Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat mengeluarkan pedoman pelaksanaan hari raya Nyepi tahun baru Saka 1942 di tengah suasana pandemi coronavirus desease 2019 (covid-19). Dalam surat bernomor 310/PHDI Pusat/III/2020 tertanggal 19 Maret 2020 itu ditegaskan tidak ada arak-arakan atau pawai ogoh-ogoh.
Surat yang ditujukan kepada Ketua PHDI di seluruh Indonesia itu ditandatangani Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba; Ketua Sabha Walaka, Kolonel Inf. (Purn) I Nengah Dana, S.Ag., serta Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya ditegaskan tidak ada arak-arakan atau pawai ogoh-ogoh. Surat itu diunggah di akun resmi facebook PHDI Pusat, Kamis (19/3) malam dan mulai disebarkan banyak warganet di media sosial.
Selain penegasan tidak ada arak-arakan/pawai ogoh-ogoh, PHDI Pusat juga memberikan pedoman mengenai pelaksanaan ritual melasti/mekiyis/melis agar dilaksanakan dengan hanya melibatkan para petugas pelaksana upacara dalam jumlah yang sangat terbatas dengan ketentuan mengikuti protokol pencegahan covid-19 yang telah ditentukan. Minimal dengan menggunakan pengukur suhu tubuh/thermogun dan hand sanitizer.
Tawur Agung Kasanga juga dilaksanakan dengan hanya melibatkan para petugas pelaksana upacara dalam jumlah yang sangat terbatasdengan mengikuti protokol pencegahan covid-19 yang telah ditentukan dan tanpa kegiatan seremonial. Umat Hindu yang tidak bertugas sebagai pelaksana upacara cukup bersembahyang dari rumah masing-masing. Mengenai kegiatan dharmasanti dipertimbangkan dengan melihat dan mencermati perkembangan situasi dan kondisi yang ada.
PHDI Pusat juga memberikan pedoman mengenai pelaksanaan hari suci keagamaan Hindu (Purnama, Tilem, Tumpek, dan lain-lain). Sampai dengan meredanya pandemi covid-19, persembahyangan di pura dilaksanakan oleh para pelaksana upacara (pandita/pinandita dan sarati banten) saja. Umat Hindu cukup bersembahyang di rumah masing-masing.
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda mengajak umat Hindu, terutama di Bali, melaksanakan keputusan PHDI Pusat. “Parisada adalah majelis umat dengan pimpinan tertinggi Dharma Adyaksa (Ketua Sabha Pandita) dan inilah yang harus ditaati. Bukan pimpinan harian yang diketuai Sabha Walaka,” tulis Ida Pandita di akun facebook-nya.
Sebelumnya, PHDI Provinsi Bali bersama Majelis Desa Pakraman (MDP) Provinsi Bali dan Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran (SE) Bersama yang menyatakan pengarakan ogoh-ogoh bukan rangkaian hari suci Nyepi, sehingga tidak wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, pengarakan ogoh-ogoh sebaiknya tidak dilaksanakan.
Namun, SE itu masih memberi peluang dilaksanakan pawai ogoh-ogoh dengan adanya poin yang menyebutkan, bila akan tetap dilaksanakan, maka pelaksanaannya agar mengikuti beberapa ketentuan, yakni waktu pengarakan ogoh-ogoh dilaksanakan tanggal 24 Maret 2020 pukul 17.00 sampai dengan pukul 19.00 wita, tempat pelaksanaan hanya di wewidangan banjar adat setempat, serta sebagai penanggung jawab adalah bendesa adat dan prajuru banjar adat setempat atau sebutan lain agar berjala tertib dan disiplin.
SE Bersama itu menuai kritik dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak tegas. Masih diberikannya ruang mengadakan pengarakan ogoh-ogoh dinilai tidak sejalan dengan arahan Presiden RI untuk menghindari kerumunan, membatasi jarak di lingkungan publik serta beribadah dari rumah. Kerumunan orang saat pawai ogoh-ogoh dikhawatirkan memunculkan potensi penyebaran covid-19.
Gianyar Melarang
Sejatinya tak semua memanfaatkan ruang yang diberikan SE Bersama PHDI, MDP Bali dan Gubernur Bali untuk tetap melaksanakan pawai ogoh-ogoh dengan pembatasan. Pemerintah Kabupaten Gianyar secara tegas mengambil keputusan melarang atau meniadakan arak-arakan ogoh-ogoh, termasuk di wilayah (wewidangan) banjar atau desa sekali pun.
Keputusan itu diambil berdasarkan hasil rapat koordinasi di ruang serbaguna Polres Gianyar, Rabu (18/3). Bupati Gianyar, Made Agus Mahayastra menyatakan ogoh-ogoh yang sudah telanjut dibuat atau sudah selesai dibuat tetap diupacarai dan dihadirkan di catus pata di wilayah masing-masing. “Saya harap semua masyarakat dapat menaati ketentuan dalam surat edaran tersebut dan untuk pengarakan ogoh-ogoh tahun ini ditiadakan, cukup diupacarai saja,” tegas Agus Mahayastra sebagai dilansir bali.tribunnews.com, Kamis (19/3).
Di Badung, Desa Adat Tuban juga memilih tidak menggelar pawai ogoh-ogoh saat malam pengerupukan. Namun, sebagai bentuk apresiasi kepada kreativitas generasi muda, Desa Adat Tuban akan mengumpulkan ogoh-ogoh di catus pata untuk diupacarai banten prayascitta. “Setelah ogoh-ogoh di-plaspas dilanjutkan dengan pralina. Setelah itu ogoh-ogoh kembali dibawa ke banjar masing-masing,” kata Bendesa Adat Tuban, I Wayan Mendra seperti dilansir denpost.id.
Tak hanya arak-arakan ogoh-ogoh, Desa Adat Tuban juga meniadakan Festival Pasar Majalangu pada hari Ngembak Gni. Biasanya kegiatan ini dihadiri ribuan orang. Sementara ritual Nyepi, seperti melasti dan tawur agung kasanga tetap dilaksanakan tetapi dengan pembatasan peserta, tidak melibatkan seluruh krama.
Inisiatif meniadakan pengarakan ogoh-ogoh juga datang dari generasi muda. Ada Seka Teruna (ST) yang mengambil insiatif sendiri membatalkan pengarakan ogoh-ogoh, meskipun ogoh-ogohnya sudah selesai dibuat. Seperti diberitakan denpost.id, Kamis (19/3), ST Muda Mekar, Banjar Munduk Mengenu, Desa Tista, Kecamatan Busungbiu, Buleleng memutuskan tidak mengarak ogoh-ogoh keliling desa. Mereka memilih membungkus ogoh-ogoh “I Tumpang Wredha” yang sudah rampung 90% itu dengan plastik, disimpan rapi.
“Karena ini sudah berdasarkan imbauan dan hasil paruman, tidak hanya di banjar kami, tapi di seluruh banjar di Desa Tista diputuskan untuk tidak menggelar arak-arakan ogoh-ogoh,” kata Ketua ST Muda Mekar, Kadek Agus Ardana.
Memang, Ardana mengakui, sejumlah anggotanya sempat kecewa. Namun, karena melihat kepentingan yang lebih besar, mereka bisa menerima keputusan itu. “Ini demi keselamatan bersama dan agar virus korona ini tidak semakin menyebar,” kata Ardana. (b.)
______________________________
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI