Kupas Tuntas LPD bersama I Ketut Madra (1)
Om Swastyastu
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang kini ada di hampir seluruh desa adat di Bali merupakan salah satu buah karya monumental Gubernur Bali, Bapak Prof. IB Mantra dalam mengajegkan adat dan budaya Bali. Banyak pihak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, mengakui keandalan LPD sebagai lembaga keuangan komunitas dalam memberikan akses keuangan kepada masyarakat adat Bali. Di daerah lain juga ada lembaga keuangan sejenis, tapi tak semua sukses seperti LPD. Ditengarai, salah satu faktor kesuksesan LPD itu karena kuatnya adat Bali yang direpresentasikan desa adat. Yang menarik bagi saya, mengapa Pak Mantra saat mendirikan LPD memilih menempatkannya di desa adat, bukan di desa dinas. Padahal Bali memiliki kedua model pemerintahan desa itu. Selaku Gubernur Bali, Pak Mantra adalah pemimpin pemerintahan dinas. Mohon pencerahan Pak Ketut mengenai hal ini.
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om
I Nyoman Tampi, Klungkung
Secara historis, pendirian LPD di Bali merupakan tindak lanjut atas Seminar Kredit Pedesaan di Semarang, Jawa Tengah, pada 20—21 Februari 1984 yang memberikan akses keuangan yang lebih dekat kepada masyarakat desa. Sebagai landasan hukum, Gubernur Bali pun mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Bali nomor 972 tahun 1984 tertanggal 1 November 1984 tentang Pendirian LPD di Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa pendirian LPD bertujuan mendekatkan permodalan melalui usaha perkreditan di daerah pedesaan guna menunjang kelancaran pengembangan perekonomian di daerah pedesaan, terutama bagi para petani dan pengusaha kecil. Penjelasan mengenai LPD dalam SK tersebut yaitu sebagai alat desa dan merupakan unit operasional serta berfungsi sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang dan surat-surat berharga lainnya.
SK tersebut tidak menyatakan bahwa LPD didirikan di desa adat. Tapi, dalam praktiknya, saat mendirikan LPD percontohan atau pilot project di delapan kabupaten, LPD ditempatkan di desa adat. LPD yang didirikan sebagai pilot project itu, yakni LPD Desa Adat Lukluk (Badung), LPD Desa Adat Manukaya (Gianyar), LPD Desa Adat Buahan (Tabanan), LPD Desa Adat Julah (Buleleng), LPD Desa Adat Ekasari (Jembrana), LPD Desa Adat Kubu (Bangli), LPD Desa Adat Penasan (Klungkung), dan LPD Desa Adat Selumbung (Karangasem).
Saat itu, pendirian LPD dikaitkan dengan lomba desa adat yang diinisiasi dan difasilitasi Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Kedelapan desa adat itu merupakan desa adat yang memenangi lomba desa adat di masing-masing kabupaten. Jadi, LPD menjadi semacam “hadiah” dari pemerintah kepada desa adat. Hanya desa adat yang menang lomba desa adat yang diberi izin mendirikan LPD, termasuk bantuan pendanaan untuk modal dan pelatihan bagi calon pengurusnya.
Baru pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 1988 tentang LPD secara tegas disebutkan LPD dinyatakan sebagai suatu badan usaha simpan pinjam yang dimiliki desa adat. LPD didirikan dengan pertimbangan untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan desa adat dengan segala aspeknya melalui usaha-usaha penguatan kedudukan keuangan desa.
Mengapa LPD ditempatkan di desa adat? Menurut penelitian I Nyoman Sukandia (2010), dasar pemilihan desa adat sebagai pemilik LPD di antaranya karena empat hal. Pertama, desa adat merupakan lembaga tradisional yang telah mengakar dan dihormati oleh masyarakat pedesaan, terutama oleh krama/warga desa adat. Kedua, desa adat memiliki aturan baik tertulis atau tidak tertulis.
Ketiga, desa adat merupakan suatu lembaga tradisional dan bersifat kelompok yang didasarkan pada letak geografi adat. Di dalamnya terdapat interaksi sosial yang terjadi sehari-hari sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kesatuan dan kerja sama alamiah sebagai perwujudan gotong royong. Keempat, desa adat memiliki kewajiban dan beban tanggung jawab imateriel dan materiel yang cukup besar bila dibandingkan dengan hak yang dimiliki.
Karena kewajiban dan beban mempertahankan adat dan budaya yang berat itu, desa adat perlu dikuatkan kedudukan keuangannya. Sumber keuangan desa adat tidak lain adalah urunan krama melalui papeson atau pesu-pesuan atau patus (iuran), cingkrem (simpanan pokok) maupun pengelolaan aset-aset desa adat. Itu pun sifatnya terbatas.
Pak Mantra memang memiliki kepedulian yang kuat terhadap penguatan adat dan budaya Bali yang berlandaskan ajaran agama Hindu dan kearifan lokal warisan leluhur Bali. Beliau memahami betul betapa berat beban dan kewajiban masyarakat adat Bali.
Di sisi lain, adat dan budaya itu menjadi identitas masyarakat Bali sekaligus sumber kesejahteraan masyarakat Bali. Pak Mantra paham betul, misalnya, untuk melaksanakan upacara ngaben, orang Bali sampai menjual tanah warisan. Kalau ini dibiarkan, tanah-tanah Bali bisa habis. Ketika tanah Bali habis, maka manusia dan kebudayaan Bali akan hilang.
Saya mendapat cerita ini dari Pak I Gde Nurjaya, mantan Camat Kuta dan mantan Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Bali yang pernah menjadi ajudan Pak Mantra.
Pak Mantra melihat kunci menjaga dan menguatkan adat dan budaya Bali itu ada di desa adat. Karena itu, LPD ditempatkan di desa adat, bukan di desa dinas. Kalau desa dinas sudah memiliki sumber keuangan tetap yang berasal dari pemerintah, selain tentu ada sumber-sumber pendapatan yang berasal dari usaha-usaha atau kegiatan sah di desa.
Tradisi Pacingkreman
Selain itu, untuk membangun sebuah lembaga keuangan komunitas yang kuat dibutuhkan sistem nilai yang kuat dengan prinsip-prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan saling percaya antaranggota komunitas. Desa adat memiliki semua itu, bahkan memiliki kelebihan lain karena adanya dimensi religiositas berlandaskan ajaran agama Hindu dan kearifan lokal Bali.
Dalam konteks nilai-nilai kearifan lokal, masyarakat adat Bali sudah mengenal tradisi simpan pinjam dalam dinamika kelompok tradisional di berbagai tingkat maupun bentuk, seperti seka (kelompok sosial ekonomi berdasarkan keahlian atau profesi tertentu), dadia (kelompok sosial religius berdasarkan garis keturunan tertentu), maupun banjar dan desa adat (kelompok warga berdasarkan wilayah dan pura kahyangan tiga). Tradisi simpan pinjam dalam dinamika kelompok tradisional itu disebut cingkrem atau pacingkreman. Di beberapa wilayah di Bali disebut dengan istilah cekrem.
Dalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia, kata cingkrem diartikan sebagai ‘simpanan wajib dalam bentuk uang yang biasanya dilakukan oleh anggota banjar atau perkumpulan secara bersama-sama”. Kata cingkrem melahirkan bentuk turunan macingkrem, nyingkrem, dan pacingkreman. Macingkrem berarti ‘tertabung’, nyingkrem diartikan ‘menabung bersama’, sedangkan pacingkreman berarti ‘tabungan bersama; uang pangkal suatu banjar’.
Dalam praktiknya, cingkrem tak hanya berhubungan dengan aktivitas menyimpan uang atau simpanan, namun juga aktivitas meminjam (nyelang atau nyilih). Sampai saat ini, masyarakat di pedesaan Bali masih melakoni kegiatan nyingkrem atau macekrem dengan bentuk kegiatan menyetor sejumlah tertentu uang untuk disimpan pada seseorang yang dipercaya dengan tujuan agar bisa ditagih saat diperlukan, terutama untuk keperluan hari raya atau melaksanakan upacara tertentu.
Terkadang, orang yang nyingkrem lebih dulu meminjam lalu nanti dibayar melalui cingkreman yang telah disetorkan itu. Karena itu, tradisi pacingkreman bukan hanya berhubungan dengan kegiatan menyimpan uang atau menabung tapi juga meminjam. Biasanya, kegiatan meminjam itu disebut mutranin.
I Nengah Dasi Astawa dan Gede Sedana dalam bukunya yang berjudul Kearifan Lokal Bali dan Pembangunan Ekonomi: Suatu Model Pembangunan Ekonomi Bali Berkelanjutan (2017) menyelaraskan budaya cingkrem di Bali dengan pemupukan modal bersama berdasarkan sukarela. Cingkreman memiliki tujuan mensejahterakan anggotanya melalui berbagai bidang usaha, termasuk simpan pinjam.
Berbeda dengan pemupukan modal untuk usaha simpan pinjam modern, tradisi pacingkreman tidak mengenal jaminan atau syarat-syarat tertentu. Pengembalian pokok pinjaman oleh anggota tidak selalu bersifat reguler, seperti pengembalian per bulan, tetapi lebih sering mengikuti karakteristik latar belakang kelompok tersebut. Misalnya, pada sekaa manyi (kelompok pemanen), pengembalian pokok pinjaman serta bunga (mutranin) mengikuti periode atau musim panen.
Meski tidak ada jaminan, semua anggota kelompok seka atau krama banjar tidak berani ngemplang atau tidak menunaikan kewajibannya membayar pokok dan bunga pinjamannya. Kalau ada yang sampai begitu akan dikenai sanksi moral atau sanksi sosial. Masyarakat Bali menyebutnya dengan istilah mamirat atau ingkar janji atas utang, curang atau menipu. Karena itu, dalam tradisi pacingkreman, ada sikap saling percaya satu sama lain.
Kekuatan nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi pacingkreman inilah yang diadopsi dan diadaptasi oleh Pak Mantra dalam mendirikan LPD. Nilai-nilai kearifan lokal ini justru merupakan modal sosial dan modal budaya, sebagai infrastruktur yang sangat penting dalam pendirian LPD. Karena itu, lembaga keuangan khusus milik desa adat ini bisa bertahan hingga saat ini, bahkan berkontribusi besar dalam penguatan ekonomi dan budaya masyarakat Bali. (b.)
- I Ketut Madra, S.H., M.M. merupakan Manggala LPD Desa Adat Kedonganan serta Bhaga IV Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Pengalamannya selama lebih dari 30 tahun memimpin LPD membuatnya diundang di berbagai forum berbicara mengenai LPD. Dia termasuk salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan tatakelola LPD berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal Bali.