Teks dan Foto: I Made Sujaya
Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika lagi-lagi menyedot perhatian masyarakat Bali setelah memunculkan kembali wacana mengenai pengembalian fungsi pura sebagai tempat suci, bukan sebagai objek wisata. Wacana ini diangkat Mangku Pastika saat diskusi penetapan Besakih sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Selasa (5/11) lalu sebagai respons atas pro-kontra yang berkembang di kalangan tokoh-tokoh dan masyarakat Bali. Meski penolakan hanya terjadi terhadap penetapan Besakih sebagai salah satu KSPN, toh Mangku Pastika memutuskan mengajukan penundaan untuk sementara seluruh titik (11 kawasan) yang ditetapkan sebagai KSPN di Bali kepada pemerintah pusat. Gubernur yang baru dua bulan dilantik untuk jabatan kedua kalinya itu pun menampik jika keputusannya itu dianggap sebagai cerminan sikap ngambul.
Selama ini, pura yang sejatinya sebagai tempat yang disucikan memang telanjur terbuka bagi wisatawan. Cukup dengan menyewa kain dan selendang, wisatawan bisa bebas berkeliling pura, jeprat-jepret dan bergaya di depan pura, bahkan saat umat Hindu sedang duduk tepekur melakukan persembahyangan sekalipun. Tak jarang umat Hindu mengeluhkan hal itu karena merasa kekhusyukannya bersembahyang terganggu. Belum lagi sulitnya memastikan wisatawan yang mengunjungi pura itu tidak sedang dalam keadaan kotor kain atau menstruasi. Pasalnya, bagi umat Hindu yang sedang haid tidak diperkenankan memasuki areal pura karena dianggap sedang dalam keadaan kotor.
Sesungguhnya, wacana yang dilontarkan Gubernur Mangku Pastika bukanlah sesuatu yang baru. Justru, wacana ini seolah menghidupkan kembali perdebatan yang pernah terjadi di masa kolonial dulu manakala pura difungsikan juga sebagai objek kunjungan para pelancong. Perdebatan itu pun terus menggelinding hingga masa kejayaan pariwisata Bali di era 80-an hingga 90-an. Namun, kekalahan selalu berada pada kelompok penentang pura dijadikan objek wisata karena kenyataannya wisatawan tetap bebas mengunjungi pura hanya dengan menggunakan kain dan selendang di pinggang.
Wacana mengenai pemurnian fungsi pura sebagai tempat suci umat Hindu di Bali merupakan masalah vital dan mendasar bagi Bali. Pasalnya, hal ini berkaitan erat dengan kesucian yang menjadi roh Bali. Kesucian inilah yang menjadi energi utama taksu atau cahaya Bali.
Itu sebabnya, perbincangan mengenai pemurnian fungsi pura di Bali mestilah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh ketulusan. Jika memang Gubernur Mangku Pastika sungguh-sungguh dan tulus ingin memurnikan fungsi pura sebagai tempat suci dan bukan lagi sebagai objek wisata, maka langkah yang mesti diambil bukan semata-mata mengajukan penundaan pemberlakukan KSPN di Bali kepada Presiden, tetapi juga mendorong gagasan ini mewujudnyata sebagai sebuah kebijakan yang konkret. Kita tentu bersyukur, gagasan memurnikan fungsi pura kini menyembul di tingkat pucuk pimpinan tertinggi Bali yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, bukan lagi sebatas wacana di meja diskusi yang melibatkan kalangan kritis.
Perangkat aturan untuk memurnikan fungsi pura sebagai tempat suci sesungguhnya sudah ada. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sudah mengeluarkan bhisama mengenai kesucian pura kahyangan jagat, dang kahyangan hingga pura desa. Bali juga sudah memiliki Perda Nomor 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali tahun 2009-2029. Ada juga keputusan Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali tahun 2010 tentang larangan penggunaan simbol-simbol milik adat dan budaya Bali oleh pihak di luar adat dan budaya Bali.
Memang, keputusan memurnikan fungsi pura sebagai tempat suci tentu akan berimplikasi pada dunia pariwisata Bali karena selama ini wisatawan sudah telanjur terbiasa bisa mengunjungi pura. Namun, persoalan ini bisa diselesaikan dengan sejumlah alternatif seperti disodorkan Penyarikan Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, I Ketut Sumarta: pertama, sama sekali wisatawan tidak dibolehkan memasuki kawasan suci; kedua, turis hanya dibatasi sampai di soring ambal-ambal; ketiga, wisatawan hanya dibolehkan masuk sampai di tembok pura (Bali Tribune edisi Minggu, 10 November 2013).
Kuncinya, sekali lagi, adakah kita kini memang bersungguh-sungguh dan tulus (saja lan seken-seken) ingin memurnikan fungsi pura di Bali sebagai tempat suci dan bukan sebagai objek wisata lagi? Jika memang ya, mari segera melangkah untuk berbenah. Jika langkah segera berbenah itu nyata dan terbukti, tentu tak akan ada lagi saling curiga dan syak wasangka. Dan kita sungguh bersyukur dan bangga, Gubernur Mangku Pastika kini berdiri di garda terdepan untuk sungguh-sungguh dan tulus berbenah. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI