Menu

Mode Gelap
50 Pengabdi Seni dan Budaya Desa Peliatan Dianugerahi Abisatya Sani Nugraha Meningkatkan Martabat Pendidikan Pertanian di Tengah Dominasi Pariwisata Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun

Bali Jani · 30 Jul 2023 22:10 WITA ·

“Ah”, Putu Wijaya Tak Pernah Berhenti Mengajak Berpikir


					Drama Perbesar

Drama "Ah" yang dipentaskan Teater Mandiri di ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) V, di Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu, 29 Juli 2023.

Dramawan Putu Wijaya tak pernah berhenti mengajak penontonnya berpikir. Sajian-sajian drama teaternya senantiasa mengganggu-ganggu orang agar terus berpikir, seperti ciri teaternya selama ini sebagai teror mental.

Kesan itu juga didapatkan penonton ketika menyaksikan pertunjukan drama bertajuk “Ah” garapan Teater Mandiri di gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Sabtu (29/7) malam. Garapan yang memukau ini kembali disutradarai sendiri oleh Putu Wijaya.

Penonton yang hadir langsung di Ksirarnawa memang sedikit. Namun, pertunjukan itu ditayangkan secara langsung melalui kanal youtube Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sehingga penonton bisa menyaksikannya dari mana pun.

Seperti drama-drama Putu Wijaya lainnya, “Ah” juga menggunakan tempo cepat dengan dialog-dialog pendek yang padat dan sarat kritik sosial. Hal ini menyebabkan penonton tidak merasa pertunjukan berlangsung hampir dua jam.

Guru besar sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud), I Nyoman Darma Putra juga merasakan hal itu. Menurutnya, kehebatan akting para pemain dan kekhasan lakon yang menteror mental gaya Putu Wijaya membuat pertunjukan itu menjadi memukau selama hampir dua jam. “Karena terpukau, waktu serasa cepat selesai atau terlampau tak terpantau,” kata Darma Putra yang menonton langsung pertunjukan di Ksirarnawa.

Putu Wijaya juga masih mempertahankan konsep teaternya yang memadukan antara hiburan, estetika, dan kritik sosial. Berhenti berpikir adalah sesuatu yang tidak diinginkan Putu Wijaya. Pesannya seolah bahwa siapa berhenti berpikir akan dilanda beku, sebaliknya siapa terus berpikir, inovasi kiranya akan hadir.

Dramawan dari Singaraja, Putu Satria Kusuma juga mengaku puas menyaksikan drama “Ah” Teater Mandiri. Menurutnya, permainan yang cepat dengan teknik bermain yang cukup rumit dibawakan secara apik oleh para aktor dari awal adegan sampai akhir. Pingpong dialog pendek-pendek sambil beraktivitas yang disuguhkan oleh dokter, pembantunya, kakek, lalu ke dukun, kepala suku, anak perempuan, dan anak kepala suku, menunjukan kematangan aktor yang mumpuni. Hal itu, kata dia, hanya bisa diekspresikan dengan keren oleh aktor-aktor yang sudah terlatih.

“Selain itu, sentuhan surealis yang mengingatkan pada gaya teater rakyat, hadir menarik dan unik dalam adegan telepon-menelpon antara kakek dan cucunya, si dokter, yang bertugas di pedalaman. Si cucu yang menerima telpon dari ruang berbeda bisa nyelonong masuk meninggalkan ruangnya yang jauh lalu masuk ke ruang kakek untuk memutus pembicaraan. Ini menarik dan dahsyat,” tulis Putu Satria di dinding facebook-nya.

Baginya, Putu Wijaya sebagai penulis lakon dan sutradara, melalui pertunjukan ini memberi pelajaran yang berharga untuk semua pelaku seni teater, khususnya di Bali. Melalui pertunjukan itu, para pegiat teater di Bali bisa belajar tentang teknik bermain dan capaian capaian artitistik pengadegan teater.

Berdasarkan Kisah Nyata

Lakon “Ah” sebenarnya sudah pernah dipentaskan Teater Mandiri secara daring Februari tahun 2022 lalu di kanal youtube Budaya Saya yang dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. “Ah”, menurut Putu Wijaya, diinspirasi sebuah kejadian nyata berdasarkan pengalaman seorang dokter muda yang dikenalnya. Seperti diceritakan dalam lakon, sang dokter ditugaskan di sebuah desa terpencil di salah satu provinsi di Indonesia. Tak hanya terpelosok, des aitu belum terjangkau kemajuan teknologi kedokteran. Berbagai peristiwa getir tetapi juga unik yang dialami sang dokter digubah Putu Wijaya menjadi lakon “Ah”.

Dalam “Ah” diceritakan dokter muda perempuan (Laila Uliel El Na’ma) yang ditugaskan di sebuah desa di pelosok daerah terpencil. Masyarakat di tempat itu masih terbelakang, lebih percaya pada hal-hak berbau klenik, mistik, dan perdukunan. Meski begitu, sang dokter awalnya tak menemukan masalah. Justru, satu-satunya masalah hanya soal gajinya yang baru dibayar tiap tiga bulan.

Sang dokter ditemani asistennya, Pao (diperankan Ari Sumitro) seorang pemuda cerdas. Sampai akhirnya masalah berat menghampiri sang dokter ketika istri seorang warga desa (Bambang Ismantoro) sakit keras. Dukun di des aitu (dimainkan Jose Rizal Manua), si pasien disebut sakit karena dua ekor ular masuk ke perutnya. Sebagai dokter yang memahami pengetahuan medis, sang dokter menentang dugaan dukun. Si dokter yakin si pasien sudah terlambat dibawa dan sudah meninggal dunia.

Anehnya, suami pasien tidak menerima istrinya dikatakan meninggal dunia. Justru dia mengamuk dan mengancam membunuh dokter dan asistennya. Amarah mereka baru mereda setelah sang dokter memberikan sejumlah uang yang diambil dari gajinya. Ironisnya, hal itu jadi motif dan kebiasaan warga setempat. Warga desa berdatangan membawa anggota keluarganya yang telah meninggal dunia untuk disembuhkan. Mereka baru pulang jika mendapat uang dari dokter. Setelah itu baru memakamkan jenazah kerabatnya itu. Hal itu membuat sang dokter kelabakan hingga terpaksa menjual apa saja yang dimilikinya.

Elemen absurditas dihadirkan dalam pertunjukan ketika ada adegan sang dokter diminta mengobati kepala suku yang katanya sakit keras. Warga setempat menganggap kepala suku sebagai pahlawan. Padahal, menurut dokter, sang kepala suku juga sudah meninggal. Malah, kepalanya terpenggal serta tubuhnya tertukar. Namun, anak kepala suku (diperankan Taksu Wijaya) justru murka dan juga mengancam sang dokter. Kemarahannya baru terhenti ketika asisten dokter mengacungkan bendera Merah Putih kecil yang merupakan aksesori hiasan kendaraan bermotornya yang rusak akibat tabrakan saat terburu-buru mendatangi rumah kepala suku.

Sang dokter menyebut pahlawan tak akan pernah mati, terus hidup abadi di hati semua orang. Ucapan dokter itu membuat anak kepala suku terkesan. Dia pun menerima kematian bapaknya sembari terus mengulang-ulang kalimat itu di depan anggota sukunya yang lain. Sang dokter pada akhirnya ditarik kembali ke pusat karena dituduh melakukan malpraktik.

Putu Wijaya juga memberikan sentuhan lokal dalam pertunjukan kembali lakon “Ah” dalam ajang FSBJ V. Kosa kata bahasa Bali terdengar diselipkan dalam dialog, seperti “kenken ne?” dan “jelema buduh”. Jelang akhir pertunjukan juga terdengar ucapan sembah pangaksama yang lazim dilantunkan Ni Putu Putri Suastini Koster saat membaca puisi. (b.)

  • Laporan: I Nyoman Dhirendra
  • Foto: istimewa
  • Penyunting: I Made Sujaya
Artikel ini telah dibaca 194 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Kalangan Muda Kurang Berminat Kunjungi Bulan Bahasa Bali

8 Januari 2025 - 22:28 WITA

50 Pengabdi Seni dan Budaya Desa Peliatan Dianugerahi Abisatya Sani Nugraha

27 Desember 2024 - 09:00 WITA

Festival Literasi Akar Rumput 2024: Safari Literasi Berbasis Komunitas di Empat Kabupaten

4 Oktober 2024 - 21:13 WITA

Digelar 23-25 Juli 2024, Rare Bali Festival Usung Tema “Tribute to Made Taro”

27 Juni 2024 - 22:23 WITA

Mengenang Kembali Dedikasi Maestro I Gusti Nyoman Lempad

27 Juni 2024 - 21:18 WITA

Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat

26 Februari 2024 - 15:18 WITA

Trending di Bali Jani