Hari ini, orang Bali, khususnya yang beragama Hindu, merayakan hari penting dalam tradisi keagamaan mereka, yakni hari raya Galungan. Perayaan hari Galungan selalu dijemput dengan kemeriahan dan kegembiraan. Di depan setiap rumah dipancangkan penjor, salah satu simbol utama hari Galungan yang dimaknai sebagai lambang kesejahteraan dan wujud ungkapan rasa syukur.
Sejak kapan sejatinya perayaan Galungan-Kuningan mulai dilaksanakan di Bali? Belum ditemukan sumber-sumber yang secara gamblang menyuratkan permulaan hari Galungan. Sejumlah sumber teks tradisional yang mengungkap soal perayaan Galungan malah menunjukkan data yang saling bersilangan.
Dalam lontar Panji Malat Rasmi diceritakan Galungan sebagai perayaan yang bersifat umum pada zaman kebesaran kerajaan Jenggala (Singasari, Kediri) di Jawa Timur. Seperti ditulis dalam majalah Sarad No. 39, Juni 2003, perayaan Galungan kala itu dimeriahkan dengan pesta tari perang. Lontar Panji Malat Rasmi sendiri ditulis sekitar abad ke-11. Jika hal ini dijadikan pegangan, boleh jadi perayaan Galungan sudah ada di Indonesiasekitar abad ke-11.
Namun, berbeda lagi data yang ditunjukkan dalam lontar Purana Bali Dwipa. Sebagaimana dikutip I Gusti Ketut Widana dalam buku Lima Cara Beryadnya (Pustaka Bali Post, 2002) Galungan yang pertama kali dirayakan umat Hindu di Bali adalah Galungan Nadi yang jatuh pada Sasih Kapat (Kartika) atau sekitar bulan Oktober tanggal 15 (Purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi). Disebutkan juga bahwa pada waktu pelaksanaan Galungan pertama itu, Pulau Bali bagaikan Indra Loka yang penuh dengan kesemarakan dan kemeriahan upacara dan upakara yang mengambil tingkatan utama.
Memang, ada tiga macam hari raya Galungan. Menurut Widana, ada Galungan biasa yang dilaksanakan setiap Buda Kliwon wuku Dungulan dan menggunakan tata cara pelaksanaan yang umum berlaku. Ada juga Galungan Nadi yang jatuh pada Buda Kliwon wuku Dungulan dan pada saat itu terjadi bulan Purnama. Adalagi Galungan Nara Mangsa yang jatuh pada Buda Kliwon Wuku Dungulan di mana pada hari itu terjadi bulan mati (Tilem).
Sementara itu, Rsi Bintang Dhanu Manik Mas I.N. Djoni Gingsir dalam bukunya berjudul Mitologi Hari Raya Galungan dan Kuningan(Yayasan Diah Tantri-Lembaga Babad Bali Agung, 2005) memperkirakan hari raya Galungan dan Kuningan di Bali lahir pada tahun 888 Saka (966 Masehi). Waktu tersebut ditandai dengan berakhirnya Dinasti Kalingga di Bali.
Yang menarik dicermati yakni lontar Jayakasunu. Seperti dikutip dalam buku Galungan karangan Sirikanden (Percetakan dan Toko Buku Ria) disebutkan saat Sri Jaya Kasunu akan memerintah, Pulau Bali diserang penyakit yang hebat. Begitu juga raja-raja yang memerintah sebelumnya semua berumur sangat pendek. Sri Jaya Kasunu berusaha mencari sebab-sebab dari kejadian ini.
Sang raja kemudian melaksanakan yoga-semadi di Setra Gandamayu. Dari sinilah kemudian dia menerima pawisik dari Batari Durga bahwa raja dan masyarakat Balisebelumnya telah lupa merayakan hari Galungan dan Kuningan. Karenanya, jika ingin raja yang memerintah berumur panjang dan rakyat hidup tenteram, hari raya Galungan dan Kuningan mesti diperingati lagi. (b.)
Penulis: I Ketut Jagra