Pandemi Covid-19 membuat lembaga perkreditan desa (LPD) di Bali tampak makin “seksi” saja. Banyak pihak memperhatikan sekaligus mempertanyakan keberadaan LPD, terutama terkait keistimewaan-keistimewaan yang didapatkan. Kantor pajak datang mempertanyakan LPD, kejaksaan dan kepolisian juga datang mengusut LPD. Padahal, LPD yang sedang terpuruk karena pandemi kini makin terpuruk karena mengemukanya kasus-kasus LPD, terutama dikenakannya tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum.
“Janganlah biarkan pengelola LPD, baik pengurusnya maupun prajuru desanya berjuang sendiri dalam situasi terpuruk seperti sekarang,” kata Bendesa Desa Adat Kedonganan, I Wayan Mertha saat memberikan sambutan pada acara pembagian daging babi dan ayam serta beras bagi krama desa dan nasabah LPD Desa Adat Kedonganan di jaba Pura Bale Agung setempat, Senin, 6 Juni 2022.
Menurut Mertha, semua pihak mesti melihat kontribusi besar LPD selama 37 tahun yang terbukti sebagai penyangga adat dan budaya Bali. Mertha menilai peran LPD bagi desa adat sangat vital.
Mertha mencontohkan Desa Adat Kedonganan yang membutuhkan biaya sekitar Rp 700 juta tiap tahun untuk melaksanakan berbagai upacara rutin di pura. Itu belum termasuk kegiatan upacara insidental, seperti ngenteg linggih dan kegiatan adat lainnya. Belum lagi biaya upacara yang dikeluarkan krama adat secara pribadi maupun kelompok.
“Kami bersyukur ada LPD Kedonganan yang bisa menopang pembiayaan itu. Tanpa ada LPD, kami pasti kerepotan. LPD Kedonganan selama ini terbukti mengatasi persoalan kemiskinan, bahkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat Kedonganan,” beber Mertha.
Itu sebabnya, Mertha mewanti-wanti agar perhatian dan pertanyaan yang diberikan berbagai pihak, mesti dalam kerangka memperkuat peran dan fungsi LPD sebagai penyangga adat dan budaya Bali. Dosen di Politeknik Pariwisata Bali ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Bali membuat pusat kajian LPD yang khusus mengkaji LPD dari berbagai aspek hingga merancang sistem tatakelola LPD yang sesuai dengan kekhasannya sebagai lembaga keuangan khusus komunitas adat. Selama ini sudah ada pusat kajian pariwisata, pusat kajian budaya, kini perlu ada pusat kajian LPD.
“Pemerintah daerah perlu turun tangan, para pakar perlu turun tangan. Persoalan-persoalan yang dihadapi begitu kompleks dan membutuhkan pendekatan multidisiplin. Sekarang LPD ditegaskan sebagai lembaga milik desa adat yang diatur hukum adat. Memang ada pertanyaan, betulkah hukum adat mampu mengayomi LPD dengan permasalahan yang kompleks itu. Inilah perlu dikaji. Apa yang harus kita lakukan. Bagaimana membangun tatakelola LPD yang berlandaskan hukum adat tapi juga menjawab kompleksitas permasalahan LPD,” ujar Mertha.
Manggala (Ketua) LPD Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra menyatakan masalah-masalah yang dihadapi LPD kini tidak bisa ditangani secara parsial di tingkat desa adat semata, tetapi harus holistik dalam kerangka Bali yang utuh. Apa yang terjadi dengan LPD kini merupakan dampak dari dua hal, yaitu masalah LPD dan LPD bermasalah.
Jika ditelusuri lebih jauh, kedua hal itu berakar pada dualisme regulasi mengenai LPD. Di satu sisi diakui dan ditegaskan diatur oleh hukum adat, di sisi lain juga ada hukum negara (hukum positif) yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan LPD. Keberadaan Perda No. 3 tahun 2017 tentang LPD juga belum sepenuhnya selaras dengan semangat mewujudkan LPD sebagai lembaga keuangan khusus komunitas adat yang diatur dengan hukum adat. Karena itu, Madra mendorong adanya revisi perda tersebut.
Selain itu, ketiadaan lembaga yang menjadi regulator yang mengatur, melindungi, membina, dan mengayomi LPD-LPD di seluruh Bali. Madra mencontohkan industri perbankan yang diatur, dilindungi dan diayomi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Bali yang memiliki LPD dengan karakter khas dan oleh negara diakui dan ditegaskan diatur hukum adat, bisa mengadopsi peran OJK dengan membentuk lembaga regulator khusus yang mengatur, membina, melindungi dan mengayomi LPD,” tegas Madra.
Bukan Laba, tapi “Labdha”
Madra juga mengajak krama desa adat untuk memahami hakikat LPD sebagai lembaga keuangan khusus komunitas adat yang bersifat sosial religius. Karena itu, keberhasilan LPD bukanlah seberapa jauh meraih laba atau keuntungan finansial yang sebesar-besarnya melainkan seberapa jauh berada di tengah-tengah krama adat, memberikan labdha atau manfaat bagi krama dan desa adat.
“Tujuan utama LPD adalah mewujudkan pancakreta atau kesejahteraan warga dari tingkatan diri sendiri, keluarga, desa adat, negara, dan lingkungan serta menunjang pelaksanaan pancayadnya atau lima pengorbanan suci dalam ajaran Hindu,” tandas Madra.
Mertha juga sependapat dengan Madra. Menurut Mertha, sebagai lembaga keuangan khusus milik desa adat, LPD memang seyogyanya mengedepankan benefit (manfaat), bukan profit. Bahkan, menurut Madra, tidak apa-apa laba LPD kecil, yang penting masyarakat merasakan manfaatnya dalam upaya menyangga adat dan budaya Bali.
Berkaitan dengan manfaat LPD, seperti perayaan Galungan dan Kuningan sebelumnya, kali ini LPD Kedonganan juga kembali membagikan daging babi dan ayam serta beras. Sedikitnya 3.248 paket daging dibagikan kepada krama adat dan nasabah. Paket daging itu terdiri atas 5.808 daging babi, 5.388 daging ayam, serta 32,5 ton beras. Tiap krama desa yang memiliki saldo mengendap minimal Rp 200.000 serta nasabah krama tamiu yang memiliki tabungan mengendap selama setahun minimal Rp 10 juta atau deposito minimal Rp 50 juta berhak menerima 2 kg daging babi, 1,5 kg daging ayam dan 10 beras. Beras yang dibagikan merupakan hasil sinergi LPD Kedonganan dengan para petani di Desa Adat Pemanis, Desa Biaung, Kecamatan Penebel, Tabanan. (b.)