Om Swastyastu
LPD disebutkan sebagai milik desa adat, dikelola oleh desa adat, dan hasilnya dinikmati desa adat. Namun, saya amati dari sejumlah kasus hukum yang menimpa sejumlah LPD di Bali, umumnya dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Kalau tindak pidana korupsi berarti ada unsur keuangan negara di LPD atau setidak-tidaknya merugikan perekonomian masyarakat. Benarkah dimasukkannya kasus hukum di LPD sebagai tindak pidana korupsi karena adanya unsur dana pemerintah pada modal awal LPD? Dari mana sebetulnya modal LPD berasal? Mohon penjelasannya.
Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.
Putu Suryadi
Badung
Kalau melihat secara cermat sejarahnya, sesungguhnya LPD pada awalnya merupakan “hadiah” yang diberikan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali kepada pemenang serangkaian kegiatan lomba desa adat. Buktinya, pada awal-awal pendiriannya, LPD hanya diizinkan didirikan di desa-desa adat yang memenangi lomba desa adat. Untuk mendirikan LPD, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali (kini Pemerintah Provinsi Bali) memberikan bantuan dana Rp 2.000.000 kepada desa adat.
Selain itu, LPD itu harus sudah memiliki awig-awig tertulis. Ini unsur pembinaan pemerintah daerah. “Hadiah” kepada desa adat itu merupakan bantuan dana pendirian LPD. Sekali lagi, bantuan pemerintah itu diberikan kepada desa adat, bukan kepada LPD langsung karena saat itu LPD belum berdiri. LPD baru berdiri setelah desa adat memberikan dana bantuan pemerintah itu untuk pendirian dan operasional awal LPD.
Pemberian modal awal ini dilakukan berdasarkan pasal 8 Keputusan Gubernur Bali Nomor 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Modal awal diberikan dalam pengertian sebagai “kredit investasi dengan jangka waktu 5-10 tahun”. Modal LPD dalam perkembangan lebih lanjut terdiri dari pemupukan modal, pemanfaatan tabungan, dan pinjaman nasabah..
Dewasa ini, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD, ditentukan bahwa LPD dapat didirikan dengan modal awal sekurang-kurangnya Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Modal LPD terdiri dari (a) setoran Desa Pakraman, (b) bantuan pemerintah atau sumber lain yang tidak mengikat; dan (c) laba yang ditahan.
Dalam pasal 8 Keputusan Gubernur Bali Nomor 972 Tahun 1984 tentang Pendirian LPD di Provinsi Daerah Tingkat I Bali disebutkan bantuan pemerintah itu sebagai kredit investasi dalam jangka waktu 5—10 tahun. Pengertian kredit investasi tidak dijelaskan dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Namun, berdasarkan jangka waktu yang ditetapkan dalam Pasal 8 tersebut, kredit investasi dapat diartikan secara umum sebagai “pinjaman yang diberikan oleh suatu lembaga keuangan pada nasabah yang mau melakukan perluasan usaha dengan lama pembayaran dengan jangka waktu kredit menengah dan jangka waktu yang panjang”. Pemberian modal dalam bentuk kredit investasi dari pemerintah Provinsi Bali kepada LPD Desa Adat kini menjadi polemik, karena para pengurus maupun pengawas LPD yang bermasalah kerapkali disangkakan sebagai koruptor karena modal yang didapat merupakan modal yang diperoleh dari pemerintah Provinsi Bali.
LPD “Milik” Pemerintah?
Menjadi pertanyaan, apakah dengan demikian berarti: (1) LPD yang ada saat ini berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut kepada Pemerintah Provinsi Bali selaku pemberi kredit? (2) Jika tidak sanggup mengembalikan, apakah LPD yang ada sekarang di masing-masing Desa Adat di Bali merupakan milik Pemerintah Provinsi Bali? (3) Apakah Pemerintah Provinsi dapat dianggap sebagai pemegang saham LPD yang ada di masing-masing desa adat di Bali, meskipun dalam Perda disebutkan bahwa LPD merupakan milik Desa Adat dan hanya dapat menjalankan fungsi intermediasi dalam lingkup Desa Adat? (4) Apakah Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi kredit sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) mempunyai hak atas keuntungan dari perkembangan LPD yang ada di Bali? Jawaban atas pertanyaan ini, jelas tidak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan kenyataan berikut ini.
Seharusnya tidak ada kewajiban dari Desa Adat untuk mengembalikan modal tersebut karena bentuknya modal bantuan bukan penyertaan modal. Jika bantuan tersebut merupakan penyertaan modal, seharusnya tercatat di dalam pembukuan di Pemerintah Provinsi Bali seperti modal yg ditempatkan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.
Jika pemerintah ikut sebagai pemilik LPD, pemerintah pasti akan mewajibkan Desa Adat untuk melakukan pertanggungjawaban dalam laporan keuangan LPD termasuk juga pembagian keuntungan setiap tahun. Namun, pemerintah tidak pernah ikut serta dalam paruman desa adat mengenai LPD dan tidak pernah mengambil keuntungan dari laba LPD. Di samping itu, jika demikian yang terjadi, maka status, kedudukan, dan fungsi LPD jelaslah sudah melenceng dari Keputusan Gubernur Bali Nomor 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Hal lain yang juga menguatkan bahwa pendirian LPD berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Propinsi Daerah Tingkat I Bali hanya diberlakukan untuk 8 LPD yang terpilih sebagai pilot project, sehingga kredit investasi yg diberikan tidak dapat diberlakukan untuk LPD yang tidak termuat dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 972 Tahun 1984 tersebut. LPD yang lainnya didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur yang berbeda-beda sesuai dengan periode jabatan Gubernur.
Sebagai contoh, LPD Desa Adat Kedonganan didirikan berdasarkan SK Gubernur Nomor 151 Tahun 1990 tertanggal 31 Maret Tahun 1990. Modal awal LPD Kedonganan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 dari SK Gubernur bersumber dari bantuan modal dari Pemerintah Provinsi Bali Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan Pemerintah Kabupaten Badung Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Modal tersebut diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Badung pada waktu LPD mulai menjalankan kegiatan operasional.
Pembina LPD pada saat itu yaitu Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Pembina Lembaga Perkreditan Desa (PLPDK Kabupaten/Kota) melalui bendesa adat menyarankan kepada pengurus untuk membukukan modal tersebut pada neraca tabelaris dengan penjelasan diterima bantuan modal dari provinsi sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai modal disetor, sedangkan modal Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) dari kabupaten/kota sebagai modal donasi. Padahal seharusnya semua ditulis sebagai modal donasi. Inilah sumber kekeliruan dari pembina saat itu yaitu BPD dan PLPDK.
Oleh sebab itu, jika pun ada kewajiban dari LPD kepada pemerintah Provinsi Bali, maka kewajiban tersebut sesuai skema kredit investasi hanyalah kewajiban untuk mengembalikan modal dalam bentuk kredit tersebut. Masalahnya, tidak ada pengaturan yang memuat mengenai mekanisme pengembalian. Padahal, LPD yang ada di Bali berkeinginan mengembalikan modal tersebut. Akibatnya, sampai saat ini modal tersebut belum dapat dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi Bali dan tetap dicatatkan dalam neraca LPD (pasiva, modal donasi).
Modal Sosial dan Modal Budaya
Namun, yang perlu dicermati dan diselami lebih dalam lagi, modal LPD sesungguhnya bukan hanya modal uang. Justru yang jauh lebih berpengaruh adalah modal sosial dan modal budaya berupa sistem nilai, norma, adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang diyakini, diwariskan, dan dijaga oleh krama desa adat. Berkat modal sosial dan modal budaya inilah, dana Rp 2.000.000 itu bisa dikembangkan dengan baik hingga kita lihat banyak LPD maju seperti sekarang.
Perihal modal sosial dan modal budaya di LPD ini sudah diteliti oleh banyak peneliti LPD dari Bali, luar Bali, bahkan luar negeri. Para peneliti itu juga menyimpulkan bahwa kekuatan LPD bukan pada modal uangnya, tapi modal sosial dan modal budaya. Karena itu, kesuksesan LPD tidak bisa serta merta dicontek dan diterapkan di daerah lain, tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik modal sosial dan modal budaya di daerah masing-masing. Inilah menyebabkan LPD di Bali itu unik dan otentik sehingga UU Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) memberikannya kekhususan. (*)
____________________________________________________________
- Rubrik Kupas Tuntas LPD ditayangkan setiap hari Rabu.
- Pertanyaan mengenai LPD di Bali dapat dikirimkan ke redaksi balisaja.com melalui surel redaksi@balisaja.com. Semua pertanyaan akan diteruskan ke pengasuh rubrik, I Ketut Madra, S.H., M.M. Pertanyaan yang akan dijawab ditentukan oleh pengasuh.
- I Ketut Madra, S.H., M.M. merupakan Manggala (Ketua) LPD Desa Adat Kedonganan serta Bhaga (Bidang) IV Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Pengalamannya selama lebih dari 30 tahun memimpin LPD membuatnya diundang di berbagai forum berbicara mengenai LPD. Dia termasuk salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan tatakelola LPD berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal Bali.