Meski terasa berat, Gede Ugu akhirnya berlapang dada memutuskan menunda resepsi pernikahannya 1 April 2020 lalu. Pembatasan sosial (social distancing) selama masa tanggap darurat bencana wabah virus korona memaksanya meminggirkan dulu harapan berbagi kebahagiaan bersama keluarga, kerabat, dan sahabat. Upacara pernikahannya dilakukan dengan sederhana, hanya dihadiri keluarga terdekat dan tanpa resepsi. Meski semua itu sudah dipersiapkannya dengan matang sejak jauh-jauh hari sebelumnya.
“Demi keselamatan kita bersama dengan adanya virus korona ini. Semoga virus ini cepat berlalu dan jangan melawan alam.” Begitu Ugu menulis di dinding facebook-nya sebagai pemberitahuan penundaan resepsi pernikahan kepada kerabat dan sahabatnya yang telah menerima undangan.
Akhirnya, upacara pernikahan Ugu dan istrinya di Desa Tinggarsari, Buleleng, Senin, 30 Maret 2020 itu dilangsungkan dengan jumlah orang terbatas, hanya keluarga dekat. Kendati begitu, upacara berlangsung khidmat.
Bukan hanya Gede Ugu yang mesti melangsungkan upacara pernikahan secara sederhana. Banyak pasangan pengantin di Bali yang menikah sepanjang masa tanggap darurat wabah virus korona juga mesti merasakan hal serupa. Tak ada kemeriahan yang mencolok serta tak ada pula keramaian yang sampai memacetkan jalan di depan rumah pengantin.
Selain upacara pernikahan, upacara pengabenan yang juga kerap diwarnai keramaian orang yang hadir kini juga dilangsungkan bersahaja. Bahkan, di beberapa desa, ngaben tak disertai dengan iring-iringan bade menjulang disertai hiruk pikuk gamelan baleganjur. Jenazah hanya diantar mobil jenazah dan beberapa keluarga dekat.
Namun, sejumlah orang Bali justru bersyukur dengan adanya pembatasan jumlah peserta dalam upacara adat di Bali selama masa pandemi. Selain untuk mencegah terjadinya kontak langsung yang berpotensi menyebarkan virus korona, pembatasan itu juga membantu orang Bali menyelami kembali kehematan dalam berupacara.
Seorang krama Bali di Denpasar, Ketut Sudarma mengatakan selama ini upacara pernikahan maupun pengabenan di Bali selalu menelan biaya besar. Biaya besar itu justru lebih banyak dihabiskan untuk menjamu undangan. “Istilahnya, lebihan telah ke teben, lebih banyak habis ke hilir, untuk urusan konsumsi karena undangan yang banyak,” kata Sudarma.
Tak jarang, orang Bali yang punya hajatan mesti berutang untuk bisa melangsungkan upacara. Meski ada pandangan bahwa berupacara dilandasi dengan keikhlasan, tapi akan menjadi beban berat jika setelah upacara selesai krama yang memiliki hajatan mesti menanggung utang.
Karena itu, menurut Prajuru Bhaga Ekonomi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, I Ketut Madra, pembatasan peserta dalam kegiatan upacara adat dan agama di Bali selama masa pandemi juga memiliki sisi positif. Selain bisa menghemat biaya, pembatasan itu juga membuat krama bisa meresapi aspek tatwa dan susila dari sebuah upacara.
“Ini sebenarnya bagus bagi krama Bali karena dengan pembatasan seperti ini, kita jadi lebih fokus kepada inti upacara, menjadi lebih khusyuk dan orang bisa memaknai upacara itu dengan baik,” kata Madra.
Hal senada juga dirasakan Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Kuta, I Nyoman Sarjana. Dia sempat diundang menjadi saksi dalam upacara pernikahan warga di Legian dan merasakan pembatasan jumlah peserta dalam upacara justru membuat suasana menjadi lebih khusyuk dan pasangan pengantin menjadi lebih khidmat melaksanakan tiap rangkaian upacara.
“Pembicaraan di antara keluarga pengantin juga menjadi lebih tenang dan semua bisa menyimaknya dengan baik. Si pemilik hajatan juga bisa menyapa dengan hangat semua orang yang hadir. Biasanya, kalau upacara pernikahan seperti ini, banyak orang hadir, kadang si pemilik hajatan tak sempat menyapa semua undangan dengan hangat,” kata Sarjana.
Karena itu, Madra dan Sarjana menilai pembatasan jumlah peserta upacara adat dan agama di Bali selama masa pandemi mesti dipandang sebagai hal positif. Krama Bali jangan melihat hal itu sebagai pengekangan hak beragama atau melaksanakan tradisi.
“Justru dengan jumlah peserta terbatas, upacara jadi jauh lebih khidmat. Mungkin ini makna positif dari upacara dengan pembatasan jumlah peserta di masa virus korona,” kata Made Danu, salah seorang warga Bali di Singaraja.
Virus korona yang mahakecil tapi berkekuatan mahabesar itu telah mengajarkan manusia Bali untuk kembali pulang ke rumah kebersahajaan dalam melakoni ritual adat maupun agama. Kebersahajaan yang lama ditinggalkan dan ditanggalkan di tengah gemerlap ekonomi Bali yang ditopang industri pariwisata. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya