Di balik segala fakta tentang keindahan alam dan misterinya, hutan adat Desa Demulih juga menyimpan fakta lain yang cukup menggelitik. Mungkin terdengar sangat sederhana, namun besar dampaknya bagi kehidupan generasi kita pada masa yang akan datang.
Kami, tim riset keilmuan Sinergi Konservasi Burung Bersama Desa Adat dalam Mempromosikan Bukit Demulih Bangli sebagai Kawasan Wisata Edukasi Virtual yang Hijau dan Berkicau (Sitadewiku) Merdeka Belajar Kampus Merdeka, memakan waktu sekitar 1 jam lebih perjalanan dari Denpasar menuju Desa Demulih. Tiba di Desa Demulih, udara segar serta kicauan burung-burung pun seakan menyambut kedatangan kami.
Saya dan tim melanjutkan perjalanan menuju Pura Taman selama kurang lebih sepuluh menit dengan berjalan kaki. Wafas terengah-engah, kami merasa senang karena sepanjang perjalanan kami disuguhi dengan panorama alam yang asri nan hijau menyegarkan mata yang penat ini.
Tiba di pura, kami pun melakukan persembahyangan bersama dengan khusyuk. Suara kicauan burung-burung yang saling bersahutan satu sama lain mencuri perhatian saya dan tim.
Salah satu mitra desa kami, Pak Nengah Muliarsa sangat pandai dalam menirukan suara burung dan beliau pun ikut bersahut-sahutan bersama burung-burung di sana. “Apakah kalian mendengarnya? Itu adalah suara burung Cabe,” ucap Pak Nengah Muliarsa. Mitra-mitra desa lainnya juga sempat membicarakan bahwa ada burung alap-alap yang terlihat beterbangan pada sisi barat tebing.
Perjalanan kami tak berhenti di Pura Taman, saya dan tim melanjutkan langkah kaki kami menuju puncak Bukit Demulih dengan menyusuri anak tangga yang lumayan curam dan banyak. Tarikan nafas mahasiswa-mahasiswi berusia kepala dua ini pun mulai terengah-engah lagi.
Sisi Mistis
Sungguh nikmat rasanya salah satu tim kami tidak ikut merasakan sensasi menaiki puluhan bahkan ratusan anak tangga menuju puncak Bukit Demulih. Karena memang peraturan tidak tertulis atau kerap kali disebut awig-awig turun-temurun masyarakat desa setempat melarang wanita yang belum tepat 12 hari setelah selesai menstruasi atau cuntaka untuk naik ke puncak Bukit Demulih.
Tapi ia tidak akan merasakan langsung panorama indah dari atas puncak bukit serta mendapat pengalaman mencium wewangian harum yang cenderung ‘mistis’ yang dirasakan oleh salah satu fasilitator kami, Ibu Dayu.
“Saya tidak berani mengungkapkan kalau saya mencium aroma yang sangat harum tidak biasa saat berada di bukit, makanya saya ungkapkan sekarang,” ungkap Ibu Dayu sambil tertawa. “Bukit Demulih dahulunya merupakan kawasan yang digunakan oleh para orang suci untuk bertapa,” ucap salah satu mitra desa seusai menuruni bukit.
Selain kemistisan tersebut, Bukit Demulih juga menyimpan misteri lain terkait dengan satwa yang ada di dalamnya. Dari cerita mitra desa kami, jika ada orang yang dengan berani menangkap apalagi menembak satwa bersuara merdu tersebut maka mereka akan mendapat malapetaka.
“Orang luar yang masuk ke sini enggan memburu satwa tersebut karena menurut masyarakat di sini keramatnya sangat luar biasa,” seru Pak Nengah Muliarsa.
Satwa tersebut adalah ayam keker. Menurut mitra desa kami, keberadaan ayam berbulu hijau agak kemerahan ini masih banyak terdapat di Bukit Demulih, sekitar 100 ekor lebih.
“Istilahnya kalau di Bali, jika menembak ayam keker atau ayam hutan di sini maka setelahnya harus membawa banten. Kalau tidak begitu tidak akan bisa sembuh dari penyakit yang kena setelah menembaknya,” ucap Pak Nengah Muliarsa.
Sampah Plastik
Di balik berbagai fakta mengenai keasrian dan misterinya, kawasan hutan adat Demulih menyimpan sisi lain mengenai kebersihan lingkungannya. Persoalan sampah memang tak ada habisnya. Kesadaran beberapa masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dengan membuang sampah plastik sekecil apa pun itu pada tempatnya masih terbilang kurang.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan Hutan Adat Demulih. “Kami melaksanakan bersih-bersih dan juga akan mengundang komunitas pengolahan sampah untuk membimbing anak-anak dan juga remaja disini,” ucap Mbok Tini, mantan Ketua Muda-Mudi atau Sekaa Truna-Truni Murdha Citta.
Saya dan tim sempat merasa kurang nyaman dengan adanya sampah plastik yang cukup banyak berserakan di sekitar area pura. Kami pun melakukan kegiatan bersih-bersih, utamanya sampah plastik yang dapat menjadi ancaman bagi keasrian hutan adat Demulih dan mengganggu estetika serta kenyamanan orang yang berasa di sekitarnya.
Namun, apakah kita hanya membersihkan saja sampah-sampah saat melaksanakan kegiatan gotong royong saja atau menunggu petugas untuk membersihkannya? Apakah saat kita menjajaki kawasan hutan adat kita boleh seenaknya saja membuang sampah plastik sembarangan? Toh juga akan dibersihkan saat kegiatan bersih-bersih bersama dan ada petugas untuk menangani hal itu.
Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan menyimpan dahulu sampah saat belum menemukan tong sampah perlu terus ditanamkan kepada setiap warga maupun orang-orang yang memasuki kawasan hutan adat Desa Demulih. Dari bukti yang ditemukan di sekitar Pura Taman masih terlihat kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat mereka beraktivitas.
Sayang sekali jika banyak keindahan yang ada di dalam Hutan Adat Demulih ternodai dengan beberapa orang di sekitarnya yang menyepelekan hal kecil dengan masih membuang sampah sembarangan. Sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan lama dan memulai kebiasaan baru dengan menjaga lingkungan kita dengan hal kecil, yaitu membuang sampah plastik pada tempatnya. Tidak perlu menunggu teguran siapapun. Ini sebenarnya tidaklah sulit, tapi kita hanya belum terbiasa dengan ini. Kalau tidak memulai sekarang, kapan lagi? (b.)
- Penulis: Ni Putu Bellina Putri
- Penulis yang biasa dipanggil Bell ini dilahirkan di Denpasar, 24 Juni 2001. Saat ini sedang menempuh studi di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa Asing, Universitas Mahasaraswati Denpasar, semester VI.