Budaya ulu-apad menjadi ciri khas masyarakat Bali Aga. Budaya ulu-apad semacam hierarki sosial berdasarkan senioritas dalam kepemimpinan kultural masyarakat Bali Aga. Para antropolog menyebut distribusi status sosial semacam ini menggunakan prinsip dasar kelebihdahuluan atau precedence.
Antropolog Universitas Melbourne, Thomas Reuter dalam buku Rumah Leluhur Kami: Kelebihdahuluan dan Dualisme dalam Masyarakat Bali Dataran Tinggi menjelaskan hierarki yang didasari prinsip dasar ‘kelebihdahuluan’ menjadi salah satu ciri ‘masyarakat rumah’ yang banyak ditemukan pada masyarakat pengguna bahasa Austronesia. Reuter yang meneliti masyarakat Bali Aga di daerah Sukawana dan sekitarnya selama 1,5 tahun mencatat ada 52 desa Bali Aga yang masih kuat identitas kulturalnya.
Masyarakat Bali Aga itu, biasanya terikat dalam jaringan ritual regional bernama banua. Salah satu jaringan ritual yang besar, yakni Pura Pucak Penulisan dengan Desa Sukawana sebagai pusatnya.
Dalam sistem ulu-apad, setiap orang yang menjadi krama desa, pada waktu kawin, akan menjadi anggota desa. Krama desayang baru itu akan menempati posisi paling bawah yang disebut sebagai pamuit. Ada orang yang lebih tinggi pangkatnya, jika meninggal dunia, atau anaknya sudah menikah, yang di bawah akan naik.
Istilah ulu-apad mengacu pada urutan peringkat desa diungkapkan secara visual dalam urutan tempat duduk para laki-laki dalam pertemuan adat (sangkepan) di rumah panjang (bale lantang dawa) yang berada di Pura Bale Agung dan pura desa penting lainnya. Para tetua berperingkat tertinggi mendapat gelar kehormatan dan masing-masing diberi seperangkat tugas ritual tertentu. Mereka duduk di atas (ulu) bale lantang, sementara pasangan anggota berperingkat terendah duduk di ujung bawah (teben), yaitu ujung yang mengarah ke tempat yang lebih rendah (kelod).
Desa ulu apad, tulis Reuter, tidak hanya dibagi secara vertikal dan berdasarkan pemeringkatan kelebihdahuluan, tetapi juga dibagi menjadi dua ‘sisi’ (sibak) yang ukurannya kurang-lebih sama. Sekitar setengah dari para laki-laki merupakan angota sisi ‘kiri’ (kiwa) dan dalam pertemuan akan duduk di dapuh kiri rumah panjang seremonial, sedangkan para laki-laki lainnya merupakan anggota sisi ‘kanan’ (tengen) dan duduk di kanan.
Reuter berhipotesis, sistem ulu-apad dalam masyarakat Bali Aga memang berasal dari organisasi kemasyarakatan yang lebih kecil di dalam dadia atau kelompok keluarga. Hal ini, menurut Reuter, erat kaitannya dengan karakteristik ‘masyarakat rumah’ (house society) yang dapat ditemukan di semua masyarakat berbahasa Austronesia, dari Taiwan sampai Selandia Baru. Rumah menjadi konsep pokok dalam masyarakat pengguna bahasa-bahasa Austronesia.
Selain rumah, ada juga sanggah yang menjadi konsep penting. Jika rumah adalah representasi dari keluarga yang masih hidup, sanggah merupakan representasi dari leluhur. Dengan kata lain, sanggah juga merupakan rumah bagi leluhur. (b.)
Penulis: I Made Sujaya