merah putih benderan titiange
berkibaran di langite terang galang
nika lambang jiwan rakyat Indonesia
merah berani madasar hatine suci
pusaka adi leluhur jaya sakti
merah putih benderan tiange
Lagu berjudul “Merah Putih” ini begitu populer dan melekat di kalangan masyarakat Bali, baik anak-anak, pemuda hingga orang tua. Di sekolah-sekolah di Bali, lagu ini kerap menjadi tembang wajib yang harus dinyanyikan siswa selain lagu-lagu perjuangan berbahasa Indonesia. Di kalangan pemusik dan penyanyi lagu pop Bali, lagu “Merah Putih” juga amat sering didendangkan kala digelar konser atau pementasan.
Di situs video terpopuler, Youtube, klip lagu “Merah Putih” ini ditemukan dalam berbagai versi dan dinyanyikan sejumlah penyanyi lagu pop Bali yang familiar di kalangan anak-anak muda Bali, seperti Bintang dan Nanoe Biroe. Belakangan, lagu “Merah Putih” kerap dinyanyikan para pendukung klub sepak bola Bali United.
Minggu, 13 September 2015, sekitar pukul 01.30 Wita, pencipta lagu “Merah Putih”, I Gde Dharna berpulang. Dharna meninggal pada usia 84 tahun. Dia lahir pada 27 Oktober 1931.
Semangat nasionalisme dalam lagu “Merah Putih” bukanlah tanpa alasan. Dharna adalah juga seorang veteran pejuang. Tahun 1946–1948, Dharna mengawali babakan perjuangannya sebagai anggota Gerakan Rahasia Rakyat Indonesia (GRRI) Markas Ayodia. Dia banyak berjuang melalui bidang kesenian, mengobarkan semangat perjuangan melalui seni. Pilihannya berjuang ini dipengaruhi seniman pejuang, Pak Cilik dan I Gusti Bagus Panji.
Lagi “Merah Putih” ciptaan Dharna memiliki cerita khusus. Kisah di balik lagu “Merah Putih” ini dicatat di bagian “Indik Pengawi” buku kumpulan cerpen berbahasa bali karyanya, Dasa Tali Dogen yang meraih penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali tahun 2009 lalu.
Adalah peristiwa “Perang Bendera” di Pelabuhan Buleleng di Singaraja pada 27 Oktober 1945. Dalam peristiwa itu, seorang pejuang asal Banjar Liligundi Singaraja, Ketut Merta, gugur. Saat peristiwa itu, Dharna yang baru berusia 14 tahun mengalami luka di kaki. Namun, dia masih bisa membuat lencana merah putih dan menyerahkannya kepada para pejuang di depan rumahnya di Sukasada. Peristiwa itulah yang memperkuat rasa cinta Tanah Air-nya. Rasa sedih atas peristiwa gugurnya Ketut Mertha dituangkan dalam lagu “Merah Putih”.
Selain lagu “Merah Putih”, Dharna juga mencipta sejumlah lagu perjuangan lainnya, seperti “Taman Pujaan Bangsa Margarana”, “Pahlawan Nasional Gusti Ngurah Rai”, “Pewaris Kemerdekaan”, “Yuda Mandala Tama”, “Bhuwana Kerta”, “Tugu Perjuangan Tanah Aron”, “Margarana”, “Kembang Jagat” dan “Gita Pahlawan”.
Tak hanya itu, Dharna juga menulis berbagai lagu mars, seperti “Mars Buleleng Membangun”, “Mars Singa Ambara Raja”, “Mars Singaraja Sakti”, “Mars Polda Bali”. Ada lagi lagu “Buleleng Bersih”, “Bali Sutrepti”, “Segara Penimbangan”, “Lovina”, “Gili Menjangan”, “Waliang Balin Titiange”, “Bali Dwipa Padma Bhuwana”, “Tresna Asih”, “Bali Kembang Melati”, “Pulo Bali”, “Putra Sesana”,”Hyang Widhi”, “Jagat Baline Sayang”, “Bedugul Ngulangunin”, “Tanah Aron”, hingga “Narkoba” dan “Leak Gundul”.
Dharna juga dikenal sebagai sastrawan yang tresna (cinta) dan sutindih (membela) sastra Bali modern. Karya dramanya yang terkenal, Kobarang Apine. Kumpulan cerpennya, Dasa Tali Dogen meraih penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali tahun 2009.
Seperti dalam lagu, karya sastra yang ditulis Dharna juga sebagian besar bertema perjuangan. Meski begitu, karya-karyanya tidak jatuh sebagai karya sloganistis. Dia tetap mampu menjaga daya estetik dalam karya-karyanya.
Karena itu, kepergiannya merupakan kehilangan luar biasa bagi masyarakat Bali. Bali kehilangan seorang pejuang gigih yang tiada lelah berjuang hingga zaman Reformasi ini melalui kata dan nada. Selamat jalan, Pak Gde Dharna, Sang Pengobar Api Nasionalisme Masyarakat Bali. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya