh-tumbuhan, air dan kata-kata bijak. Selain itu, dikenal pula konsep tri chanda yakni tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu yakni vata (udara), apah (air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak bisa berlangsung.
Hal ini dipertegas lagi dalam Atharva Veda VIII.7.4. yang berbunyi virudho vaisvadevir/ ugrah purusajiwanih. Artinya, “tanaman memiliki sifat para dewa/ mereka adalah para juru selamat kemanusiaan”.
Ungkapan tanaman sebagai sang juru selamat manusia bukanlah pernyataan retorik atau sloganistis semata. Senyatanya, tumbuh-tumbuhan memang menjadi “juru selamat” umat manusia. Tumbuh-tumbuhanlah penghasil oksigen yang dihirup manusia. Tumbuh-tumbuhan pula yang menyediakan makanan bagi manusia. Tanpa tumbuh-tumbuhan, manusia tidak saja kehilangan sumber makanan, tetapi juga kehilangan sumber kehidupan utamanya: oksigen.
Masyarakat modern menyebut hutan dengan tumbuh-tumbuhan yang terjaga keasriannya sebagai paru-paru dunia. Ketika bahaya akibat pemanasan global semakin nyata, masyarakat dunia menumpukan harapannya kepada negara-negara yang masih memiliki hutan luas, termasuk Indonesia. Kelestarian hutan-hutan itu menjadi kunci keberlangsungan hidup umat manusia di masa depan.
Para tetua Bali sudah sejak lampau menyadari betapa manusia amat berutang kepada tumbuh-tumbuhan. Manusia Bali tidak saja memandang tumbuh-tumbuhan sebagai layaknya orang tua sendiri yang menjaga dan merawat hidup manusia, tetapi perwujudan Tuhan sendiri.
Tradisi Bali menyebutnya sebagai Sanghyang Tumuwuh dengan tempat pemujaan terbesarnya di Pura Luhur Batukaru, Tabanan. Belakangan, manakala tradisi keagamaan berbasis teks makin mengakar, orang-orang menyebutnya sebagai Hyang Sangkara, Tuhan dalam manifestasinya sebagai penganugerah dan pelindung tumbuh-tumbuhan. Justru, orang Bali disarankan menggunakan hari Tumpek Wariga sebagai momentum menanam bibit baru.
Karena itu, orang Bali patut berbangga karena mewarisi tradisi berkesadaran lingkungan yang amat kontekstual dengan perkembangan zaman. Bila pun orang luar menyebut sebagai penyembah pohon, semestinya orang Bali tak perlu risau apalagi marah. Yang mesti dirisaukan, manakala tradisi luhur itu hanya berhenti sebatas ritual karena perilaku nyata orang Bali tak memperlihatkan rasa syukur dan terima kasih atas anugerah melimpah tumbuh-tumbuhan.
Di satu sisi orang Bali begitu bersemangat menggelar ritual memuliakan pohon, tetapi di sisi lain kerusakan hutan di Bali kian menjadi. Justru, inilah tantangan nyata orang Bali, kini: mereaktualisasi tradisinya ke dalam laku nyata sehari-hari. (*)
- Penulis: I Made Sujaya
- Penyunting: I Ketut Jagra