Sikapi Pemberlakuan UU Desa
Menyikapi pemberlakuan Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa, masyarakat Kedonganan memutuskan sikap mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung untuk mendaftarkan desa adat. Keputusan itu diambil dalam paruman prajuru, panglingsir serta tokoh-tokoh masyarakat, Selasa (14/10) lalu. Keputusan paruman itu merupakan bentuk prakarsa masyarakat melalui mekanisme musyawarah sebagaimana diatur dalam pasal 100 ayat (1) UU Desa.
![]() |
Suasana paruman prajuru, panglingsir dan tokoh masyarakat Kedonganan |
Bendesa Adat Kedonganan, I Ketut Puja, Kamis (16/10) menjelaskan keputusan paruman itu sudah didasari pemikiran matang dan mendalam, terutama setelah mendengarkan berbagai pandangan dari para pakar dan tokoh-tokoh masyarakat Kedonganan. Secara filosofis dan historis, pilihan mengusulkan desa adat karena desa adat merupakan pilar utama adat dan kebudayaan Bali dan sudah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri. Hingga kini desa adat tetap bertahan serta berkontribusi besar dalam pembangunan bangsa.
Selama ini, Negara baru sebatas mengakui keberadaan desa adat. Kini, melalui UU Desa, Negara memberikan ruang begitu terbuka bagi desa adat dan menjamin eksistensinya dengan adanya Bab XIII yang memuat ketentuan khusus mengenai desa adat. Inilah peluang terbaik bagi Bali yang selama ini memperjuangkan ketahanan adat dan budaya Bali.
“Mencermati pasal demi pasal dalam UU Desa, mendaftarkan desa adat adalah pilihan terbaik dan strategis bagi Bali,” kata Puja.
Pilihan ini, menurut Puja, mencegah kemungkinan beralihnya aset dan kekayaan desa adat. Pasalnya, dalam pasal 100 ayat (2) UU Desa disebutkan “dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota”.
Hal senada dikemukakan Panglingsir Desa Adat Kedonganan, I Ketut Yutamana Selamet. Menurut mantan anggota DPRD Badung ini, pilihan mendaftarkan desa adat bukan didasari karena adanya iming-iming suntikan dana dari APBN/APBD. Alasan paling mendasar karena ingin menyelamatkan adat dan budaya Bali yang selama ini terjaga dalam kerangka desa adat.
“Dengan mendaftarkan desa adat, kita melindungi hak milik paling berharga dan warisan Mpu Kuturan yang kita jaga selama berabad-abad,” tandas Selamet.
Tokoh masyarakat Kedonganan, I Ketut Madra menyatakan secara sosiologis, pilihan masyarakat Kedonganan mendaftarkan desa adat karena selama ini kerap kali muncul tumpang tindih urusan antara adat dan dinas. Tumpang tindih itu seringkali membuat kepentingan masyarakat adat untuk menjaga adat dan budaya Bali dikalahkan.
“Kalau desa adat didaftarkan, maka kewenangan desa adat berkaitan dengan masalah pawongan, palemahan dan parahyangan menjadi jelas,” kata Madra. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI