Waktu menunjukkan pukul 10.00 Wita. Nyoman Tirtha, warga Kusamba, Klungkung buru-buru mengeluarkan sesaji ke depan gerbang rumahnya. Sesaji itu kemudian digelar di atas tikar pandan menghadap ke jalan. Disertai anggota keluarga lain, doa dengan kalimat sederhana pun meluncur dari bibirnya. Sebagai tanda penutup ritual, mereka pun nyurud (menikmati sisa sesaji) bersama.
Begitulah ritual nyaagang yang menjadi tradisi masyarakat Klungkung. Biasanya, ritual nyaagangdilaksanakan setelah persembahyangan hari suci Kuningan selesai dilaksanakan. Karena persembahyangan hari suci Kuningan tak boleh melewati tengah hari, maka ritual nyaagang akan dilaksanakan sekitar pukul 10.00 hingga sebelum pukul 12.00.
“Nyaagang ini sebagai pertanda upacara hari suci Kuningan sudah berakhir dan para leluhur kini akan kembali ke kahyangan. Sebelum para leluhur pulang ke kahyangan, maka dihaturkan sesaji,” urai Nyoman Tirtha menjelaskan makna upacara nyaagang.
Hampir seluruh masyarakat Klungkung memang melaksanakan ritual nyaagang saban hari suci Kuningan. Tak diketahui secara jelas sejak kapan ritual ini mulai muncul di Klungkung.
“Kami sudah nami (mewarisi) seperti ini sejak dulu,” kata Ni Wayan Pica, seorang warga Klungkung lainnya.
Memang, masyarakat awam tak banyak memahami makna upacara nyaagang ini. Namun, jika ditelisik secara etimologis, kata nyaagang berasal dari kata saagang dalam bahasa Bali yang berarti ‘hidangkan’.
Karena itu, nyaagang kemungkinan besar merupakan sebuah ritual menyajikan hidangan berupa sesaji kepada para leluhur sebelum kembali ke kahyangan. Nyaagangtampaknya semacam ritual perjamuan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada para leluhur yang telah berkenan hadir dalam rangkaian upacara hari suci Galungan dan Kuningan sekaligus memberikan berkah kepada seluruh keluarga.
Menurut kepercayaan masyarakat Bali, para leluhur sudah hadir pada saat hari Sugihan. Sepanjang hari Sugihan hingga Kuningan, para leluhur memberikan berkahnya bagi seluruh keluarga.
Nyaagang sebagai ritual perjamuan bagi leluhur bisa dilihat dari bentuk sesaji yang dihaturkan. Di antaranya, banten soda, beralas daun timbul (keluwih), sepan (tebu), utu, biu krutuk, tigasan dan sejumlah sesaji lainnya.
“Doa yang dihaturkan pun memang ditujukan kepada para leluhur. Isinya berupa ungkapan terima kasih dan syukur atas kesediaan para leluhur untuk turun dan memberi berkah sepanjang hari suci Galungan dan Kuningan. Selanjutnya para leluhur diharapkan turun lagi saat hari Galungan dan Kuningan enam bulan lagi,” kata Dewa Gede Anom, tokoh masyarakat Paksebali, Klungkung.
Di Paksebali, kata Dewa Anom, nyaagang dilakukan di dua tempat yakni di sanggah/merajan serta di lebuh (gerbang) rumah. Nyaagangdi sanggah/merajan dihaturkan bagi para leluhur yang sudah suci. Sementara nyaagang di lebuh rumah dihaturkan bagi para leluhur yang belum disucikan. “Kan ada leluhur yang sudah di-aben tetapi belum diupacarai ngerorasin,” kata Dewa Anom. (b.)
- Penulis: I Ketut Jagra