Dari Webinar “Nafas Desa di Bali di Masa Pandemi”
Guru besar hukum adat Bali dari Universitas Udayana, Wayan P. Windia mengingatkan agar tidak semua persoalan dibebankan kepada desa adat. Pasalnya, selain memiliki kekuatan, desa adat juga memiliki kelemahan. Karena itu, menurut Windia, keliru jika membayangkan desa adat demikian kuat sehingga bisa mengatasi segala persoalan.
Pandangan itu disampaikan Windia saat tampil sebagai pembicara dalam seminar virtual atau webinar bertajuk “Nafas Desa di Bali di Masa Pandemi” yang digelar Pusat Penelitian Kebudayaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana, Sabtu (23/5). Windia menanggapi pertanyaan salah seorang peserta terkait peran desa adat dalam penanganan sejumlah masalah lain selain pandemi covid-19, seperti narkoba.
Selain Windia, seminar yang dipandu guru besar sastra Unud, I Nyoman Darma Putra itu juga menampilkan pembicara Bendesa Desa Adat Kedonganan yang juga dosen Politeknik Pariwisata Bali, I Wayan Mertha. Seminar dibuka Rektor Unud, AA Raka Sudewi dan diikuti sedikitnya 412 peserta dari Indonesia serta sejumlah negara lain, seperti Australia, termasuk duta besar Indonesia untuk Zimbabwe, Dewa Juniarta Sastrawan.
“Dalam kaitannya dengan pandemi ini covid-19, masih ada warga desa adat yang maboya atau menyepelekan apa yang diingatkan pihak berwenang dalam hubungannya dengan covid-19. Ini memang mesti kita pikirkan bersama,” kata Windia.
Bahkan, menurut Windia, masyarakat yang kebersamaannya cukup kuat, seperti halnya masyarakat adat, ada kecenderungan menolak hal-hal baru secara ekstrem. Misalnya, adanya warga adat yang menolak karantina PMI.
Namun, Windia menerima pelibatan desa adat dalam penanganan pandemi covid-19. Pasalnya, menurut Windia, persoalan pandemi covid-19 bukan semata-mata masalah kesehatan. Mungkin persoalan virus dianggap tidak ada hubungannya dengan desa adat.
Menurut Windia, hubungan desa adat bukan dengan virusnya sendiri, tetapi cara penyebaran atau penularannya yang agak berbeda dengan virus lainnya. Kalau demam berdarah dengue (DBD) penyebarannya lewat nyamuk, sehingga penangannya dengan membunuh nyamuknya, persoalan DBD bisa diatasi.
Persoalan covid tidak bisa diatasi dengan membunuh orangnya, namun melalui pembatasan aktivitas orangnya. Karena itulah desa adat lebih diberikan peran karena memiliki pendekatan-pendekatan yang khas.
“Selain itu, jangan dilupakan, bagi pandangan desa adat sendiri, covid ini bukan semata persoalan sekala, tapi juga niskala. Orang Bali menyebutnya alikan gumi. Tidak bisa diselesikan secara sekala saja, tapi juga harus melibatkan hal-hal secara niskala. Inilah alasannya desa adat dilibatkan,” kata Windia.
Menurut Windia, yang paling ideal bagi Bali memang memerankan kedua desa, baik desa dinas maupun desa adat, sesuai kawitan-nya masing-masing. Kedua desa ini punya kawitan-nya sendiri, tata kelolanya sediri, hukumnya sendiri.
Windia menambahkan, selama pandemi, ‘nafas’ desa adat di Bali mesti tetap dijaga. Pasalnya, dalam masa pandemi, desa di Bali tidak hanya berduka, tetapi juga benar-benar berduka dengan nafas tersengal-sengal. Pelibatan desa adat, kata dia, merupakan upaya menjaga agar desa adat tetap hidup.
Windia menilai cara Bali menangani pandemi dengan mengkombinasikan peran desa dinas dan desa adat setidaknya membawa dampak positif. Hingga kini, tingkat kematian kasus covid-19 di Bali sangat rendah dan tingkat kesembuahn tertinggi di Indonesia. “Apa yang dicapai Bali itu tidak lepas dari aktivitas yang dilakukan oleh desa di Bali, baik sekala yang dilakukan oleh desa dinas, dan aktivitas niskalayang dilakukan oleh desa adat di seluruh Bali,” ujar Windia.
Windia membeberkan, Bali tercatat memiliki 1.493 desa adat, 585 desa dan 89 kelurahan. Dengan demikian, total desa dinas di Bali Jumlah desa dinas di Bali sebanyak 674.
Kasus Ngaben Sudaji
Ditanya peserta mengenai kasus ngaben saat pandemi di Desa Adat Sudaji yang berujung pada proses hukum, Windia menjelaskan penyelenggaraan upacara adat dan acara adat atau upacara agama dan acara agama sudah diatur untuk disesuaikan dengan imbauan melakukan jarak sosial. Upacara agama tetap berjalan seperti biasa, acara adat berjalan seperti biasa dengan membatasi jumlah peserta pada upacara dan acara.
“Bagaimana kalau telanjur pesertanya membludak seperti ngabendi Sudaji? Untuk menjawab hal ini, tajenbisa dipakai perbandingan. Kalau tajenbisa diselesaikan secara persuasif, kenapa kasus ngaben yang telanjur dilaksanakan agak tidak sesuai dengan protokol kesehatan, juga tidak diselesaikan secara persuasif,” kata Windia.
Bendesa Desa Adat Kedonganan, I Wayan Mertha mengungkapkan pandemi covid-19 membuat perekonomian masyarakat di desanya lumpuh. Sejak 22 Maret, kafe-kafe ikan bakar di Pantai Kedonganan yang dimiliki secara kolektif oleh 1.198 krama adat, ditutup. Hal itu berdampak pada sekitar 70-80% kegiatan masyarakat tidak bisa berjalan.
Mengatasi kondisi itu, pihaknya bersinergi dengan LPD Desa Adat Kedonganan memberikan stimulus ekonomi, berupa penundaan atau keringanan pembayaran kredit dan bantuan sembako selama tiga bulan sejak April hingga Juni 2020. Namun, masyarakat adat Kedonganan kini banyak yang seperti kehilangan harapan karena tidak adanya kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Selain itu, terjadi juga benturan kepentingan antara kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi.
Duta besar Indonesia untuk Zimbabwe, Dewa M. Juniarta Sastrawan sepakat dengan Windia. Menurutnya, mengenai kombinasi peran antara desa dinas dan desa adat sangat diperlukan untuk menghadapi pandemi. Menurutnya, di negara-negara lain pun, penanganan covid-19 memanfaatkan kelokalannya masing-masing. (b.)
- Laporan: I Made Sujaya