Menu

Mode Gelap
Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang

Rerahinan · 9 Agu 2013 23:18 WITA ·

Mengapa Persembahyangan Saraswati Mesti Pagi Hari?


					Mengapa Persembahyangan Saraswati Mesti Pagi Hari? Perbesar

Sabtu, 10 Agustus 2013 hari ini, umat Hindu kembali merayakan hari suci Saraswati. Hari yang dimaknai sebagai saat turunnya ilmu pengetahuan itu biasanya dirayakan dengan menghaturkan sesaji ke hadapan Sang Hyang Aji Saraswati pada pagi hari. Para tetua mengingatkan agar persembahyangan Saraswati tidak melewati siang hari. Mengapa?

Persembahyangan Saraswati pada pagi hari sejatinya didasari pertimbangan pagi hari sebagai satwika kala atau hari yang paling baik. Dalam Hindu, waktu, dibagi menjadi tiga yakni satwika kala (pagi hari), rajasika kala (siang hingga sore hari) dan tamasika kala (malam hari).

Hari raya Saraswati merupakan hari anugerah. Menurut Bhagawad Gita, saat yang paling baik untuk menerima anugerah yakni pada pagi hari.

Selain itu, secara psikologis, pagi hari memang menjadi saat yang sangat bagus untuk menghaturkan sembah. Pasalnya, di pagi hari suasana masih hening, lahir batin pun masih bening. Keheningan dan kebeningan hati merupakan jembatan emas untuk menghadap Yang Kuasa. Pikiran menjadi lebih mantap dan bercahaya.

Sampai di sini, dapat dimaklumi mengapa kemudian para sulinggih, orang-orang suci memilih waktu pagi hari untuk memuja kebesaran Hyang Widhi lewat ritual nyurwa sewana. Kehadiran sinar pertama sang surya membuat pintu hati dan mata batin terbuka. Keterbukaan pintu hati dan mata batin menjadikan relasi personal Sang Diri dengan Sang Muasal kian lekat, makin dekat.

Dari segi kesehatan, pagi hari pun dipandang sangat baik bagi tubuh. Sinar mentari pagi mengandung vitamin D yang bermanfaat bagi penguatan tubuh.

Manakala sore hari, umumnya orang sudah mulai agak lesu, tiada cerah lagi. Apalagi jika sejak pagi tadi terhimpit beban pekerjaan yang berat. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja terasa kurang mantap menghaturkan sembah, menghadap Hyang Tunggal.

Karena itu pula, manusia Bali kerap memilih waktu setelah matahari condong ke barat (seng kauh) untuk melaksanakan upacara pitra yadnya seperti ngaben, mengubur jenazah atau pun bhuta yadnya seperti macaru. Berbeda dengan upacara mamukur atau nyekah yang dilaksanakan pada permulaan hari.

Meski begitu, penilaian bahwa pagi hari sebagai waktu yang paling baik tidak lantas berarti umat tidak perlu bersembahyang saat siang dan sore atau malam hari. Umat tetap dianjurkan untuk menandai peralihan hari itu dengan memuja Tuhan. Karenanya, Hindu menganjurkan agar bersembahyang tiga kali sehari. (b.)

  • Penulis: I Ketut Jagra
  • Foto: I Ketut Jagra
  • Penyunting: I Made Sujaya
Artikel ini telah dibaca 928 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

“Banyupinaruh”: “Malukat” Dahulu, “Nyurud Nasi Pradnyan” Kemudian

21 Mei 2023 - 08:18 WITA

Pamacekan Agung, Titik Temu Galungan-Kuningan

9 Januari 2023 - 11:54 WITA

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Trending di Sima Bali