Setelah menuntaskan upacara ngaben pada Jumat, 19 Agustus 2022 lalu, Desa Adat Kusamba, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung menggelar upacara ngeroras yang puncaknya dilaksanakan pada Rabu, 31 Agustus 2022. Upacara ini diikuti 223 puspa (simbol atma atau roh orang yang diupacarai) dengan 124 pangarep atau pamilet (peserta). Upacara di-puput Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Gria Aan, Klungkung serta Ida Pedanda Gede Wayan Darma dari Gria Wanasari, Desa Talibeng, Kecamatan Sidemen, Karangasem. Ribuan krama Desa Adat Kusamba pun hadir dalam upacara tersebut.
Bendesa Desa Adat Kusamba, AA Gede Raka Swastika mengungkapkan upacara ngeroras merupakan rangkaian Karya Pitra Yadnya Kinembulan, Ngeroras, lan Nuntun Desa Adat Kusamba tahun 2022. Upacara ini dilaksanakan tepat 12 hari setelah upacara ngaben dan bertujuan menyucikan atman yang sudah diupacarai dalam upacara ngaben lalu sehingga bisa meningkat statusnya secara spiritual dari pitara menjadi dewa pitara. “Pada 3 September 2022 nanti rangkaian akhirnya adalah upacara nyegara gunung dan nuntun dengan tujuan nglinggihang atau menstanakan dewa pitara di sanggah/merajan masing-masing,” ungkap Raka Swastika.

Prosesi peed puspa dari genah panyucian menuju bale payadnyan.
Ketua Umum Prawartaka Karya, I Nengah Sumarnaya menjelaskan dalam upacara ngeroras diupacarai 223 puspa dengan 124 pangarep atau pamilet. dari 223 puspa itu, 99 di antaranya merupakan puspa laki-laki dan 124 puspa perempuan. Sementara dalam upacara nuntun diupacarai 229 puspa, yang terdiri atas 102 puspa laki-laki dan 127 puspa perempuan. 229 puspa itu dipertanggungjawabkan oleh 127 pangarep atau pamilet.
Upacara ngeroras dipusatkan di bale payadnyan di jaba sisi Pura Segara Desa Adat Kusamba. Rangkaian upacara pada puncak karya ngeroras diawali dengan upacara macaru di bale payadnyan. Selesai macaru, seluruh puspa yang sebelumnya distanakan di rumah masing-masing pangarep, mengikuti prosesi mapeed dari genah panyucian di Banjar Tengah menuju bale payadnyan di Pura Segara. Setelah itu, barulah dilaksanakan upacara mapurwa daksina, yakni iring-iringan puspa mengitari tempat upacara dari timur (purwa) menuju ke selatan (daksina) searah jarum jam sebagai simbol mencapai alam tertinggi, yakni swahloka. Usai mapurwa daksina, sore hari dilanjutkan dengan narpana puspa yang di-puput sulinggih.
Kamis, 1 September 2022 subuh dilaksanakan upacara ngliwet serta ngeseng puspa. Seluruh puspa yang sudah diupacarai akan dibakar lalu abunya dimasukkan ke dalam bungkak (kelapa yang masih muda sekali dan belum ada isinya). Rangkaian akhir upacara ngeroras ditutup dengan nganyut ka segara (melarung ke tengah laut).
AA Gede Raka Swastika dan I Nengah Sumarnaya menyampaikan seluruh rangkaian upacara ngaben, ngeroras hingga nuntun dilaksanakan secara bersama-sama sesuai konsep kinembulan. Kata kinembulan berasal dari kata kembulin yang mendapat sisipan in dan berarti ‘dikeroyok’ atau ‘dikerjakan bersama-sama’. Dalam tradisi Bali, kinembulan bermakna mengerjakan suatu upacara secara bergotong-royong bersama-sama, baik dalam hal pembiayaan, menyiapkan sarana upakara dan kebutuhan upacara lainnya, serta pelaksanaan upacara.
“Selain membantu krama yang kemampuan ekonominya terbatas agar bisa menunaikan kewajibannya melaksanakan upacara pitra yadnya maupun dewa yadnya ini, tapi juga memupuk kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di antara krama desa. Inilah kekuatan utama desa adat sebagai fondasi adat dan budaya Bali yang patut kita jaga bersama-sama,” tandas Raka Swastika. (b.)
- Laporan: I Made Sujaya
- Foto: Istimewa
- Editor: I Ketut Jagra