Oleh: I MADE SUJAYA
|
Anak-anak mengusung ogoh-ogoh cilik saat malam pengerupukan menjelang hari Nyepi. |
Pada awal mula adanya sunyi, kosong. Pada akhirnya pun juga sunyi, kosong. Kesadaran inilah yang mendasari lahirnya hari suci Nyepi sebagai tanda dimulainya tahun baru Saka yang sudah mentradisi di Bali. Ketika fajar awal tahun mulai terbit, manusia Bali menyambutnya dengan menyepi diri; tidak bepergian keluar rumah, tidak bekerja, tidak menghibur diri dan tidak menyalakan api. Semuanya tunduk khusyuk menyelami sepi, membaca-baca diri untuk menemukan kesejatian sang Diri.
Inilah tradisi unik dan otentik peninggalan leluhur Bali yang sulit ditemukan di belahan dunia yang lain. Sebuah ritual paradoksal dalam menandai pergantian tahun, memang. Ketika manusia atau etnis dari bagian lain di dunia ini menandai pergantian tahun nya dengan sumringah riah pesta, Bali justru sebaliknya. Bali memilih beristirahat total, memberi jeda sang waktu.
Kini, manakala kehidupan tanpa sekat jarak dan waktu menebarkan begitu banyak kekalutan akibat persaingan hidup yang tiada henti, manusia dari berbagai belahan bumi ini justru amat merindukan sepi, sunyi. Mereka rindu untuk berhenti sejenak, membebaskan diri dari geliat untuk terus dan terus menginjak gas dalam perjalanan dunia yang teramat panjang dan melelahkan ini. Mereka rindu untuk mengembalikan diri ke titik nol kilometer, mengumpulkan kembali energi untuk memenangkan persaiangan dalam hidup dan kehidupa ini.
Namun, sepi, sunyi bukanlah sekadar sebuah pelampiasan atas segala kepenatan. Sunyi, sepi juga adalah sebuah ruang yang merangsang lahirnya ide-ide baru, kehidupan baru yang lebih baik.
Orang-orang besar dengan hasil cipta atau temuannya yang gemilang dan bermanfaat bagi umat manusia juga memulainya dari sepi, sunyi. Albert Einstein yang kini menjadi ikon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berhasil merumuskan gagasan teori relativitas setelah menyelami keheningan dalam sebuah peristiwa keci: jatuhnya buah apel dari pokoknya. Begitu pula Thomas Alva Edison menemukan bola lampu justru di tengah keheningan dan kegelapan.
Janganlah dibilang lagi para kawi di masa lalu yang berhasil menyuratkan karya sastra mahaagung ketika bersedia bersenggama dengan sunyi, sepi, hening dan heneng. Mereka sangat menghargai dan telah pula mengajari betapa sunyi mesti diselami dengan kedalaman hati. Sunyi atau sepi tak semata dijadikan sarana untuk menuju tetapi juga tujuan itu sendiri. Mpu Panuluh atau pun Mpu Tanakung, dua pujangga besar negeri ini berabad silam dengan amat bersahaja mengguratkan sunyi dan sepi sebagai puncak tujunya. Melalui jalan kekawin, jalan sastralah puncak itu digapai.
Karena itu, tradisi nyastra para kawi senantiasa menggambarkan sebuah pencarian tiada henti kepada sepi. Karena itu pula, kekawin-kekawin tiada pernah obah melukiskan keindahan gunung, laut dan pantai dengan kekentalan nuansa sepinya. Selanjutnya di wilayah sepi, di kerajaan sunyi inilah sang kawi menolong diri sendiri, membebaskan sang diri.
Sampai di sini, Nyepi bukan lahi sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah kebutuhan hidup. Karena itu, beruntunglah Bali yang sudah mewarisi tradisi Nyepi sejak bearabad-abad silam.
Tradisi nyepi bersama di Bali memang baru dimulai tahun 1973. Akan tetapi, nun jauh di masa silam, Bali telah lebih dulu mewarisi tradisi nyepi yang biasanya bersifat lokal. Hingga kini pun tradisi nyepi yang bersifat lokal itu masih dilaksanakan di luar nyepi bersama di awal tahun Saka, tepatnya penanggal apisan Sasih Kadasa.
Di Desa Pakraman Ababi, Karangasem dikenal tradisi Nyepi Luh. Tradisi ini dilaksanakan saban Whraspati Kuningan. Ketika itu, seluruh wanita di desa tersebut menghentikan segala aktivitasnya. Nyepi Luh ini bermakna sebagai penghormatan kepada perempuan, sang ibu sebagai simbol kesuburan.
Di Desa Pakraman Buahan, Payangan, Gianyar juga ada tradisi nyepi lokal yang disebut Nyepi Kasa. Seperti namanya, nyepi ini dilaksanakan saat penanggal apisan Sasih Kasa. Pada saat itu, segala aktivitas warga juga dihentikan selama sehari penuh.
Lain lagi di Desa Pakraman Kusamba dan Jungut Batu, Klungkung. Di desa ini ada tradisi penyepian segara. Saat penyepian segara, para nelayan menghentikan aktivitasnya dan warga desa dilarang ke pantai. Nyepi Sagara di Kusamba dilaksanakan sehari setelah pelaksanaan Ngusaba Desa di Pura Segara tiap Purnama Sasih Kalima.
Begitu kayanya Bali dengan tradisi nyepi. Masing-masing tradisi nyepi itu memiliki warna dan nuansa tersendiri. Namun maknanya tidaklah jauh dari proses pencarian kesejatian sang Diri.
Sekali lagi, Bali beruntung mewarisi tradisi Nyepi. Tradisi ini tidak saja memberi kesempatan secara personal untuk menelisik diri, introspeksi diri, tetapi secara nyata, tradisi ini memberikan kontribusi yang cukup berarti untuk merawat alam. Mulai dari prosesi melasti menuju laut atau danau hingga menyepikan diri di puncak hari suci Nyepi.
Karenanya, Nyepi patutlah disyukuri lalu diselami dengan sepenuh hati. Hanya orang yang memahami kesejatian dirinya yang bisa menyadari betapa sepi, sunyi, ning, nol merupakan sebuah karunia. Ya, karunia kesunyian. (b.)
______________________________
Penyunting: I MADE RADHEYA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI