Lazim dipahami orang Bali (Hindu), Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebenaran, kebaikan) atas adharma (ketidakbenaran, kejahatan), kejayaan kebenaran atas kebatilan. Pertanda nyata dari hari kemenangan itu yakni ditancapkannya penjor (umbul-umbul yang terbuat dari bambu yang dihias dengan janur, dedaunan dan banyak hiasan lainnya) di depan masing-masing rumah. Penjor itu dimaknai sebagai panji-panji kemenangan, panji-panji kebebasan.
Karena itu, saban kali menyongsong Galungan, orang Bali gembira bukan kepalang. Orang-orang Bali yang tinggal dan bekerja di kota akan pulang dengan hati riang ketika Galungan. Sementara mereka yang tinggal di desa sudah sejak hari Sugihan (hari penyucian diri 4-5 hari menjelang Galungan) dengan rasa senang mempersiapkan aneka kebutuhan upacara di hari Galungan.
Keriangan Galungan tercermin nyata manakala hari Penampahan Galungan (sehari menjelang Galungan. Biasanya diisi dengan memotong babi dan membuat aneka masakan khas Bali seperti lawar), sehari sebelum puncak hari Galungan. Pada hari itu, orang-orang Bali masak besar, mebat membuat aneka olahan daging babi. Mulai dari sate lilit, lawar barak, jukut ares hingga komoh (kaldu). Sore harinya dilanjutkan dengan membuat penjor untuk kemudian ditancapkan di depan rumah.
Ketika puncak hari Galungan, orang Bali akan mengarus menuju pura-pura penting. Mulai dari sanggah/merajan/paibon (tempat suci) di lingkungan keluarga, pura kahyangan tiga (tempat suci di desa) hingga pura-pura kahyangan jagat (tempat untuk seluruh umat Hindu). Setelah persembahyangan usai, mulailah orang Bali melali ke berbagai tempat yang menarik. Semuanya dengan hati girang, perasaan senang.
Galungan menjadi bertambah meriah manakala di banjar-banjar mengadakan bazar. Banjar disulap menjadi layaknya kafe. Ada makanan, minuman serta ditingkahi dengan musik-musik memekakkan telinga.
Di jalan-jalan, tak sedikit anak-anak muda Bali yang duduk-duduk bersama rekan-rekannya ditemani botol-botol bir, arak dan minuman keras lainnya. Mereka berpesta merayakan hari kemenangan, hari kebebasan.
Namun, segala kemeriahan dan kesemarakan itu akhirnya melahirkan selarik tanya, kemenangan apa yang sesungguhnya dirayakan di hari Galungan? Pertanyaan ini melahirkan pertanyaan yang lain lagi, perjuangan apa yang telah dilakukan orang Bali sehingga kemudian merasa sah untuk merayakan kemenangan?Pertanyaan ini tentu saja akan dijawab dengan jawaban klasik. Kemenangan di hari Galungan adalah kemenangan dharma (kebenaran, kebaikan) atas adharma (ketidakbenaran, kejahatan). Umat Hindu merayakan kemenangan itu setelah berhasil berjuang mengalahkan Sang Kala Tiga.
Hari raya, dalam agama mana pun, merupakan sebuah momentum yang tidak saja dimaksudkan untuk mengingatkan tetapi juga untuk tetap menjaga kesadaran Sang Diri. Jika diselami secara filosofis makna ke dalam diri justru sangat kental pada hari Galungan. Betapa tidak, dalam banyak sumber-sumber susastra Hindu, yang disebut sebagai musuh utama itu adalah di dalam diri (ragadi musuh maparo), bukan di luar diri. Maka kemenangan Galungan semestinya dimaknai sebagai sebagai kemenangan mengatasi musuh-musuh di dalam diri. Jika kemudian perayaan hari Galungan diterjemahkan sebagai aneka kemeriahaan dan kemewahan tentu makna penaklukan musuh-musuh di dalam diri masih jauh panggang dari api.
Karena itu, penting artinya untuk memaknai Galungan secara lebih hakiki dan kontekstual dengan semangat zaman. Zaman ini ditandai sebagai era penghargaan terhadap kemanusiaan, era penghormatan terhadap kehidupan. Karenanya, Galungan mestilah dimaknai sebagai momentum hari kemenangan mewujudkan penghargaan terhadap kemnausiaan dan penghormatan kehidupan.
Orang Bali telanjur memahami beragama sebatas upacara. Orang Bali menganggap beragama cenderung sebagai urusan vertikal. Orang Bali belum terbiasa memaknai beragama juga merupakan laku nyata diri terhadap sesama. Karenanya, gambaran paradoks terpampang nyata di Bali. Di satu sisi kehidupan ritual keagamaan begitu semarak, tetapi di sisi lain permasalahan-permasalahan sosial kultural tetap membiak. Padahal, agama seyogyanya memberi imbas bagi perbaikan sosial kultural.
Sampai di sini menjadi penting untuk dicermati bagaimana perilaku orang Bali saat Galungan tiba. Mereka yang berpunya akan memberikan sedikit kepada mereka yang kurang punya. Lihat saja anak-anak yang begitu bahagia saban Galungan tiba karena isi kantong mereka bertambah. Ada pemberian paman, bibi, kakak, kakek, nenek dan lainnya. Hanya sayang, tradisi saling berbagi di kala Galungan itu hanya tumbuh di kalangan keluarga. Tradisi saling berbagi ini semestinya juga ditumbuhkan dengan sesama orang Hindu, sesama orang Bali.
Sederhananya, mereka yang punya mendatangi panti asuhan, panti jompo atau keluarga tidak mampu memberikan sekadarnya. Sehingga keriangan Galungan tak semata menjadi milik mereka yang punya, tetapi juga yang tidak punya. Galungan, sejatinya, momentum untuk meneguhkan kesetiakawanan sosial, saatnya saling berbagi. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Penyunting: I Ketut Jagra