Menu

Mode Gelap
Keragaman Fantasi dalam Festofantasy HUT ke-39 SMA Paris Edukasi Kesejahteraan Hewan, Ajak Anak-anak Kenali Zoonosis Kirab Nasionalisme Hari Kemerdekaan ala Desa Adat Kedonganan Baca Puisi Tak Sekadar Intonasi, Tapi Interpretasi: Dari LBP FULP se-Bali 2023 “Duwe” Desa Adat, Krama dan Prajuru Adat Wajib Bentengi LPD

Bali Terkini · 20 Jul 2013 11:59 WITA ·

Benahi Karut-Marut Bangsa dengan Mengubah Paradigma Pembelajaran


					Benahi Karut-Marut Bangsa dengan Mengubah Paradigma Pembelajaran Perbesar

KARUT-marut bangsa Indonesia saat ini sejatinya berakar pada pembelajaran di sekolah-sekolah serta perguruan tinggi yang selama ini menggunakan paradigma behavioristik. Jika ingin membenahi bangsa ini, mau tidak mau harus dimulai dari kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Paradigma behavioristik mesti ditinggalkan menuju paradigma konstruktivistik. Pandangan ini dikemukakan Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd., saat menjadi narasumber dalam workshoppembelajaran kooperatif di IKIP PGRI Bali, Jumat-Sabtu (19-20/7) kemarin.
Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd.
Dalam paradigma behavioristik, menurut Degeng, kegiatan belajar dan pembelajaran berpusat pada pengajar sehingga muncul keseragaman yang teratur. Manusia yang dihasilkan dengan pembelajaran paradigma behavioristik cenderung menekankan aspek kompetitif dan kurang bersahabat dengan perbedaan atau keragaman. Itu sebabnya, kerap kali muncul konflik sosial karena perbedaan pilihan, keyakinan dan pandangan.
“Pembelajaran dengan paradigma konstruktivistik menghendaki prakarsa belajar muncul dari si belajar dalam pemaknaan informasi pengetahuan baru melalui pengalaman konkret, bebas, proses dan hasil belajarnya ditentukan siswa melalui strategi yang dipakai,” kata Guru Besar Teknologi Pembelajaran asal Desa Besan, Klungkung ini.
Degeng mengakui paradigma behavioristik sudah tertanam lama di benak para pendidik dan pelaku pendidikan. Para pemimpin saat ini pun merupakan produk pendidikan dengan paradigma behavioristik. Itu sebabnya, seringkali terjadi kekeliruan dalam memandang dan menanggapi realitas yang tengah terjadi. Degeng mencontohkan pandangan kebanyakan orang Indonesia tentang globalisasi sebagai era kesejagatan. Lalu tanggapannya terhadap globalisasi berupa upaya meningkatkan daya saing bangsa.
“Padahal, era globalisasi itu tak lain era ketergantungan antarbangsa. Tidak ada bangsa di dunia yang bisa hidup sendiri, semua tergantung satu sama lain. Itu sebabnya perlu kerja sama (kooperasi) dan kolaborasi. Bukan sebaliknya berkompetisi,” kata Degeng.
Kecenderungan perusahaan-perusahaan global pun kini memilih jalan kooperasi dan kolaborasi untuk mencapai kesuksesan. Jika suatu bangsa memiliki kelebihan tertentu, maka bangsa itulah yang diajak bekerja sama.
Di dunia pendidikan sendiri, paradigma behavioristik dikokohkan lagi dengan Ujian Nasional (UN). Padahal, UU Sistem Pendidikan Nasional sudah 60% mengadopsi paradigma konstruktivistik.
Paradigma konstruktivistik, imbuh lelaki kelahiran 23 September 1958 ini, memberi ruang bagi tumbuhnya semangat kooperatif, kolaboratif dan menghargai keragaman. Paradigma konstruktivistik justru sudah diterapkan secara penuh di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Sebaliknya pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi masih menggunakan paradigma behavioristik.

“Perguruan tinggi semestinya bisa mengambil peran untuk secara perlahan menggunakan paradigma konstruktivistik dalam pembelajaran. Terlebih lagi lembaga pendidikan tenaga pendidikan semacam IKIP PGRI Bali yang mencetak calon guru,” tandas Degeng.

http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Kekenyalan Budaya, Kunci Adaptasi Masyarakat Bugis di Bali

8 Februari 2014 - 22:17 WITA

Ada Malaysia Dalam Ritual Agama Hindu di Bali

5 Mei 2012 - 13:12 WITA

14 Penulis Bali Terima Widya Pataka

11 Desember 2007 - 05:13 WITA

Trending di Bali Terkini