Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bali Jani · 25 Mei 2021 14:41 WITA ·

“Blengbong”, Tanda Cinta 58 Penyair Pos Budaya kepada Umbu Landu Paranggi


					“Blengbong”, Tanda Cinta 58 Penyair Pos Budaya kepada Umbu Landu Paranggi Perbesar

Era tahun 1980-an hingga 1990-an, jagat perpuisian di Bali begitu bergairah. Banyak penyair muda bermunculan. Acara apresiasi sastra juga semarak. Halaman sastra di koran, terutama di Bali Post edisi Minggu, penuh warna-warni puisi.

Pemantiknya tiada lain penyair sekaligus redaktur sastra Bali Post Minggu, Umbu Landu Paranggi. Melalui halaman “Apresiasi” yang digawanginya, Umbu menempa para penyair muda Bali dengan model yang khas. Mirip gaya kompetisi dalam sepak bola.

Setiap penyair yang mengirim puisi ke Bali Post mesti menapaki semacam tangga kepenyairan ala Umbu. Dimulai dari tangga sajak pawai. Ini semacam kasta terendah, para penyair pemula. Jika dianggap layak, sang penyair akan naik tingkat ke tangga sajak Kompetisi. Lolos dari sajak Kompetisi, sang penyair akan masuk ke tangga Kompetisi Promosi. Puncaknya, sajak Pos Budaya (Posbud) yang dianggap sebagai kasta tertinggi.

Tak mudah menembus Pos Budaya. Karena itu, sajak-sajak Pos Budaya dianggap setara kualitasnya dengan sajak-sajak di majalah sastra Horison. Boleh jadi itu pula sebabnya, para penyair Bali masa itu menganggap Pos Budaya sebagai semacam penahbisan sebagai penyair.
Ada lebih dari 100 orang penyair yang menembus tangga puncak Pos Budaya asuhan Umbu.

Sebagian besar masih menulis puisi hingga sekarang, bahkan mewarnai dunia perpuisian Indonesia. Sebagian kecil tak lagi menulis atau sudah meninggal dunia. Merekalah yang menjadi tonggak penting sejarah kepenyairan di Bali.

Sajak-sajak karya 58 penyair penghuni kasta tertinggi di Bali era tahun 1980-an hingga 1990-an itulah yang dihimpun dalam buku antologi puisi Blengbong. Buku ini disusun tiga penyair yang karyanya juga menembus gawang Pos Budaya asuhan Umbu, yakni Ketut Syahruwardi Abbas, Gm Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta.

Buku yang diterbitkan Jatijagat Kampung Puisi dan Pustaka Ekspresi itu diluncurkan di Gedung Kriya Taman Budaya Denpasar, Selasa, 25 Mei 2021 malam. Pada saat yang sama juga digelar pameran sketsa rupa karya Nyoman Wirata. Penyair yang juga pelukis ini membuatkan sketsa semua penyair yang sajaknya dimuat dalam Blengbong.

Acara peluncuran dan pameran dihadiri para penyair yang sajaknya dimuat dalam Blengbong, mantan Pemimpin Redaksi Bali Post sekaligus pendiri Pos Remaja, Widminarko; mantan redaktur sastra Bali Post sebelum Umbu, Made Taro serta putri Umbu Landu Paranggi, Rambu Anarara Wulang Paranggi. Seniman teater yang juga istri Gubernur Bali, Wayan Koster, Ni Putu Putri Suastini Koster turut hadir dan memberikan apresiasi.

Abbas mengungkapkan Blengbong merupakan persembahan sekaligus sebagai wujud kecintaan kepada Umbu yang dipandang sebagai mahaguru para penyair di Bali, bahkan di Indonesia. Melalui Umbulah, para penyair itu lahir dan terus menulis hingga kini, bahkan turut bersanding dan bersaing dalam jagat perpuisian Indonesia.

Menurut Gm Sukawidana, tampilnya para penyair Bali di kancah perpuisian Indonesia merupakan buah dari tempaan Umbu di Bali Post Minggu yang sangat ketat. “Saya harus menunggu tiga tahun untuk bisa muncul di kelas Pawai,” ungkap Gm.

Jengki menjelaskan ada sekitar seratusan penyair yang lolos pos budaya di Bali Post Minggu yang diasuh Umbu. Namun, para penyair yang sajaknya dibukukan dalam Blengbong sebanyak 58 orang. Penyair-penyair itu menghuni Pos Budaya Bali Post Minggu pada rentang waktu tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an. Pada periode 2000-an, Umbu mengubah format menjadi Pos Siswa (Possis) dan Pos Mahasiswa (Posmas).

“Kami menginginkan tidak ada penyair Pos Budaya yang tercecer. Tapi, dalam perjalanannya, ada penyair yang bisa kami hubungi, ada juga yang tidak bisa kami hubungi. Yang bisa kami himpun sajaknya dalam buku sebanyak 58 penyair,” beber Jengki.

Blengbong, menurut tim penyusun, diambil dari kosa kata bahasa Bali yang berarti “hujan yang amat lebat di tengah laut”. Jika langit berubah kelam, angin dan ombak mulai menampakkan gelagat tak biasa, itulah tanda-tanda blengbong. Blengbong juga merupakan suatu fenomena alam yang unik sekaligus puitik.

Dalam konteks kepenyairan, blengbong bisa mengacu pada kegelisahan batin sang penyair saat melahirkan karya-karya kreatifnya. Dalam konteks kawah candradimuka kesusastraan yang dibangun Umbu, blengbong adalah simbol dari pergulatan dan pergumulan kreatif, dari Pos Pawai hngga menembus Pos Budaya. Judul Blengbong seturut dengan saran Umbu agar judul buku terdiri atas sembilan huruf.

Buku antologi penyair Pos Budaya ini mulai digarap akhir tahun 2020. Rencana awal, Blengbong terbit pada bulan Februari 2021 dan diluncurkan bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 26 Mei 2021. JKP merupakan komunitas sastra yang turut dibangun dan diasuh Umbu. Umbu sendiri yang menentukan waktu dan tempat peluncuran itu. Dia pun mengungkapkan kegembiraannya menyambut buku ini. Umbu juga memberikan pengantar untuk buku ini, meskipun itu disusun melalui wawancara tim penyusun dengan Umbu dalam beberapa kesempatan.

“Tak pernah terbayangkan, buku ini yang awalnya kami rancang sebagai persembahan dan kecintaan kepada Pak Umbu mesti menjadi semacam dialog terakhir yang mengantar kepergian Pak Umbu ke ruang sunyi,” ujar Ngurah Aryadimas Hendratmo, Lurah JKP.

Umbu berpulang pada Selasa, 6 April 2021 di RS Bali Mandara, Denpasar. Meskipun Umbu sudah tiada, penerbitan buku Blengbong tetap dituntaskan sebagai wujud kecintaan sekaligus penghargaan atas segala dedikasi Umbu bagi dunia sastra modern di Bali, khususnya puisi.

Putri Suastini juga mengapresiasi dedikasi Umbu dan ungkapan kecintaan murid-muridnya dalam buku Blengbong. Namun, Putri Suastini juga mengajak murid-muridnya untuk meneladani kesuntukan dan ketulusan Umbu kepada puisi.

“Jangan hanya sebut nama beliau. Jangan hanya bangga membawa-bawa nama beliau, bangga jadi muridnya Umbu. Tapi aplikasikan didikan yang beliau berikan sehingga nanti lahir Umbu Umbu lain yang membawa kedamaian dan kemajuan di dunia sastra di Bali,” tandas Putri Suastini. (b.)

  • Laporan: I Made Sujaya
Artikel ini telah dibaca 181 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat

26 Februari 2024 - 15:18 WITA

Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta

23 Februari 2024 - 23:22 WITA

SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali

17 Februari 2024 - 18:57 WITA

Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak

2 Januari 2024 - 22:14 WITA

Lewat Film “Home”, Sinematografer Bali Raih Nominasi Emmy Awards

15 Desember 2023 - 22:14 WITA

Gairah Berbahasa Bali Mesti Diikuti Pemahaman Mengenai “Anggah-ungguh Basa”

10 Desember 2023 - 22:32 WITA

Trending di Bali Jani