Tak hanya sarana upacara yang digunakan dalam perayaan Kuningan yang diwarnai simbol-simbol perang. Sejumlah tradisi di beberapa desa saat hari Kuningan juga berbau perang. Dua di antara tradisi Kuningan berbau perang yang sudah populer, yakni Makotek di Desa Munggu, Badung dan Dewa Maseraman di Paksebali, Klungkung.
Nama resminya Ngerebeg. Tapi, tradisi saban hari raya Kuningan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung ini lebih dikenal sebagai Makotek. Dalam bahasa Bali, makotek berartik ‘menjolok’. Memang, Makotek merupakan aksi saling jolok dengan menggunakan kayu.
Prosesi tradisi Makotek diawali dari Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Di sinilah seluruh warga berkumpul membawa sebuah kayu pulet seukuran panjang tombak. Selain itu, tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan) di pura masing-masing diikutsertakan dalam tradisi ini. Tombak-tombak ini akan diarak keliling desa bersama pusaka tamiang kolem yang terbuat dari perunggu yang di-sungsung di Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Selain diwarnai aksi saling jolok, Makotek juga disertai dengan kegiatan nunas tirtha ke sepuluh pura yang ada di wewengkon (wilayah) desa seperti Pura Luhur Akasa, Pura Ulun Carik, Pura Luhur Sapu Jagat, Pura Hyang Geni dan lainnya.
Tradisi makotek, konon, lahir ketika Mengwi berkembang menjadi sebuah kerajaan besar di Bali. Diceritakan, suatu ketika Mengwi hendak menyerang Blambangan. Sebelum berangkat, sang raja pun bersemedi di Pura Dalem Kahyangan Wisesa, Desa Munggu untuk mohon berkah kemenangan. Dipilihnya pura ini oleh raja karena prajurit pilihannya banyak yang berasal dari Munggu. Di pura sang raja sempat ngaturang sesangi (janji diri) kepada Ida Batara bila berhasil mengalahkan Blambangan akan menggelar upacara peringatan secara khusus.
Ternyata Blambangan berhasil dikalahkan. Sang raja pun bahagia, prajuritnya juga senang. Saking girangnya, para prajurit itu saling menjolokkan tombak yang dibawa, hingga ada yang terluka. Melihat hal ini, sang raja teringat sesangi-nya di Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Akhirnya, sang raja pun menggelar peringatan di pura tersebut dengan nama upacaranya, Ngerebeg. Ngerebeg artinya menyerang secara menadadak, sebagaimana aksi ke Blambangan. Waktu yang dipilih untuk melaksanakan tradisi ini yakni pada saat Tumpek Kuningan karena pada hari itulah Raja Mengwi bersemedi mohon berkah kemenangan.
Seluruh pusaka ini merupakan warisan leluhur yang digunakan saat ngerebeg ke Blambangan dulu diarak saat ngebereg, termasuk tamiang kolem yang terbuat dari perunggu. Tamiang kolem dengan diameter 45 sentimeter itu merupakan bukti kemenangan Mengwi atas Blambangan.
Di Pura Panti, Banjar Timbrah, Paksebali, Klungkung juga mengenal tradisi berbau perang saat Kuningan. Namanya, Dewa Maseraman. Di kalangan warga Paksebali dan Klungkung umumnya, upacara yang dilaksanakan tiap hari raya Kuningan ini dikenal dengan sebutan dewa mapalu atau pertempuran dewa-dewa.
Maseraman itu artinya pertemuan dengan bersenang-senang atau mungkin bisa disejajarkan dengan bermesraan. Tradisi ini ditandai dengan tumbukan joli-joli yang diusung krama. Prosesi tumbukan antarjoli ini disebut ngambeng sebagai simbolik berkumpulnya Ida Batara karena lama tidak bertemu. Yang terlibat dalam reuni ini, di antaranya Ida Batara Lingsir atau Ida Batara Putran Jaya yang malinggih di Pura Besakih, Ida Batara Gni Jaya yang malinggih di Pura Lempuyang, Ida Bhatra ring Gumang, Ida Batara Dewi Danu, Ida Batara Kelod-Kangin, Ida Batara Manik Botoh dan Ida Batara Manik Bingin.
Upacara ini bermakna bagaimana manusia mesti menjalani kehidupan. Makanya, sebelum maseraman ada masolah yang dilakukan oleh dua orang pengusung joli. Masolah itu artinya ‘bersikap’. Dua orang pengusung itu bermakna rwa bhineda, dua hal yang saling melengkapi. Selesai masolah barulah maseraman, joli diusung secara bersama-sama.
Selain bagian joli saling bertumbuk, prosesi yang menarik perhatian orang yakni saat hendak memasukkan kembali joli-joli itu ke jeroan pura. Yang menarik dari upacara ini, meskipun joli-joli itu ditumbukkan dengan pengusung yang tidak sedikit, tidak pernah sampai ada yang cedera. Begitu juga ketika ritual mengembalikan joli ke jeroan pura di pemedal pura yang sangat sempit, para pengusung tetap segar bugar walau pun sempat berdesak-desakkan, terinjak bahkan tak jarang berjatuhan. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya