Teks: I Made Sujaya, Foto: Repro www.srikarangbuncing.com
Kebo Iwa menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah akhir Bali Kuno. Bahkan, Kebo Iwa tampaknya menjadi tokoh paling populer karena banyak disebut dalam sumber-sumber prasasti atau teks tradisional lainnya. Kebo Iwa juga banyak dimitoskan. Namun, yang paling menarik perhatian orang yakni bagian akhir dari perjalanan hidup Kebo Iwa yakni meninggal di Jawa. Ada aneka tafsir mengenai kisah akhir Kebo Iwa itu. Ada yang menyebut sebagai simbol jebolnya benteng terkuat Bali sehingga pulau mungil ini kemudian bisa ditaklukkan Majapahit. Ada juga yang memaknainya sebagai sikap rela berkorban Kebo Iwa demi bersatunya Nusantara.
Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti yang dimiliki Bali pada masa akhir Bali Kuno. Ia digambarkan sebagai seolah lelaki bertubuh besar, tinggi, gagah perkasa serta sakti.
Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah barat daya Gianyar. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno di Bali disebut-sebut sebagai hasil karnya. Candi padas di Gunung Kawi.
Gajah Mada, sang mahapatih Majapahit yang mengucapkan sumpah amukti palapa, yakni tak akan merasakan ketenangan sebelum berhasil menyatukan Nusantara, memilih Bali sebagai kerajaan pertama terdekat yang harus ditaklukkan. Dan, Gajah Mada memahami betul bahwa untuk menaklukkan Bali, benteng utamanya, Kebo Iwa mesti ditundukkan dulu. Menghadapi Kebo Iwa yang kuat, Gajah Mada pun bermain siasat.
Karenanya, sebelum mengirimkan para Arya menyerang Bali, Gajah Mada terlebih dulu menghadap Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang kerap dikenal dengan sebutan Dalem Bedahulu. Disebut-sebut, Gajah Mada berpura-pura menyatakan kerajaan Majapahit yang kala itu dipimpin Tribuwana Tunggadewi takluk kepada Bali dan ingin menjalin persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, dimintalah Ki Kebo Iwa, Patih Dalem Bedahulu yang dikenal kuat untuk ikut ke Jawa. Rencananya, Kebo Iwa bakal dikawinkan dengan seorang putri cantik di Jawa.
Memang, sampai di Jawa Kebo Iwa dipertemukan dengan sang putri cantik. Namun, sang putri jelita itu ternyata memberikan syarat agar Kebo Iwa membuatkan dirinya sebuah kolam untuk tempat permandian. Tanpa curiga, Kebo Iwa bersedia. Namun, tak dinyana pasukan Majapahit menimbuni sang patih ulung itu dengan batu tatkala menggali sumur di bawah tanah. Ki Kebo Iwa tak segera mati, memang, karena saking kuatnya. Namun, kejadian ini menyadarkannya, hal ini sebagai pertanda saat-saat terakhirnya. Karenanya, Kebo Iwa pun menyerah dan memberitahu Gajah Mada bahwa dirinya hanya bisa dibunuh dengan batu kapur. Lantaran nafsu memang ingin membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada tentu saja menurutinya. Patih berbadan super yang selama ini menjaga kerajaan Bali itu pun ditimbuni batu kapur dan akhirnya mati.
Pascaterbunuhnya Kebo Iwa, Bali pun diserang habis-habisan. Gajah Mada cerdas, memang. Dengan telah berhasil dibunuhnya Kebo Iwa, berarti pertahanan Bali ambruk. Memang, ada Ki Pasung Grigis yang juga tak kalah kuat dibandingkan Kebo Iwa. Namun, sang patih yang kemudian menjadi pemimpin pasukan Bali dalam perang habis-habisan itu pun kalah sebelum akhirnya gugur ketika menyerang Lombok atas perintah Majapahit.
Namun, ada juga yang memaknai kematian Kebo Iwa sebagai cermin sikap rela berkorban untuk mewujudkan persatuan Nusantara yang dicita-citakan Gajah Mada. Konon, sebelum membuka kelemahannya, Kebo Iwa sempat diberi tahu Gajah Mada mengenai cita-citanya menyatukan Nusantara.
Sikap Kebo Iwa dianggap menunjukkan keteladanan dan pengorbanan yang luar biasa dalam integrasi Bali ke dalam negara nasional Majapahit atau Nusantara. Dengan mendasarkan pada perspektif Kesatuan Bangsa, sikap Kebo Iwa dipandang sebagai sikap ksatria untuk bersatu dengan komunitas yang lebih luas. Kebo iwa telah memberi inspirasi masyarakat Bali mencari jalan bersatu menuju kesatuan bangsa Indonesia.
Sejarah pada dasarnya usaha pemberian makna terhadap peristiwa masa silam. Memberi makna positif terhadap peristiwa sejarah, betapa pun pahitnya, tentu patut diapresiasi. Dengan cara berpikir seperti itu, tak penting siapa yang kalah, siapa yang menang, karena menyadari semuanya kalah, semuanya menang. Karenanya, tak boleh ada luka sejarah yang mesti dibuka.
Namun, sejarah juga harus dimaknai secara jujur. Bahwa bagian akhir Kebo Iwa adalah sebuah cermin betapa ketika benteng terkuat Bali dikalahkan, maka Bali tidak akan sulit untuk ditaklukkan. Dan, benteng terkuat itu ditaklukkan dengan tipu muslihat, bujuk rayu, daya pikat.
Sungguh, ini bukan sekadar menyangkut relasi Bali-Majapahit atau kini Bali-Indonesia atau lebih spesifik Bali-Jawa. Namun, ini juga dalam kerangka Bali yang berhadapan dengan berbagai kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial serta budaya yang semakin masif. Itulah pertempuran paling nyata Bali kini. Dan Bali bisa mengusut-usut diri, apakah “Kebo Iwa”-nya kini sudah dikalahkan dengan tipu daya atau tidak?
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI