Menu

Mode Gelap
Keragaman Fantasi dalam Festofantasy HUT ke-39 SMA Paris Edukasi Kesejahteraan Hewan, Ajak Anak-anak Kenali Zoonosis Kirab Nasionalisme Hari Kemerdekaan ala Desa Adat Kedonganan Baca Puisi Tak Sekadar Intonasi, Tapi Interpretasi: Dari LBP FULP se-Bali 2023 “Duwe” Desa Adat, Krama dan Prajuru Adat Wajib Bentengi LPD

Bali Jani · 21 Jul 2023 05:16 WITA ·

Wedhasmara Tak Pernah “Pergi”


					Penyanyi muda Bali, Gung Mas Pemayun menyanyikan lagu Perbesar

Penyanyi muda Bali, Gung Mas Pemayun menyanyikan lagu "Senja di Batas Kota" karya Wedhasmara dalam acara Tribute to Wedhasmara: Kau Selalu di Hatiku di Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Kamis, 20 Juli 2023.

Senja di batas kota

Slalu teringat padamu

Saat kita kan berpisah

Entah untuk berapa lama

Siapa pun penyuka lagu kenangan tentu akan akrab dengan petikan lagu ini. Ini lagu era tahun 1970-an yang dipopulerkan oleh penyanyi Ernie Djohan. Judulnya, “Senja di Batas Kota”. Berkisah tentang seorang gadis yang melepas kepergian kekasihnya ke medan perang. Lagu ini tak hanya terkenal pada masanya, tapi juga masih kerap didengar hingga kini. Terlebih lagi di tempat-tempat karaoke atau saat sesi santai pada suatu acara.

“Senja di Batas Kota” menjadi satu di antara sejumlah lagu ciptaan I Gusti Putu Gede Wedhasmara. Dia pencipta lagu dari Bali, lahir di tengah-tengah keluarga Jero Batan Moning, Gerenceng, Denpasar, Bali. Namun, namanya tak sepopuler lagunya. Padahal, dia tergolong sosok komponis Bali hebat. Setelahnya, belum ada pencipta lagu dari Bali yang lagu-lagu ciptaannya melegenda secara nasional seperti Wedhasmara. Karena itu, tak keliru menyebut Wedhasmara sebagai maestro.

Mengenang perjalanan proses kreatif sang maestro, Sanggar Melati mempersembahkan pertunjukan Tribute to Maestro I Gusti Putu Gede Wedhasmara dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Kamis 20 Juli 2023 sore.  Pergelaran bertajuk “Kau Selalu di Hatiku” itu disutradarai jurnalis sekaligus pengamat musik, I Made Adnyana.

Pergelaran dikemas dalam bentuk pementasan lagu-lagu Wedhasmara oleh sejumlah penyanyi Bali, seperti Dewi Pradewi, Ayu Carmen, Agung Wirasutha dan penyanyi remaja Gung Mas Pemayun dengan diiringi band Yayak n Friends. Selain itu, turut tampil juga  electronic dance music (EDM) oleh Margarani, film dokumenter garapan Andy Duarsa, dramatisasi lagu Wedhasmara oleh Teater Kini Berseri serta gelar wicara (talkshow) bersama I Made Adnyana dan Ayu Carmen dengan dipandu presenter Galuh Praba. Akademisi Prof. I Nyoman Darma Putra ikut memberikan testimoni melalui rekaman video.

Gelar wicara bersama Made Adnyana (tengah) dan Ayu Carmen (paling kanan) dipandu Galuh Praba (paling kiri) dalam acara Tribute to Wedhasmara: Kau Selalu di Hatiku.

Namanya Tak Dikenal

Menurut Darma Putra, Wedhasmara merupakan musisi nasional yang karyanya abadi sampai sekarang. Akan tetapi dalam sejarah perkembangan lagu pop Indonesia, lagunya lebih terkenal dari orangnya. Dia sendiri merasa tidak banyak yang mengenal namanya.

“Belakangan setelah pemerintah memberikan penghargaan, barulah dia dikenal. Ini to pencipta lagu ‘Senja di Batas Kota’. Ini to pengarang lagu ‘Berpisah di St. Carolus’. Ini to pencipta lagu ‘Kau Selalu di Hatiku’,” ujar Darma Putra seraya menambahkan, secara universal, memang penyanyi cenderung lebih dikenal daripada pencipta lagunya.

Lagu-lagu Wedhasmara, menurut Darma Putra, cenderung romantis dan mengangkat tema perpisahan. Namun, perpisahan dimaknai sebagai bagian kebersamaan, bukan tanda kepergian.

Tema perpisahan itu tak hanya tampak dalam lirik lagunya, tapi juga diakui dalam cerita Wedhasmara. Lagu ‘Senja di Batas Kota’ misalnya, diciptakan Wedhasmara karena mendapat inspirasi di Jakarta dia melihat seorang gadis memberikan sapu tangan kepada kekasihnya yang akan pergi ke medan perang. Begitu juga lagu “Berpisah di St Carolus” bercerita tentang pasien yang sudah sembuh lalu berpisah dengan dokter dan perawat di rumah sakit. Secara fisik mereka berpisah, tapi secara spiritual, psikologis, emosional, tidak. Lagu-lagu itu menyampaikan bahwa meski berpisah, mereka tetap bersatu.

“Syair-syair lagunya powerfull. Satu lagu hanya satu bait atau empat bait. Satu bait tiga atau empat baris. Satu baris tiga atau empat kata. Liriknya luar biasa. Pendek, powerfull, juga meaningfull,” kata Darma Putra.

Dewi Pradewi menyanyikan lagu “Kr. Bintang Pujaan” karya Wedhasmara.

Tak Kalah dengan Lagu Masa Kini

Menurut I Made Adnyana, pencapaian Wedhasmara tergolong luar biasa. Lagu-lagunya tak hanya menasional tapi juga melegenda karena hingga kini masih dinyanyikan dan tetap bisa dinikmati.

“Meskipun sudah puluhan tahun, lagu-lagu Wedhasmara dinyanyikan kapan pun, tak kalah dengan lagu-lagu sekarang,” kata Adnyana.

Ayu Carmen mengenang Wedhasmara sebagai sosok yang ramah dan rendah hati. Dia pernah bekerja sama dengan Wedhasmara tahun 2009. Saat itu, Ayu Carmen meminta izin untuk menyanyikan lagu Wedhasmara yang berbahasa Bali, “Kaden Saja”. Ternyata, Wedhasmara sangat terbuka dan bisa menerima generasi yang jauh di bawahnya.

Wedhasmara dilahirkan di Denpasar, 10 September 1932. Dia sudah menyukai musik sejak kecil.  Setamat SMP di Denpasar, Wedhasmara melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta. Dia sempat tinggal di Jakarta, bekerja di Jawatan Pertanian Jakarta. Dia sempat bergabung beberapa kelompok musik.

Lagu-lagunya dikenal luas tahun1960-an hingga 1970-an. Lagu “Senja di Batas Kota” dan “Kau Selalu di Hatiku” dipopulerkan Ernie Djohan, lagu “Berpisah di St. Carolus” dipopulerkan Retno serta “Bunga Flamboyan” dibawakan Broery Pesolima. Wedhasmara juga menciptakan lagu berbahasa Bali, “Kaden Saja” yang awalnya dinyanyikannya sendiri. Majalah Rolling Stones Indonesia pada tahun 2014 menobatkan Wedhasmara sebagai 100 pencipta lagu terbaik Indonesia. Wedhasmara menghembuskan nafas terakhir pada 21 April 2017 dalam usia 85 tahun.

Wedhasmara mungkin telah pergi. Namun, lagu-lagunya tetap abadi, tetap dinyanyikan dan tetap bisa dinikmati sepanjang masa. Melalui lagu-lagunya, Wedhasmara tetap bersama para pecinta lagu di Indonesia. Seperti spirit dalam lagu-lagunya, perpisahan bukan tanda kepergian tapi justru cermin kebersamaan. Wedhasmara memang tak pernah benar-benar “pergi”.  (b.)

  • Penulis: I Made Sujaya
  • Foto: I Made Sujaya
  • Penyunting: I Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 59 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Kirab Nasionalisme Hari Kemerdekaan ala Desa Adat Kedonganan

17 Agustus 2023 - 16:38 WITA

Baca Puisi Tak Sekadar Intonasi, Tapi Interpretasi: Dari LBP FULP se-Bali 2023

8 Agustus 2023 - 15:57 WITA

“Duwe” Desa Adat, Krama dan Prajuru Adat Wajib Bentengi LPD

31 Juli 2023 - 19:48 WITA

“Ah”, Putu Wijaya Tak Pernah Berhenti Mengajak Berpikir

30 Juli 2023 - 22:10 WITA

Selain Seksualitas, Ada Juga Sisi Gelap Bali dalam Novel Ayu Utami

28 Juli 2023 - 11:12 WITA

Sederet Pekerjaan Rumah Bali Sebelum Gelar Pameran Buku Internasional

23 Juli 2023 - 23:16 WITA

Trending di Bali Jani