Wuku (siklus tujuh harian) Wayang yang dimulai pada Minggu (1/11) senantiasa disambut manusia Bali dengan istimewa. Sebagai wuku, Wayang memang kerap disebut sebagai pekan keramat.
Namun, justru di pekan keramat inilah manusia Bali menggelar aneka ritual penyucian. Lazimnya, mereka yang lahir wuku Wayang menggelar ruwatan. Tradisi Bali menyebutnya sebagai bayuh oton (ruwatan).
Adanya tradisi mabayuh oton inilah yang membuat mereka yang lahir saat wuku Wayang dianggap kurang beruntung. Jika boleh memilih, orang Bali bakal menghindari anak-anak mereka lahir di wuku Wayang. Teks-teks tradisi menyebut anak kelahiran wuku Wayang salah wadi atau lahir salah.
Keyakinan ini berakar pada kisah dalam mitologi Kalapurana. Lontar itu mengisahkan putra Batara Siwa, Batara Kala yang bertabiat seperti raksasa mengejar adiknya sendiri, Batara Kumara untuk disantap. Sang adik yang lahir saat Sabtu Kliwon wuku Wayang itu melarikan diri lalu disembunyikan di dalam dalam bungbung gender Ki Dalang dan akhirnya selamat.
Dosen IHDN Denpasar, I Made Wiradnyana menyatakan tradisi bayuh oton wuku Wayang membentangkan makna kontemplatif yang teramat dalam. Wayang dalam pemahaman tetua Bali bukan sekadar sebuah tontonan, tetapi juga sebuah tuntunan.
Dahsyatnya lagi, wayang tiada lain cerminan tuntunan dari dalam diri. Lantaran wayang juga bermakna bayangan. Bayangan begitu dekat dan cenderung identik dengan diri sendiri layaknya bayangan seseorang saat berdiri di depan cermin. Apa yang ada dalam diri, itu pula yang akan tampak dalam bayangan.
“Itu sebabnya, bayuh oton wuku Wayang sejatinya sebuah ruwatan dari dalam diri, bukan dari luar diri,” kata Wiradnyana yang meneliti teks Kala Purana.
Mereka yang melaksanakan ruwatan saat wuku Wayang, kata Wiradnyana, semestinya menjemput segala ritual bayuh oton dengan kelahiran kesadaran dan pikiran baru dari dalam dirinya sendiri. Jika hendak berubah, maka ikhtiar perubahan itu harus terbit dan menguat dari dalam diri.
“Semacam Revolusi Mental yang didengungkan Pemerintahan Jokowi-JK kini,” imbuh Wiradnyana. (b.)
- Penulis: I Ketut Jagra