Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung mungkin bisa dijadikan contoh pengelolaan karya atiwa-tiwa lan atma wedanaatau dikenal sebagai ngaben lan nyekah ngemasa yang tanpa membebani krama. Sejak pertama kali digelar tahun 2006 lalu, karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasa di Desa Adat Kedonganan tidak pernah membebankan biaya upacara kepada kramapemilik sawa. Biaya upacara sepenuhnya ditanggung desa adat melalui pengelolaan produk tabungan khusus Simpanan Upacara Adat (Sipadat) kramadi LPD Desa Adat Kedonganan.
Tahun 2018 ini, karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasa kembali digelar untuk kali ke lima. Puncak karya atiwa-tiwadilaksanakan 2 Agustus 2018 lalu dan puncak karya atma wedana digelar pada 14 Agustus 2018.
Ketua LPD Kedonganan, I Ketut Madra menjelaskan LPD Kedonganan memang berkomitmen menopang program desa adat berupa karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasa setiap tiga tahun sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2006. “Ini wujud nyata LPD sebagai penyangga adat dan budaya Bali di desa adat yang dijiwai nilai-nilai agama Hindu,” kata Madra di Kedonganan, Sabtu (11/8).
Karya atiwa-tiwa lan atma wedanaDesa Adat Kedonganan tahun 2018 diikuti kramapemilik sawa, meliputi 50 sawa ngaben, 98 sawa nyekah, 86 sawa ngelangkir, dan 14 sawa ngelungah. Total biaya karya atiwa-tiwa lan atma wedana yang ditanggung LPD Kedonganan senilai Rp 1,050 miliar.
“Biaya itu berdasarkan proposal yang diserahkan panitia melalui prajuru desa kepada LPD Kedonganan,” kata Madra.
Menurut Madra, Sipadat merupakan tabungan khusus kramaDesa Adat Kedonganan di LPD yang memberikan labdaatau nilai manfaat berupa kepesertaan dalam karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasa di desa adat. Karena semua krama desa menjadi peserta Sipadat, sehingga setiap krama yang menjadi peserta karya atiwa-tiwa lan atma wedanaberhak mendapat fasilitas itu.
Bendesa Adat Kedonganan, I Wayan Mertha secara terpisah, Minggu (12/8) menjelaskan karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasatiap tiga tahun merupakan amanat PararemDesa Adat Kedonganan. Dalam pararemdisebutkan, karya atiwa-tiwa lan atma wedana ngemasa itu merupakan kewajiban desa adat. Karena itu, beban pembiayaan menjadi tanggung jawab desa adat.
“Untuk mengemban kewajiban itu, desa adat itu memiliki unit-unit usaha. Di antara berbagai unit usaha yang dimiliki desa adat, LPD yang mampu berkreasi dengan membuat produk Sipadat. Kami mengapresiasi kreasi LPD melalui Sipadat itu sehingga menjadi penopang utama pembiayaan karya atiwa-tiwa lan atma wedana ini,” kata Mertha.
Namun, imbuh Mertha, bukan berarti tidak ada sumber pembiayaan lain. Desa adat serta krama pemilik sawa maupun krama desa lain juga turut mengambil bagian melalui punia dalam bentuk uang, barang maupun tenaga. Selain itu, kata Mertha, sesuai amanat pararem, desa adat juga dimungkinkan mencari sumber-sumber pembiayaan lain yang sah dari berbagai pihak terkait.
“Tahun ini, kebetulan ada program Pemkab Badung yang mendukung penguatan adat, budaya dan agama, termasuk pelaksanaan yadnyaseperti karya atiwa-tiwa lan atma wedana ini, kami mencoba mengajukan proposal kepada Bupati Badung. Kami bersyukur, proposal kami itu direspons positif oleh Bupati Badung,” beber Mertha.
Namun, Mertha tetap menegaskan sumber utama pembiayaan karya atiwa-tiwa lan atma wedana ini berasal dari LPD. Pola ini sudah dilakukan sejak pertama kali program karya atiwa-tiwa lan atma wedana ini diluncurkan tahun 2006 lalu. Karena itu, Mertha mengapresiasi dan berterima kasih atas upaya LPD Kedonganan mengkreasi produk Sipadat. Dia berharap produk serupa bisa terus dikreasi LPD sesuai kebutuhan krama dan selaras dengan program-program desa adat. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI