Di Bali, jalan sastra atau sering disebut laku nyastra sungguh berbeda dengan pemahaman bersastra dalam tradisi modern. Menurut tradisi Bali, jalan sastra merupakan keselarasan antara kata dan perilaku. Hal ini ditegaskan sastrawan Cok Sawitri ketika menjadi pembicara dalam seminar sastra bertajuk “Merayakan Sastra, Memuliakan Kehidupan” serangkaian peringatan Hari Chairil Anwar sekaligus Hari Sastra di Kampus IKIP PGRI Bali, Seroja, Selasa (28/4).
Acara yang digelar Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP PGRI Bali itu juga menghadirkan pembicara lain, pengarang sastra Bali modern, I Made Suarsa. Selain itu, dua orang mahasiswa setempat, Natalino Muni Neparasi dan Kadek Pande Yulia Saanjaya juga tampil membawakan dua makalah kritik sastra.
“Para tetua Bali mengatakan, lamun sing nawang sastra, sing maagama (kalau tidak memahami sastra, tidak beragama). Ini menunjukkan nyastra itu sejatinya sebuah kematangan ideologi,” kata Cok Sawitri.
Cok Sawitri menjelaskan, nyastra dimaknai dalam tradisi Bali sebagai suatu tingkatan laku ketika apa yang diucapkan dan dituliskan sebagai kata mewujud dalam laku diri sehari-hari. Menurut Cok Sawitri, nyastra dalam tradisi Bali membutuhkan kedisiplinan yang tinggi, kesabaran dan kesantunan. Mereka yang baru bisa menulis karya sastra, dalam tradisi Bali tidak serta merta bisa dikatakan nyastra. “Mereka ini baru disebut pengawi (pengarang). Kini banyak orang yang begitu mudah menjadi penyair, menjadi sastrawan hanya karena puisinya dimuat di koran,” kata penyair kelahiran Karangasem ini.
Di Bali, kedewasaan atau kematangan tidak diukur dari usia apalagi sekadar gelar pendidikan yang tinggi. Seseorang dianggap matang ketika mampu menyelaraskan kata dan tindakan. “Saya, walaupun sudah ubanan, karena laku diri saya belum mampu selaras dengan apa yang saya tulis sebagai kata, dalam tradisi Bali saya tetap dianggap masih kecil. Nyastra itu memang tidak mudah,” kata Cok Sawitri.
Cok Sawitri menuturkan novel Janda dari Jirah karyanya ditulis setelah mengadakan penelitian selama 15 tahun terhadap kisah Calonarang itu. Dengan bekal data dan pemahaman yang cukup, barulah dia berani mendekonstruksi kisah yang sangat populer di kalangan masyarakat Bali dan Jawa itu. Dalam novel itu, Cok Sawitri menghadirkan sudut pandang berbeda dalam menempatkan tokoh Rangda Ing Jirah. Novel ini masuk nominasi penghargaan Khatulistiwa Award.
“Tapi, kalau dikatakan melakukan transformasi cerita Calonarang, dalam konteks saya itu tidak tepat. Mungkin yang lebih tepat, resepsi atau interpretasi,” kata Cok Sawitri.
(Baca: Cok Sawitri Luncurkan Tiga Buku)
Selain novel Janda dari Jirah, Cok Sawitri juga mengarang novel Sutasoma dan Tantri Perempuan yang Bercerita. Dia menyinggung alasan mengapa dirinya menulis kembali kisah-kisah dalam tradisi sastra tradisional Bali ke dalam novel-novelnya. Pendiri Kelompok Tulus Ngayah ini mengatakan ingin memperkenalkan karya-karya tradisi Bali yang hebat itu kepada generasi Bali kini.
“Persoalan kita kini di Bali adalah bagaimana mencari kata yang tepat untuk generasi Bali kini agar mereka bisa memahami tradisinya sehingga bisa menjembatani, tidak hanya saat berbicara sesama mereka tetapi juga dengan orang luar,” tandas peraih penghargaan Dharmawangsa ini.
I Made Suarsa juga menekankan pentingnya kedisiplinan dalam berkarya. Menurut Suarsa, pengarang yang tidak disiplin bisa kehilangan idenya yang sangat berharga.
“Untuk bisa menulis karya dengan baik, seseorang memang mesti banyak membaca,” tandas peraih hadiah sastra Rancage ini. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI