Pengarang Bali cukup banyak yang menulis sastra hijau atau karya sastra yang mengangkat isu lingkungan hidup. Bahkan, beberapa karya mutakhir pengarang Bali menggunakan sastra hijau sebagai wahana menyampaikan kritik terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia maupun kebijakan pemerintah yang tidak bersahabat dengan lingkungan, termasuk soal isu reklamasi Teluk Benoa.
Hal ini diungkapkan Ketua Umum Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat Bali, I Ketut Sudewa saat menjadi pembicara dalam seminar akademik bertajuk “Pembelajaran Sastra Berbasis Lingkungan” yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi (HPMS) Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (IKIP PGRI) Bali di kampus setempat, Kamis (28/4). Seminar memperingati Hari Sastra itu dihadiri para dosen dan mahasiswa.
“Isu lingkungan hidup terkini, seperti reklamasi Teluk Benoa mengilhami pengarang Bali menulis sastra hijau. Melalui sastra hijau itu mereka menyampaikan kritik, menyatakan penolakan, seperti pada puisi-puisi karya Wayan Jengki Sunarta,” kata Sudewa yang jua Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana.
Menurut Sudewa, sastra memang menjadi media yang ampuh untuk menyampaikan kritik atas berbagai permasalahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk persoalan lingkungan. Karya sastra tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga memberikan hiburan melalui kekuatan estetikanya.
Sudewa menyatakan sastra hijau sebenarnya bukan hal baru dalam sastra Indonesia maupun sastra Bali. Sastra hijau sudah lama ditemukan dalam karya sastra tradisional Bali, semisal gending-gending rare, geguritan, pupuh hingga sastra Bali modern. Dalam sastra Bali modern, ada kumpulan puisi Ang Ah lan Ah Ang karya Made Saursa yang sarat dengan isu lingkungan terkini di Bali. Begitu juga kumpulan puisi Merayakan Pohon di Kebun Puisi karya Nyoman Wirata yang seutuhnya berbicara tentang persoalan lingkungan melalui simbolisasi pohon. Sastra hijau kembali menarik perhatian orang karena banyak persoalan lingkungan hidup di Indonesia yang tidak bisa ditangani secara baik, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang justru dengan sengaja merusak lingkungan hidup demi mendapatkan keuntungan ekonomis tanpa melihat dampak negatifnya.
Sastra hijau, menurut Sudewa, tepat dijadikan salah satu model pembelajaran sastra. Sastra hijau bisa dijadikan wahana menumbuhkan kesadaran peserta didik tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dan ekosistem alam. “Pembelajaran sastra berbasis lingkunan melalui sastra hijau mesti dilakukan secara terus-menerus dengan metode pengajaran yang apresiatif dan kreatif,” kata Sudewa.
Selain Sudewa, empat orang mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali juga tampil membawakan makalah seputar isu lingkungan dalam karya sastra Indonesia modern dan sastra Bali modern serta relevansinya dalam pembelajaran sastra. Karya sastra yang dibahas meliputi puisi dan cerpen Indonesia modern serta tembang sekar rare dan satua Bali.
Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah IKIP PGRI Bali, Ida Ayu Agung Ekasriadi menyatakan seminar akademik ini program rutin memperingati Hari Sastra yang dikaitkan dengan wafatnya Chairil Anwar. Selain melatih keterampilan mahasiswa berdiskusi secara akademik, seminar ini juga sebagai media menumbuhkan apresiasi sastra di kalangan mahasiswa.
“Kali ini kami mengangkat tema lingkungan hidup karena ini isu yang penting saat ini. Selain itu, dalam ranah teori sastra, kajian sastra hijau juga terbilang sebagai model baru yang perlu diperkenalkan kepada mahasiswa,” kata Ekasriadi.
Dekan FPBS IKIP PGRI Bali, Ketut Yarsama menyatakan seminar akademik bertema lingkungan gayut dengan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat dewasa ini. Melalui pembelajaran sastra berbasis lingkungan, diharapkan terbangun kepekaan dan kepedulian untuk menjaga lingkungan. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI