Jumat, 28 April 2023, Klungkung larut dalam perayaan Hari Puputan Klungkung. Pemerintah Kabupaten Klungkung menggelar Festival Semarapura untuk memeriahkan peringatan 115 tahun peristiwa heroisme raja dan rakyat Klungkung melawan kolonialisme Belanda. Pada hari itu juga sekaligus dirayakan hari jadi ke-31 Kota Semarapura.
Pusat Kota Semarapura, terutama di kawasan Catus Patta dan sekitarnya, ditutup total dari kendaraan. Di depan Monumen Puputan Klungkung Ida Dewa Agung Jambe didirikan panggung megah. Ada pentas musik, pertunjukan solah barong sebarung dan berbagai kegiatan lain. Sepanjang Jalan Puputan dan Jalan Surapati berjejer berbagai stand atau gerai milik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang menjajakan produk mereka. Ada produk kerajinan, ada pula kuliner. Suasana padat merayap. Warga Klungkung memang tengah berpesta.
Namun, sekitar 1,5 km arah barat daya pusat keramaian di tengah Kota Semarapura itu, sekelompok sastrawan dan pecinta sastra berkumpul. Bertempat di Jalan Flamboyan 57 Semarapura yang merupakan markas SMA Pariwisata PGRI Dawan Klungkung (dikenal dengan sebutan SMA Paris) itu, mereka juga tengah memaknai Puputan Klungkung. Kebanyakan merupakan tokoh-tokoh dari Klungkung, seperti I Wayan Suartha, IBG Parwita, IB Pawanasuta, Ngakan Kasub Sidan, Ketut Aryawan Kenceng, April Artison, Dewa Gede Anom, Nyoman Wilasa, AA Yuliantara, Gede Sarjana Putra, Nyoman Mudarta, I Made Suar Timuhun, serta I Made Sujaya. Ada juga tokoh sastra dari luar Klungkung, seperti Gde Aryantha Soethama, GM Sukawidana, dan Putu Supartika. Sejumlah guru dan siswa SMA Paris dan Komunitas Sastra Lentera SMA 2 Semarapura juga ikut meramaikan.
Peristiwa Sastra
Kegiatan yang diprakarsai penyair I Wayan Suartha dan IBG Parwita itu bertajuk apresiasi dan diskusi sastra dengan tema “Klungkung Rumah Keindahan”. Seperti lazimnya apresiasi sastra, kegiatan itu diisi dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, pertunjukan monolog, diskusi sastra dan berbagi cerita soal Klungkung dalam dinamika sastra dan kebudayaan Bali. Selain memaknai Puputan Klungkung, kegiatan itu juga untuk mengenang sastrawan Umbu Landu Paranggi yang berpulang 6 April 2021 lalu dan sastrawan dari Desa Sulang Klungkung, I Ketut Rida yang berpulang 1 April 2022 lalu. Umbu yang dikenal sebagai redaktur sastra di Bali Post dan penempa penyair-penyair muda sejak lama memiliki perhatian khusus pada geliat apresiasi sastra di Klungkung, sedangkan Ketut Rida merupakan salah satu putra terbaik Klungkung dalam bidang sastra Bali modern.

I Wayan Suartha
“Kita berkumpul di sini, berapresiasi sastra, sesungguhnya juga sebuah upaya merayakan atau memaknai Puputan Klungkung. Walau kecil dan sederhana, ini tentu sebuah peristiwa sastra,” kata Suartha.
Menurut Suartha, meski mungkin terpinggirkan dalam wacana publik, sastra tetap hadir dan terlibat. Terlebih lagi sesungguhnya spirit Klungkung adalah kung yang bermakna ‘keindahan’ atau ‘cinta’. “Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan. Begitu Umbu menuliskan dalam larik sajaknya, ‘Melodia’. Karena cinta pada Klungkung, maka teman-teman hadir di sini,” kata penyair yang buku puisinya, Buku Harian Ibu Belum Selesai terbit tahun 2020 lalu.

IBG Parwita
IBG Parwita, rekan Suartha yang juga Kepala SMA Paris menegaskan Klungkung atau Semarapura sebagai kota yang dibangun dari spirit ‘cinta’ dan ‘keindahan’ itu. Dia mengupas kata smara dan samara yang sepintas terdengar sama, tetapi memiliki makna berbeda. Smara berarti ‘cinta’, sedangkan samara bermakna ‘perang’. “Namun, maknanya juga masih bisa ditarik hubungannya. Seorang ksatria mengorbankan kenikmatan cinta atau smara itu untuk melaksanakan yoga di tengah peperangan,” kata Parwita.
Duo Klungkung

Gde Aryantha Soethama
Sastrawan Gde Aryantha Soethama asal Gianyar dan kini bermukim di Denpasar menyebut Klungkung sebagai kota kenangan. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di Klungkung karena ayahnya pernah menjadi Kepala SMP 1 Klungkung tahun 1950-an hingga Rp 1960-an. Namun, kata dia, kehebatan Klungkung, karena punya duo hebat dalam bidang kesenian atau kebudayaan. Jika Amerika punya duo penyanyi hebat, Paul Simon dan Arthur Garfunkel, Klungkung punya duo Nyoman Mandra dan Nyoman Gunarsa di bidang seni rupa serta duo I Wayan Suartha dan IBG Parwita di bidang sastra.
“Kalau tak ada Wayan Suartha dan IBG Parwita, mungkin kita tak akan bisa berkumpul di sini, berapresiasi sastra memaknai Puputan Klungkung,” kata Aryantha.
Namun, Aryantha mengingatkan kegiatan apresiasi sastra kerap kali terjebak dengan pola hit and run. Gencar dilaksanakan pada suatu hari tertentu, tapi setelah itu ditinggalkan dan akhirnya berhenti, tak ada kesinambungannya. Anak-anak yang ikut terlibat juga menghilang seiring tamatnya mereka. Yang masih bertahan hanya yang tua-tua dan orangnya itu-itu saja.
“Duo Nyoman Mandra-Nyoman Gunarsa serta duo Wayan Suartha-IBG Parwita adalah sebuah cermin kesuntukan dan kesinambungan. Mestinya kita menyelami kesetiaan duo-duo Klungkung ini dan terus berjuang melahirkan duo-duo lainnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan,” kata cerpenis yang baru saja merilis buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Malam Pertama Calon Pendeta.
Karena itu, I Made Sujaya mengutip pesan Umbu Landu Paranggi mengajak untuk menjadikan apresiasi di SMA Paris ini sebagai ‘pijakan start‘ untuk menggairahkan kembali apresiasi sastra di Bumi Serombotan. Pada masa kerajaan, Klungkung dikenal sebagai pusat pertumbuhan sastra. Klungkung melahirkan sejumlah pangawi (pengarang) penting Bali. Pada zaman Gelgel lahir kawi-wiku Mpu Nirartha, Ki Dauh Bale Agung, Hyang Angsoka, Pangeran Telaga, Ida Bukcabe, Ki Pande Bhasa, dan Pandya Agra Wetan. Di era Klungkung muncul nama-nama seperti Dewa Agung Istri Kanya, Pedanda Gede Rai dan Anak Agung Pemeregan.
Klungkung terus menjadi rahim yang melahirkan para pengarang era sastra Bali modern dan sastra Indonesia. Beberapa di antaranya, I Ketut Rida, Idk Raka Kusuma, I Wayan Suartha, Ida Bagus Gde Parwita, Ketut Sumarta, Wayan Westa, Agung Bawantara, Herry Wijaya, Gde Artawan, Rai Sulastra, Nyoman Mastra, Nengah Wardi, Ngakan Made Kasub Sidan, Made Sarjana, Nyoman Pasek Sugiadnyana, Ketut Aryawan Kenceng. Belakangan muncul sastrawan muda asal Klungkung, antara lain Komang Adnyana, Ni Made Purnamasari, Mira Antigone, Juli Sastrawan, Carma Citrawati, I Gede Gita Purnama, dan Made Suar Timuhun. Belum lagi sejumlah pengarang luar Klungkung yang kemudian menetap atau menjadi warga Klungkung, seperti IBW Widiasa Keniten, IB Pawanasuta, I Gede Sarjana Putra, Luh Suwita Utami, dan Ni Made Ari Dwijayanti.
Monumen Kata-kata
Klungkung juga menjadi “lahan garapan” yang tiada habis digali sebagai tema karya-karya mereka. Terbukti, banyak sajak dan prosa yang bertema atau berlatar Klungkung. Bahkan, sudah ada tiga buku kumpulan puisi tentang Klungkung yang terbit, yakni Pupute Tan Sida Puput (puisi Bali, 2001), Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016), dan yang terbaru Di Altar Catus Patta (2022).
Klungkung, imbuh Sujaya, meski merupakan daerah kecil, aklingkungan, tampaknya punya daya pikat juga bagi para sastrawan di Bali. Mereka mengabadikan Bumi Serombotan itu dalam candi bahasa. Semacam persembahan, punia bakti, tarpana sastra bagi daerah yang pernah menjadi pusat kebudayaan Bali. Bila penguasa mempersembahkan monumen batu untuk mengabadikan kegemilangan masa lalu, para sastrawan mempersembahkannya sebagai monumen kata-kata.
“Begitulah kata-kata bekerja mengeja kejayaan Semarapura,” kata Sujaya.

GM Sukawidana
Sastrawan GM Sukawidana mengatakan Klungkung juga merupakan kota literasi. Di kota ini, literasi menjadi nafas. Itu diwariskan para seniman dan sastrawan Klungkung sejak zaman kerajaan dulu. “Senantiasalah Klungkung menjadi rumah keindahan dan rumah literasi,” kata GM Sukawidana.
Jurnalis yang juga penikmat sastra, Nyoman Wilasa senang kegiatan apresiasi sastra di Klungkung masih tetap dijaga para tokoh-tokohnya. Menurut Wilasa, sastra bukan sekadar penggugah keindahan yang membuat kelanguan, tapi juga mengasah mata batin manusia dalam memaknai dan menjalani hidup. Karena itu, dia mengingatkan agar siswa yang diajak dalam kegiatan ini terus disadarkan bahwa kegiatan bersastra tak bisa dilakoni dengan sikap mencoba-coba. Senada dengan pernyataan Gde Aryantha Soethama, Wilasa mengajak para siswa menjalani kegiatan bersastra dengan keteguhan hati untuk suntuk dan tekun.
Kepala SMA 1 Banjarangkan, Dewa Gde Anom mengaku menikmati apresiasi sastra yang dikemas sebagai ruang dengan kesempatan yang sama kepada semua yang hadir untuk berbicara dan mengekspresikan dirinya. “Tak ada pembicara atau narasumber kunci karena semua di antara kita menjadi narasumber, mencari makna itu. Semua diberi tempat, semua dicatat. Ini sebuah pandangan yang menarik,” kata Dewa Anom yang saat menjadi guru di SMA 1 Dawan bersama siswanya mendirikan Sanggar Tutur.
Kolaborasi Melanjutkan Apresiasi
IB Pawanasuta juga tergugah dengan apresiasi sastra di Klungkung yang menghadirkan tokoh-tokoh sastra berpengalaman. Pawanasuta mengajak siswanya yang tergabung dalam Komunitas Sastra Lentera hadir sekaligus mempersembahkan musikalisasi puisi. “Spirit menjaga Klungkung sebagai rumah keindahan ini pula yang mendasari kami bersetia menghidupkan Komunitas Sastra Lentera bersama anak-anak. Bahkan mereka yang sudah tamat, masih tetap merasa punya ikatan. Saat ada kegiatan sastra di komunitas, mereka datang dan ikut meramaikan,” kata Pawanasuta.
Dewa Anom dan Pawanasuta juga sepakat dengan apa yang disampaikan Gde Aryantha Soethama agar kegiatan apresiasi sastra semacam ini dijaga kesinambungan dan kesuntukannya. Keduanya menyatakan siap berkolaborasi menghidupkan kembali atmosfer apresiasi sastra di Klungkung.
Suartha berharap setelah apresiasi di SMA Paris, akan ada kolaborasi melanjutkan apresiasi di Klungkung. Menurut Suartha, Klungkung bisa bercermin pada Kota Denpasar yang memiliki agenda apresiasi rutin Purnama Badrawada. “Mungkin sebulan sekali atau dua bulan sekali, kawan-kawan bertemu, berkumpul, membincangkan karya-karya sastra terbaik dari Klungkung atau luar Klungkung yang penting dan menarik yang didiskusikan, sambil kita mengusut-usut anak-anak muda berbakat untuk menulis,” kata Suartha.
Menurut Suartha, perayaan Puputan Klungkung seyogyanya tetap memberi tempat bagi peristiwa sastra. “Kekayaan Klungkung itu, ya, sastranya. Sastra itu bermakna dan berkontribusi bagi hidup kalau diapresiasi. Maka mari kita rawat dan jaga bersama dengan apresiasi yang suntuk,” tandas Suartha. (b.)
- Laporan: I Ketut Jagra
- Foto: istimewa
- Penyunting: I Made Radheya