Genjek sering diidentikkan dengan mabuk-mabukkan. Pasalnya, para pemain genjek kerap magenjekan sambil matuakan. Kesan miring ini ditepis IB Nyoman Mantra, Doktor Wacana Sastra di Program Studi Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud dalam disertasinya berjudul, “Teks Lisan Genjek di Kabupate Karangasem”. Disertasi ini dipertahankan dalam promosi doktor di gedung Dr. Ir. Soekarno, FIB Unud, Kamis (12/1).
Menurut Mantra, genjek sejatinya merupakan kesenian khas Karangasem yang sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual. “Walaupun ada minuman tuak, pemain genjek tidak sampai mabuk,” kata Mantra.
Genjek yang diteliti Mantra yakni di Desa Seraya dan sejumlah desa lain di Karangasem. Menurut Mantra, pemain genjek di Seraya memang tujuannya magenjekan, sedangkan minum tuak bukan tujuan utama. Sebaliknya, ada orang yang mabuk dulu baru megenjekan. Pemain genjek jenis inilah yang memberi citra buruk terhadap kesenian genjek.
Hasil penelitian Mantra, teks lisan genjek merupakan teks lirik lagu yang digunakan untuk mengekspresikan ide, gagasan, pesan, nasihat, petunjuk yang ingin disamoaikan oleh pemainnya kepada penikmatnya. Kata-kata yang yang terdapat dalam lirik-lirik teks genjek disusun secara terstruktur sehingga mampu mengekspresikan makna khusus sesuai konteksnya.
“Hal menarik yang dapat disimak dari proses penciptaan teks genjek adalah proses kreatif yang dilakukan secara kolektif dan bersifat spontanitas. Kelompok genjek ini membangun teks sesuai dengan perkembangan dan fenomena sosial yang berkembang di sekitarnya,” kata Mantra.
Teks lisan genjek diciptakan secara bersama-sama oleh pemain genjek yang berasas pada kekompakan dan kebersamaan. Teks lisan genjek memiliki kata-kata yang diikat nada toreng atau nada lagu. Jumlah kata dan panjang pendeknya kalimat dalam tiap-tiap baitnya tergantung pada panjang pendeknya nada toreng.
“Diksi yang diguakan sangat erat kaitannya dengan isu-isu terkini dalam masyarakat,” kata Mantra.
Teks genjek diciptakan berdasarkan tiga tema pokok, yaitu kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Kehidupan masa lalu dikaitkan dengan masa sekarang sehingga mencerminkan kenangan dan kerinduan pada masa lalu. Teks genjek dengan tema masa kini dikaitkan dengan keadaan hidup masa kini dan genjek yang bertema masa yang akan datang menyampaikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Genjek memiliki sejumlah fungsi, di antaranya fungsi hiburan, fungsi pendidikan, fungsi mengenang masa lalu, fungsi solidaritas, fungsi pengendalian sosial, fungsi protes dan kritik sosial, dan fungsi religius. “Makna teks lisan yang ditemukan peneliti dalam genjek meliputi makna kasih sayang, makna kesadaran kolektif, makna ritual, dan makna pengakuan adanya stratifikasi sosial,” kata Mantra.
Teks lisan genjek, kata Mantra, merupakan media budaya kerakyatan yang memiliki nilai-nilai positif yang dapat menjaga tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik. “Teks lisan genjek dapat digunakan sebagai media pembelajaran karakter bangsa,” kata Mantra.
Mantra merupakan doktor ke-117 di Prodi Doktor S3 Ilmu Linguistik sejak prodi ini berdiri. Mantra juga merupakan doktor pertama yang menggunakan gedung Dr. Ir. Soekarno untuk ujian terbuka/promosi doktor. Mantra merupakan doktor kedua yang dilahirkan FIB sejak prodi doktor Lingusitik dan Prodi Doktor Kajian Budaya dikelola oleh FIB mulai tahun 2017. Doktor pertama yakni Wayan Suwandi dari Prodi Doktor Kajian Budaya yang ujiannya berlangsung akhir Desember lalu di Gedung Pascasarjana Unud Jalan Sudirman Denpasar.
Ujian perdana di gedung Dr. Ir. Soekarno ini dipimpin langsung Dekan FIB, Ni Luh Sutjiati Beratha. Tim penguji yang dipimpin IB Putra Yadnya menyatakan menerima disertasi Mantra dengan predikat kelulusan Sangat Baik. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI