Menu

Mode Gelap
50 Pengabdi Seni dan Budaya Desa Peliatan Dianugerahi Abisatya Sani Nugraha Meningkatkan Martabat Pendidikan Pertanian di Tengah Dominasi Pariwisata Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun

Desa Mawacara · 16 Jan 2020 22:54 WITA ·

Dua Desa di Pusat Kota Ini Pantang Pelihara Kuda


					Dua Desa di Pusat Kota Ini Pantang Pelihara Kuda Perbesar

Oleh: KETUT JAGRA

Suasana Desa Budaga, Klungkung. (balisaja.com/Ketut Jagra) 

Desa Adat Budaga dan Sidakarya sama-sama terletak di wilayah kota. Budaga di wilayah kota Smarapura, Klungkung, sedangkan Sidakarya di wilayah kota Denpasar. Kedua desa yang berjarak sekitar 32 km ini ternyata memiliki kesamaan tradisi, yakni sama-sama pantang memelihara kuda. Di Sidakarya ada tambahan lagi sejumlah hewan yang pantang dipelihara, yakni kambing, domba, monyet, babi (bangkung-kaung) serta misa atau kerbau putih.


Tiada jelas, memang, apa penyebabnya hingga muncul pantangan semacam ini. Namun, warga Sidakarya percaya hal itu erat kaitannya dengan Pura Pagedogan di desa itu. Pada masa kerajaan dulu, Raja Badung ketika hendak beranjangsana, sang raja mengistirahatkan kudanya di sebuah tempat di Sidakarya saat ini. Tempat peristirahatan kuda raja itu kemudian dijadikan pura yang diberi nama Pura Pagedogan. Pura ini di-among Jero Dangin, Denpasar. Lama-kelamaan tempat peristirahatan kuda sang raja itu disakralkan warga. Seiring itu pula menguat keyakinan bahwa kuda sebagai ancangan di pura itu sekaligus desa Sidakarya. Hal inilah yang kemudian membuat warga Sidakarya tiada berani memelihara kuda.

Namun, seperti termuat dalam buku Babad Sidakaryasusunan I Nyoman Kantun  dan I Ketut Yadnya disebutkan munculnya pantangan terhadap hewan-hewan piaraan itu karena secara niskala diyakini sudah ada ancangan seperti hewan-hewan itu di desa ini. Karenanya, warga tidak patut lagi memelihara binatang tersebut karena merupakan unen-unen Ida Bhatara.

Konon, bila ada warga Sidakarya yang memaksakan diri untuk memelihara hewan-hewan itu, senantiasa menemukan kesusahan. Pernah terjadi seorang warga Sidakarya memelihara kuda, ternyata sang kuda tidak pernah mau diam, dan berlaku aneh. Begitu juga warga yang memelihara babi. Babi itu memang mau beranak, tetapi secara ekonomi tidak bisa menghasilkan.

Pantangan ini bukan saja berlaku bagi warga asli Sidakarya. Warga pendatang pun tidak berani memelihara hewan-hewan tersebut. Pantangan ini pun disuratkan dalam awig-awig desa adat. Pernah juga warga pendatang yang tinggal di Sidakarya memelihata kambing. Memang, kambing-kambing itu mau beranak-pinak, tetapi tiada sampai menghasilkan. Justru, yang terjadi, warga tersebut malah jatuh secara ekonomi.
Pantangan memelihara kuda di Budaga juga tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Warga setempat hanya mewarisi cerita turun-temurun dari pendahulunya bahwa ancangan sesuhunan Ida Batara di desa tersebut ada yang berwujud kuda, sehingga warga tiada dibolehkan memelihara hewan tersebut.

Konon, apabila ada warga Budaga yang memelihara kuda di rumahnya bisa terkena bahaya. Paling tidak, kuda yang dipelihara akan rusuh. Malah, si pemilik bisa jatuh sakit.

Pernah suatu kali, seperti diceritakan tokoh masyarakat Budaga, I Nengah Deresta, ada salah seorang warga Budaga yang memelihara kuda. Si pemilik memelihara kuda untuk digunakan menarik dokar. “Namun, kuda yang dipelihara di rumahnya itu tidak tenang, selalu meloncat-loncat dan meringkik tiada putus. Kuda tersebut lama-kelamaan mati,” tutur Deresta.

Setelah kejadian itu, warga Budaga kemudian diingatkan kembali tentang tutur para tetua desa di masa lalu mengenai pantangan memelihara kuda. Pengalaman buruk salah seorang warga itu meyakinkan warga Budaga bahwa secara niskala mereka memang tak dibolehkan memelihara kuda.

Sulit diterima akal sehat, memang, munculnya pantangan memelihara kuda di Desa Budaga ini. Namun kenyataannya manakala ada warga yang memelihara kuda, kejadian buruk memang terjadi. Ini seolah memperkuat keyakinan bahwa pantangan itu memang dititahkan secara niskala.

Akan tetapi, ada yang menyebut trauma atas kejadian gagalnya memelihara kuda yang dialami warga itulah yang memunculkan keyakinan warga untuk tidak memelihara hewan tersebut. Dari rasa trauma itulah kemudian menguat menjadi keyakinan yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun. (b.)
__________________________________

Penyunting: I MADE SUJAYA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 237 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Tari Rejang: Warisan Bali Kuno, Simbol Keindahan dan Kesucian

4 Juni 2021 - 22:50 WITA

“Bahan Roras”, Pelaksana Harian Pemerintahan Adat di Tenganan Pagringsingan

2 Juni 2021 - 21:23 WITA

Makare-kare Tenganan Pagringsingan
Trending di Desa Mawacara