Menu

Mode Gelap
Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang Digelar 23-25 Juli 2024, Rare Bali Festival Usung Tema “Tribute to Made Taro”

Anggarakasih · 11 Nov 2013 20:37 WITA ·

Anggarakasih Medangsia: Melebur Kekotoran dengan Cinta


					Banten soda. (balisaja.com/I Made Sujaya) Perbesar

Banten soda. (balisaja.com/I Made Sujaya)

Ada banyak hari suci yang dirayakan umat Hindu di Bali, memang. Ada hari suci berdasarkan perhitungan sasih (bulan), ada juga hari suci berdasarkan pawukon (wuku). Hari suci berdasarkan sasih misalnya Nyepi yang jatuh saat pananggal apisan (hari pertama) Sasih Kadasa. Contoh hari suci berdasarkan wuku misalnya Saraswati yang jatuh saat Saniscara Kliwon wuku Watugunung.

Selain Saraswati, masih banyak lagi hari suci berdasarkan pawukon. Salah satunya, Anggarakasih. Hari suci Anggarakasih jatuh saat Anggara (Selasa) bertemu dengan Kliwon. Ada enam macam hari suci Anggara Kasih yakni Anggarakasih Kulantir, Anggarakasih Julungwangi, Anggarakasih Medangsia, Anggarakasih Tambir, Anggarakasih Perangbakat, dan Anggarakasih Dukut. Jarak antara satu hari suci Anggarakasih dengan Anggarakasih lainnya selama satu bulan Bali atau 35 hari.

Selasa, 12 November 2013 hari ini, manusia Bali merayakan hari suci Anggarakasih Medangsia. Pada hari suci ini, umat Hindu di Bali biasanya akan mengarus ke Pura Luhur Uluwatu, Pura Goa Lawah serta Pura Luhur Andakasa bersembahyang. Pasalnya, ketiga pura itu memang sedang melangsungkan pujawali (upacara peringatan hari jadi pura) di hari Anggarakasih Medangsia.

Putu Sanjaya dalam buku Hari Raya Anggarakasih Pemujaan Terhadap Dewa Siwa menjelaskan hari suci Anggarakasih memang merupakan hari suci untuk memuja Dewa Siwa. Pada hari itu, Dewa Siwa diyakini sedang melakukan yoga samadhi dengan wujud Sang Hyang Rudra sebagai pamralina atau pelebur.

Segala sesuatu yang dilebur, menurut Putu Sanjaya, tentu telah menjadi sesuatu yang kurang berguna bagi kehidupan atau pun mengganggu keseimbangan dan keharmonisan kehidupan ini, seperti penyakit, pencemaran dan gangguan-gangguan spiritual. Dewa Siwa yang akan melenyapkan semua itu agar tidak mengganggu kehidupan.

“Dengan demikian Dewa Siwa melakukan yoga samadhi, selain menganugerahkan ketajaman budi, juga melebur segala mala, keletehan dan kekotoran dunia agar bhuwana agung (alam makrokosmos) ini menjadi suci. Karena itu, Anggarakasih sesungguhnya hari peleburan segala kekotoran dunia demi terjaganya kesucian dan ketenteraman alam semesta,” jelas Putu Sanjaya.

Dalam lontar Sundarigama disebutkan Anggarakasih adalah suatu saat yang tepat untuk mewujudkan cinta kasih terhadap sang Diri (pangasihining anggasariranta). Pada hari suci ini sepatutnyalah dilakukan peleburan secara bencana dan membersihkan diri dari segala kecemaran, terutama kecemaran yang melekat dalam diri. Caranya melalui jalan perenungan suci.

Makna menyucikan diri dan alam semesta sebagai upaya melebur segala kekotoran pada hari suci Anggarakasih tercermin dalam aneka sarana upacara yang dihaturkan dalam hari suci ini. Seperti diuraikan Ni Made Sri Arwati dalam buku Upacara Upakara Agama Hindu Berdasarkan Pawukon disebutkan sarana upacara yang dihaturkan dalam hari suci Anggarakasih di antaranya berupa wangi-wangian, bunga, serta dupa. Dilanjutkan dengan sembahyang dan memercikkan tirtha (air suci).

Selain pemujaan kepada Sang Hyang Siwa, pada hari suci Anggarakasih juga dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Ayu. Sang Hyang Ayu, menurut Putu Sanjaya, merupakan manisfestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugerah berupa welas asih atau kasih sayang. Anugerah rasa welas asih ini dalam upaya menjaga kesucian dan ketentereman hidup dan kehidupan di dunia.

Akan tetapi, welas asih yang dimaksud dalam hari suci Anggarakasih tak semata kasih sayang terhadap sesama manusia, tetapi kepada semua makhluk. Dengan kasih sayang yang tulus kepada semua makhluk, maka hidup dan kehidupan ini menjadi bercahaya. (b.)

  • Penulis: I Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 598 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

“Banyupinaruh”: “Malukat” Dahulu, “Nyurud Nasi Pradnyan” Kemudian

21 Mei 2023 - 08:18 WITA

Pamacekan Agung, Titik Temu Galungan-Kuningan

9 Januari 2023 - 11:54 WITA

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Trending di Sima Bali