Oleh I Wayan Yudana
Setiap menjelang Hari Raya Nyepi, Bali menjadi saksi atas kreativitas dan semangat kebersamaan generasi muda melalui tradisi ogoh-ogoh. Patung raksasa yang melambangkan sifat-sifat buruk manusia ini diarak keliling desa sebelum akhirnya dibakar sebagai simbol pembersihan diri dan alam semesta. Sebenarnya, lebih dari sekadar tradisi, ogoh-ogoh mencerminkan kekompakan, kerja sama, dan persatuan generasi muda Bali dalam mempertahankan budaya di tengah arus modernisasi yang semakin deras. Keguyuban generasi muda melalui wadah sekaa teruna tampak teruji nyata melalui prosesi di malam pangrupukan ini.
Bagi anggota sekaa teruna, ogoh-ogoh sebenarnya merupakan simbol kreativitas dan identitas budaya. Pembuatan ogoh-ogoh bukanlah pekerjaan individu, melainkan hasil dari kerja kolektif para pemuda desa atau sekaa teruna tersebut. Mereka bekerja bersama sejak awal: mulai dari merancang konsep, mengumpulkan bahan, hingga menyusun kerangka. Yang tidak kalah penting adalah menghias patung dengan detail yang artistik. Bagi para pembuatnya, setiap Oogoh-ogoh dikonsepkan memiliki makna simbolis yang mendalam. Di antaranya sering menggambarkan tokoh-tokoh mitologis atau personifikasi sifat-sifat negatif yang perlu dikendalikan dalam kehidupan manusia.
Cinta Budaya Lokal
Di era globalisasi, di mana banyak generasi muda lebih tertarik pada budaya luar, ogoh-ogoh justru menjadi medium yang efektif untuk menanamkan kecintaan terhadap budaya lokal. Melalui keterlibatan dalam proses pembuatannya, generasi muda dapat melestarikan warisan leluhur. Selain itu, juga memahami nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang menjadi pondasi utama masyarakat Bali.
Prosesi ogoh-ogoh mengajarkan pentingnya koordinasi dan kerja sama tim. Saat malam pangrupukan, para pemuda bersama-sama mengangkat dan mengarak ogoh-ogoh di jalanan desa dengan irama musik gamelan yang menghentak. Gerakan ogoh-ogoh yang dinamis mencerminkan semangat generasi muda yang solid dalam menjalankan tradisi ini. Dari sini dapat dinilai bahwa ogoh-ogoh mencerminkan persatuan gerak generasi muda.
Dalam rangkaian pengarakan ogoh-ogoh, sering pula disisipkan penampilan fragmen tari atau drama tari singkat. Fragmen atau drama tari ini mengambil latar cerita yang dihubungkan dengan cerita rakyat Bali, yang menggambarkan sifat-sifat angkara murka bahkan bhuta kala. Pementasan drama tari yang menampilkan ogoh-ogoh sebagai sosok pengganggu manusia, dihadapkan dengan peran yang bersifat baik dan mulia. Dalam rangkaian pementasan ogoh-ogoh tersebut tentu memerlukan berbagai keterampilan dari generasi muda Bali. Mereka bahu-membahu dalam mempersiapkannya, mulai dari bidang konstruksi yang membuat rancang bangun ogoh-ogoh, seni rupa dalam menghiasnya, hingga keterampilan menari, berakting, dan pedalangan dalam pagelaran drama tari.
Konsolidasi Generasi Muda
Namun demikian, lebih dari sekadar arak-arakan, ogoh-ogoh juga menjadi ajang konsolidasi sosial generasi muda Bali. Di tengah berbagai perbedaan latar belakang, ogoh-ogoh menyatukan mereka dalam satu visi, yakni menjaga dan melestarikan identitas budaya Bali. Ini menjadi modal sosial yang sangat berharga dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, termasuk modernisasi dan globalisasi.
Kehadiran ogoh-ogoh juga menjadi refleksi bagaimana tradisi dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif generasi muda. Jika dilihat lebih dalam, nilai-nilai yang terkandung dalam pembuatan dan pengarakan ogoh-ogoh memiliki relevansi dengan tantangan sosial saat ini, seperti individualisme yang semakin kuat akibat pengaruh teknologi.
Ketika pemuda terlibat dalam pembuatan dan pementasan ogoh-ogoh, mereka tidak hanya belajar tentang seni dan budaya. Mereka juga dapat mengasah keterampilan komunikasi, kepemimpinan, serta kemampuan bekerja dalam tim. Hal ini sangat penting dalam kerangka membangun karakter generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual saja. Dalam konteks ini, para generasi muda juga dilatih agar dapat memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Dalam proses pembuatannya, ogoh-ogoh terkadang membutuhkan biaya yang relatif besar. Namun, banyak dari generasi muda mulai pintar mencari alternatif. Telah diwajibkan menggunakan bahan alami dari lingkungan setempat. Selain itu, banyak pula yang menggunakan bahan habis pakai yang mudah terurai dan tidak mengganggu lingkungan. Ketika ada yang membuat ogoh-ogoh dengan bahan sintetis, pasti banyak yang mencemooh “tidak keren.”
Pembuatan ogoh-ogoh tidak perlu diperdebatkan. Intinya, ogoh-ogoh merupakan produk budaya dan kreativitas generasi muda. Pembuatannya pun dicarikan momen yang tepat, yakni perayaan jelang Nyepi. Selain itu, kearifan generasi muda Bali diuji dengan digunakannya bahan habis pakai dan ramah lingkungan. Tentang gangguan lalu lintas, generasi muda Bali sangat bijak. Tidaklah tepat mengklaim bahwa ogoh-ogoh sebagai sumber kemacetan. Perlu kesadaran semua pihak.
Pendekatan Inovatif
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan dalam menjaga tradisi ogoh-ogoh semakin besar. Beberapa organisasi sekaa teruna mulai menghadapi kendala dalam pelaksanaan karena anggaran yang terbatas atau kurangnya minat generasi muda akibat terpaan budaya populer global. Oleh karena itu, upaya pelestarian harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih inovatif, seperti mengintegrasikan teknologi dalam proses pembuatan ogoh-ogoh atau menjadikannya bagian dari program pendidikan seni dan budaya di sekolah-sekolah atau oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian, upaya untuk menjaga kelestarian ogoh-ogoh sebagai warisan budaya tetap terjaga.
Selain itu, kompetisi ogoh-ogoh yang telah menjadi agenda tahunan di beberapa daerah dapat terus dikembangkan. Hal ini dapat diajdikan sebagai ajang untuk menampilkan kreativitas sekaa teruna. Selain itu, juga dapat memperkuat rasa memiliki terhadap tradisi lokal. Pemerintah daerah dan desa adat juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan, baik dalam bentuk regulasi maupun pembinaan bagi generasi muda agar tetap tertarik dan aktif dalam melestarikan tradisi ini.
Ogoh-ogoh sebenarnya lebih dari sekadar arak-arakan sebelum Nyepi. Ia adalah simbol kebersamaan, kreativitas, dan identitas generasi muda Bali. Dalam setiap gerak dan hiasannya, terdapat pesan moral yang kuat tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara budaya, modernisasi, dan nilai-nilai sosial. Dengan terus mengembangkan dan mempertahankan tradisi ini, generasi muda Bali tidak hanya memperkaya warisan budaya, tetapi juga membangun jati diri yang kokoh di tengah dinamika zaman.
- Penulis: I Wayan Yudana, Kepala SMKN 1 Petang, Badung.
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: I Made Sujaya







