Kepengarangan Nyoman Rasta Sindhu tentu tidak bisa dibandingkan dengan pencapaian Chairil Anwar, sang pelopor Angkatan 45. Namun, kedua sastrawan Indonesia berbeda latar belakang etnis ini memiliki kemiripan kisah hidup: keduanya sama-sama mati muda saat prestasi kepengarangannya mulai diapresiasi. Chairil meningga pada usia belum genap 27 tahun, sedangkan Rasta Sindhu meninggal dalam usia belum genap 29 tahun.
Rasta Sindhu dilahirkan pada 31 Agustus 1943 di Denpasar dan merupakan pengarang yang berasal dari Desa Belok, Badung. Dia meninggal dunia pada 14 Agustus 1972, serta di-aben 17 Agustus 1972. Rasta Sindhu meninggalkan seorang istri bernama Wienarti dan tiga orang anak.
![]() |
Nyoman Rasta Sindhu (Repro: Bentara Budaya Bali) |
Sebagai sastrawan muda, Rasta Sindhu terbilang produktif pada masanya. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen tersebar di berbagai media massa nasional, seperti Mimbar Indonesia, Horison, Sinar Harapan, Basis, dan majalah Sastra. Namanya melambung di kancah sastra Indonesia manakala cerpennya “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” yang dimuat di majalah Horison No.1 Th. IV Januari 1969 terpilih sebagai cerpen terbaik. Rasta Sindhu pun menerima Hadiah Sastra Horison. Di Bali, Rasta Sindhu juga meneria penghargaan Dharma Kusuma Madya dari Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra.
“Penghargaan dari Horison menjadi momentum penting bagi kepengarangan Rasta Sindhu. Tak hanya namanya makin dikenal, karya-karyanya juga diperhitungkan dalam peta sastra Indonesia modern,” kata peneliti sastra dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud, Dewa Gde Windu Sancaya saat menjadi pembicara dalam kegiatan “Sandyakala Sastra” bertajuk “Rasta Sindhu dan Cerita Kita Kini”, di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Jumat (24/3) malam.
Cerpen “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” memang kisah menggetarkan yang menunjukkan pandangan dunia Rasta Sindhu tentang semangat humanisme yang harus dirawat setiap manusia. Melalui tokoh Gung Gde Lila, Rasta Sindhu mengajak pembacanya merenungkan makna kemanusiaan dan memuliakannya di atas segala perbedaan status sosial. Namun, Rasta Sindhu tampaknya menyadari relasi keluarga dan hubungan darah dalam tradisi Bali yang tak bisa diputus, seperti ditunjukkan melalui tokoh Sulastri yang bersama anaknya tetap menghadiri upacara pengabenan mertuanya, tanpa ditemani sang suami. Kendati begitu, relasi itu tetap tak boleh menodai nilai-nilai kemanusiaan.
“Dalam cerpen-cerpennya Rasta Sindhu selalu berpihak kepada kemanusiaan. Ini yang menyebabkan karya-karyanya menjadi kuat,” kata dosen sastra Indonesia Unud yang juga pengarang novel, Maria Matildis Banda dalam suatu kesempatan.
Kuatnya problematika kemanusiaan dalam “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” tak pelak membetot perhatian para penikmat sastra Indonesia, terutama di Bali. Itu sebabnya, tak ada sastrawan dan penikmat sastra Indonesia di Bali yang tak membaca cerpen ini. Apalagi, cerpen ini berkali-kali juga digubah dan dipentaskan ke dalam pertunjukan drama modern. Akhir Oktober tahun lalu, Sanggar Tepi Siring pimpinan I Wayan Selat Wirata mementaskan cerpen ini di wantilan DPRD Badung.
Sayangnya, meski Rasta Sindhu diakui sebagai salah satu sastrawan penting dari Bali setelah I Gusti Nyoman Panji Tisna, hingga kini tak ada buku yang menghimpun puisi dan cerpennya. Kisah hidupnya pun belum banyak diungkap. Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang sosok Rasta Sindhu.
Sastrawan Gde Aryantha Soethama menilai cerpen-cerpen Rasta Sindhu umumnya tidak memiliki ending (akhir) cerita yang kuat. Tapi, cerpen-cerpennya begitu menggetarkan sehingga berkesan dan diingat orang. “Itu kekuatan Rasta Sindhu yang tidak banyak dimiliki pengarang Bali sekarang,” kata peraih Khatulistiwa Award tahun 2006 ini. (b.)
Teks: Sujaya
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI