Perayaan hari Galungan, Rabu, 7 September 2016 menjadi istimewa bagi keluarga I Putu Sudarta di Desa Tista, Busungbiu, Buleleng. Pasalnya, pada hari yang disebut-sebut sebagai hari kemenangan itu, keluarga Putu Sudarta melangsungkan ritual khusus: naur sesangi dewa hyang. Upacaranya terbilang agak besar karena di-puput seorang sulinggih serta menghadirkan upasaksi dari catur warga (empat kelompok warga).
Sesangi yang ditunaikan keluarga Putu Sudarta berupa mempersembahkan babi guling akelan (enam ekor) lengkap dengan beragam sesaji. “Ini sesangi (kaul) leluhur kami di masa lalu. Sebagai generasi penerus, sudah sepantasnya kami menunaikannya dengan tulus ikhlas,” kata Sudarta.
Di masa lalu, ayah Putu Sudarta, almarhum Made Nadi, menderita sakit keras. Paman Made Nadi yang kala itu merawatnya sudah menggunakan segala upaya agar kemenakannya sembuh. Dalam proses mencapai kesembuhan itulah, sang paman yang sudah newata (distanakan di sanggah kemulan) bernazar akan membuatkan upacara otonan bagi sang kemenakan dilengkapi dengan akelan (enam ekor) babi guling.
Sampai akhirnya Made Nadi berpulang, April lalu. Saat nunasang, barulah terungkap adanya sesangi ngaturang guling akelan itu. Setelah melalui rapat keluarga, diputuskan untuk menunaikan sesangi itu tepat saat otonan (hari kelahiran) sang ayah. Kebetulan, otonan almarhum Made Nadi bertepatan dengan hari Galungan.
“Kami bersyukur karena bisa menunaikan sesangi leluhur kami dengan hati riang dan lapang. Semua keluarga datang. Ini kebahagiaan tak terkira,” imbuh I Made Oka Andi Wirawan, putra keenam Made Nadi.
Tradisi naur sesangi memang jamak dalam kehidupan masyarakat Bali. Ini semacam membayar kaul karena doa atau harapan tercapai. Namun, naur sesangi dalam tradisi Bali bukan sekadar membayar kaul atau menunaikan janji diri, tetapi ada unsur niskala (metafisik).
“Naur sesangi itu ada kaitan dengan aspek-aspek niskala. Itu sebabnya, naur sesangi biasanya dilengkapi dengan ritual-ritual tertentu,” kata Ketua Jurusan Sastra Bali Universitas Udayana, I Wayan Suardiana.
Biasanya, orang masesangi saat tertimpa musibah, sakit atau pengharapan agar sukses dalam suatu hal, seperti lulus ujian, lulus seleksi pegawai negeri sipil (PNS), dan lainnya. Seseorang yang mengidap sakit dan lama tidak sembuh, akhirnya berserah diri kepada Tuhan memohon kesembuhan. Apabila benar-benar sembuh, orang itu pun berjanji akan mempersembahkan sesaji tertentu. Tatkala sudah benar-benar sembuh, janji mempersembahkan sesaji itu pun ditunaikan.
Begitu juga, seorang pemuda yang berharap sekali lulus ujian seleksi PNS, lantas berdoa kepada Tuhan, memohon agar diberi kekuatan menjalan ujian dan bisa lulus. Bila lulus, dia berjanji akan mempersembahkan guling. Setelah benar-benar lulus ujian seleksi PNS, janji mempersembahkan guling itu pun dibayar.
Karena itu, naur sesangi sebetulnya sebentuk ungkapan rasa syukur dan terima kasih ke hadapan Tuhan karena segala doa, harapan dan usaha yang dilakukan berhasil sesuai keinginan. “Naur sesangi itu cerminan sikap budaya orang Bali yang percaya bahwa segala doa dan usaha dalam kehidupan ini melibatkan Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi atas perkenan Tuhan. Itu sebabnya, manusia wajib bersyukur,” kata Suardiana.
Namun, dosen Sastra Bali di FPBS IKIP PGRI Bali, Ida Bagus Oka Manobhawa mengingatkan sesangi sebetulnya sebuah praktik budaya Bali yang menselaraskan antara ucapan, pikiran dan tindakan. Jika seseorang berani berucap, selayaknya siap memenuhi ucapan itu.
Di beberapa tempat di Bali, sesangi juga dikenal dengan sebutan lain, saud munyi. Saud munyi itu artinya ucapan yang melampaui atau melewati. Memang tidak sepenuhnya sama antara sesangi dan saud munyi. Namun, makna kedua tindakan tuturan itu tak jauh berbeda.
“Naur sesangi juga bisa dimaknai sebagai peringatan agar betul-betul menjaga ucapan itu. Kalau kita salah ucap, kita harus siap dengan konsekuensinya,” kata Oka Manobhawa.
Kerap pula terjadi, imbuh Oka Manobhawa, sesangi itu tidak sempat ditunaikan karena orang yang masesangi meninggal dunia. Sebab lain, karena manusia sering lupa, sesangi juga tak jarang terlupakan. Akhirnya, sesangi itu baru diketahui setelah orang yang meninggal itu hendak diupacarai. Sesangi pun akhirnya mesti ditunaikan pratisentana atau generasi penerus.
Itu mungkin sebabnya, orang-orang tua Bali senantiasa mengingatkan agar berhati-hati menyampaikan sesangi karena sesangi itu utang yang harus dibayar. (b.)
- Penulis: I Ketut Jagra