Bagi orang Bali, lontar tak sekadar karya sastra yang mencatat segala dinamika kebudayaan Bali, tetapi juga sesuatu yang bernilai sakral. Itu sebabnya, kesan tenget (angker) terhadap lontar masih tertanam kuat. Orang Bali tak berani sembarangan membuka atau membaca teks-teks tradisional itu.
Masih kuatnya kesan tenget atas lontar di kalangan masyarakat Bali ini juga dirasakan para penyuluh bahasa Bali yang tersebar di semua desa adat di Bali. Para pejuang muda kebudayaan Bali itu masih menghadapi kendala untuk memetakan lontar-lontar yang tersimpan di rumah-rumah penduduk di desa adat di Bali.
“Kesan tenget saat ini masih menjadi kendala. Karena itulah kami sering melaksanakan sosialisasi. Setelah itu justru banyak ditemukan lontar yang hanya sekadar catatan biasa atau pipil tanah saja,” ungkap Koordinator Penyuluh Bahasa Bali, I Nyoman Suka Ardiyasa saat pemaparan hasil kinerja penyuluh bahasa Bali di Taman Budaya Denpasar, beberapa hari lalu.
Meski menghadapi kendala kesan tenget, para penyuluh bahasa Bali masih mampu memenuhi target pemetaan lontar-lontar yang ada di rumah-rumah penduduk di seluruh Bali. Jika target yang ditetapkan hanya 8.000-an lontar, para penyuluh bahasa Bali mampu melampaui angka itu. Tak tanggung-tanggung, 12.496 lontar berhasil dipetakan.
Menariknya, dalam pemetaan tersebut turut ditemukan lontar Bali yang berkaitan dengan kebencanaan seperti letusan Gunung Agung. Dijelaskan Suka Ardiyasa, adapun daerah yang mendominasi keberadaan lontar-lontar di Bali secara kseluruhan berada di dua Kabupaten, yakni Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Gianyar.
Tak hanya lontar, para penyuluh bahasa Bali berhasil membentuk 1.939 kelompok belajar dengan jumlah peserta yang mencapai 56.683 orang, pemetaan papan nama mencapai 10.441, pemetaan dalang yang hingga kini terdata sedikitnya ada 320 dalang di Bali, dan pemetaan cerita rakyat di seluruh Bali yang jumlahnya mencapai 531 cerita.
Itu sebabnya, Tim Ahli Penyuluh Bahasa Bali, I Nengah Duija menyatakan saat ini kinerja penyuluh sudah sangat baik. Hal ini terbukti dari kinerjanya yang mampu melakukan pemetaan terhadap beberapa warisan kebudayaan Bali yang sebelumnya tidak terdata. “Kinerja penyuluh sangat maksimal, itu dibuktikan dengan banyaknya lontar-lontar dan jenis kebudayaan lainya yang mampu dipetakan,” ungkapnya.
Terkait dengan adanya pemindahan kewenangan penyuluh dari Dinas Kebudayaan ke Dinas Pendidikan, pihaknya justru sangat mendukung. Penyuluh bahasa Bali di masyarakat tidak hanya bertugas memetakan, melainkan juga melalui kelompok belajar turut melaksanakan proses belajar-mengajar, sehingga memang lebih berkaitan jika berada di bawah Dinas Pendidikan. Kalau bisa, Duija meminta, mereka secara langsung dijadikan guru bahasa Bali untuk mengisi kekurangan guru bahasa Bali di sejumlah daerah.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Dewa Putu Beratha menyebut insan muda penyuluh bahasa Bali ini sebagai pejuang dalam menularkan dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya kebudayaan yang salah satunya adalah bahasa Bali. “Kami di Pemprov Bali mengucapkan terima kasih kepada penyuluh bahasa Bali,” pungkasnya. (b.)
Teks dan Foto: Putu Jagadhita
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI