Bagi I Putu Sudarta, warga Desa Dapdap Putih, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, hari Galungan dan Kuningan bukan sekadar hari kemenangan dharma atas adharma. Justru, yang paling dirasakannya yakni Galungan dan Kuningan sebagai hari keluarga. Saat Galungan dan Kuningan-lah dia merasakan kenikmatan dan kehangatan bersama keluarga.
“Galungan dan Kuningan itu hari berkumpul bersama keluarga. Saat Galungan dan Kuningan kami berbagi cerita, berbagi tawa, dan ada juga yang berbagi rezeki,” kata Putu Sudarta sembari tersenyum.
Bukan hanya Putu Sudarta yang merasakan hari Galungan sebagai hari keluarga. I Nyoman Ada, seorang warga Klungkung juga begitu sumringah tiap perayaan Galungan dan Kuningan karena pada hari itu anak-cucunya yang tinggal di Denpasar pulang ke rumah.
“Kalau Galungan dan Kuningan, rumah terasa ramai. Ada tawa dan canda anak-cucu yang membuat senang,” kata Polih.
Memang, hari Galungan dan Kuningan menjadi momentum orang Bali memperkuat ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Berbagai tradisi digelar sepanjang hari besar orang Bali itu. Ada tradisi mapatung di hari Penampahan Galungan dan Kuningan. Ada tradisi nekang jotan bagi pasangan penganten baru. Ada pula tradisi maturan ke sanggah gede.
Tradisi maturan ke sanggah gede dilakoni hampir sebagian besar orang Bali, terutama di daerah Bali Timur dan Bali Utara. Kala hari Galungan dan Kuningan, orang Bali tidak hanya menghaturkan sesaji dan berdoa di sanggah di rumahnya sendiri, tetapi juga membawa sesaji dan berdoa ke sanggah gede milik keluarga, termasuk juga ke pura panti atau paibon.
Di Karangasem dan Klungkung, tradisi ini masih kuat. Malah, tradisi ini terkesan menjadi kegiatan inti dalam perayaan Galungan dan Kuningan.
Komang Diana (38) seorang warga Klungkung, menuturkan saat hari Galungan dan Kuningan, dia bersama keluarganya akan bangun lebih pagi, sekitar pukul 04.00 Wita.
Mula pertama, sang istri menghaturkan sesaji di sanggah di rumah. Berikutnya dilanjutkan maturan ke pura-pura kahyangan tiga di desa, seperti Pura Dalem, Pura Puseh dan Bale Agung serta Pura Segara.
“Keluarga yang memiliki kerabat masih dikubur di kuburan desa biasanya akan datang ke kuburan dulu menghaturkan punjung (sesaji khusus untuk orang yang sudah meninggal),” kata Diana.
Setelah semua kegiatan itu selesai, barulah dilaksanakan tradisi maturan ke sanggah gede. “Bukan hanya sanggah gede, juga ke sanggah-sanggah keluarga yang masih memiliki ikatan kekerabatan, terutama sanggahdi rumah asal nenek, sanggah di rumah asal ibu dan lainnya,” imbuh Diana.
Tradisi serupa juga ternyata masih terjadi di Desa Dapdap Putih, Buleleng. Hanya bedanya, di desa ini tradisi maturan diwujudkan dengan membawa sesaji ke rumah kerabat tetapi tidak diikuti dengan muspa. Sesaji yang dibawa berupa ajengan yang diberikan si empunya rumah. Selanjutnya, si empunya rumah juga akan membalas “kiriman” ajengan itu dengan membawa ajengan serupa dalam suatu kunjungan balasan.
“Ajengan itu nanti dihaturkan oleh si empunya rumah. Nanti juga di-surud si empunya rumah,” kata Putu Sudarta.
Tradisi maturan ini bila dicermati sejatinya semacam ruang simakrama antarkeluarga dalam perayaan Galungan dan Kuningan. Banten atau sesaji yang dibawa atau dihaturkan menjadi sarana untuk menjaga ikatan kekeluargaan itu.
Memang, orang Bali memberikan makna istimewa pada banten.
Bagi orang Bali, banten lebih dari sekadar sarana upacara, tetapi juga cerminan bahasa hati, cara untuk mengungkapkan sesuatu, terutama ke hadapan Sang Pencipta. Melalui banten, bahasa hati diungkapkan, meskipun bahasa ucap tak sampai menjelma.
Tradisi maturan ke sanggah gede atau keluarga ini kerap kali dilengkapi dengan tradisi baru: saling berbagi. Mereka yang berpunya akan memberikan sedikit kepada mereka yang kurang punya. Lihat saja anak-anak yang begitu bahagia saban Galungan tiba karena isi kantong mereka bertambah. Ada pemberian paman, bibi, kakak, kakek, nenek dan lainnya.
Itu sebabnya, Galungan dan Kuningan sejatinya bukan sekadar sebuah hari perayaan dengan landasan filosofis keagamaan kental seperti pemaknaan hari kemenangan dharma dan adharma tetapi sesungguhnya juga jauh lebih nyata sebagai hari kekeluargaan ala Bali. Pada hari Galungan dan Kuningan itulah, keluarga yang terpencar bertemu di sanggah gede, saling menyapa, saling bergurau sambil tertawa lepas tanpa beban. (b.)
- Penulis: I Ketut Jagra