Oleh I Wayan Artika
Safari literasi Gerakan Literasi Akar Rumput di Kabupaten Jembrana, akhir April lalu, memberi kesempatan saya bertemu dengan komunitas guru penggerak Kabupaten Jembrana, yang diketuai oleh I Wayan Ardika, S.Pd., seorang guru di SDN 3 Baluk, Jembrana. Guru penggerak adalah kelompok guru yang diciptakan oleh pemerintah di tengah pendidikan yang putus asa.
Sejak masih berupa wacana, pada awal kemunculannya dan sampai saat ini, konsep guru penggerak belum banyak dimengerti. Namun demikian, di tengah dunia guru, kahadirannya didongkrak oleh wibawa jejaring berbasis online-digital dan ter-platform dengan sangat kuat.
Ideologi guru penggerak ada di seputaran disrupsi dunia dan peradaban guru yang karut-marut. Pemerintah seolah putus asa dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan karena amat disadari hanya mutu guru yang hebatlah yang memberi jaminan nyata kualitas prima pendidikan nasional.
Berkali-kali pemerintah kecele dalam soal mutu guru dan cara-cara untuk mencapainya. Yang paling memberi harapan awalnya adalah peningkatan gaji atau tunjangan. Lahirlah gagasan sertifikasi guru dan dosen yang telah dikukuhkan dengan undang-undang.
Dimensinya masih tidak cukup jelas karena ide awalnya hanyalah negara seperti tengah membayar utang budi para guru yang selama ini miskin dan dijadikan pahlawan tanpa tanda jasa. Lewat sertifikasi guru, pemerintah sedang merevisi lagu Umar Bakri (Iwan Fals) yang dengan jelas memotret hidup miskin seorang guru. Inilah stigma guru Indonesia saat itu: miskin dan pengabdian yang terpaksa!
Asumsi sertifikasi dengan menambah gaji sudah sangat jelas walaupun sangat sederhana tetapi terasa realistis: guru akan kerja dengan baik dan fokus jika penghasilannya tinggi. Hal ini ditopang oleh kenyataan hidup guru yang nyambi jadi tukang ojek atau jualan. Miris. Maka, pemerintah mengambil langkah berani dalam sejarah pendidikan yang panjang. Pasalnya, memberi predikat berupa pahlawan tanpa tanda jasa dalam himne yang seindah apa pun, sudah bukan zamannya lagi. Yang guru perlukan adalah uang dan bukan syair lagu.
Pemerintah kecewa dan nyaris saja mencabut undang-undang guru dan dosen yang mengatur tunjangan guru karena harapan tidak terwujud. Tambahan gaji ternyata tidak serta merta mengubah mental dan kinerja guru. Lantas pemerintah mencoba menemukan akar masalahnya, yakni bukan pada guru tetapi justru sistem seleksi pemberian tunjangan yang dievaluasi dan disempurnakan. Ini ternyata butuh waktu sangat lama, dari era portofolio hingga pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG), dan sampai saat ini pendidikan profesi guru (PPG).
Belum juga ditemukan satu formula dalam peningkatan mutu guru sesuai dengan harapan pemerintah. Pun kualitas guru Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Menteri Nadiem Makarim pun mencetuskan ide dan gerakan guru penggerak.
Guru penggerak berbasis pada kompetensi dan komitmen untuk menjaring guru-guru muda yang baru berkarier di sekolah-sekolah di seluruh tanah air yang belum terkontaminasi polusi birokrasi pendidikan. Guru penggerak lebih sebagai usaha untuk memurnikan dan memutus regenerasi mental yang buruk dari generasi guru yang sudah ada hampir satu abad di Indonesia.
Kondisi dunia yang kini sangat memudahkan dalam berkomunikasi dan bekerja sama dalam jaringan di era disrupsi benar-benar dijadikan pilihan untuk membangun komunitas guru penggerak. Hal ini menjadi sistem tandingan bagi sistem yang telah mapan dan stagnan.

Diskusi dalam kegiatan safari literasi akar rumput bersama Komunitas Guru Penggerak Kabupaten Jembrana, akhir April 2023.
Guru penggarak dan kuasa birokrasi sekolah
Dengan jejaring kerja guru penggerak yang basisnya pada dunia online dan digital, dalam waktu yang sangat singkat, dunia pendidikan di Indonesia sudah mulai menerima warna baru. Guru penggerak telah menjadi tidak hanya wacana tetapi realitas tandingan terhadap yang sudah ada selama ini dalam kurun sejarah yang panjang.
Biasanya, birokrasi sekolah konvensional dengan raja kecil bernama kepala sekolah, sarat dengan feodalisme dan kerap memainkan kuasanya yang kecil atas guru-guru di sekolah yang dipimpinnya. Sang raja kecil itu terkadang berlaku tidak adil dan menekan, lebih-lebih terhadap guru yang baru dan minim pengalaman. Namun, lewat guru penggerak, kuasa kepala sekolah sedikit tidaknya terlucuti.
Guru-guru penggerak yang masih sangat muda dan cerdas itu melenggang dalam jejaring mereka dan kepala sekolah sering tidak tahu apa yang sedang terjadi. Guru penggerak dengan demikian adalah usaha untuk menandingi birokrasi yang salah kuasa di sekolah-sekolah. Semua proses yang dikembangkan dalam sistem penjaringan guru penggerak diakui sangat ketat dan ini sudah merupakan satu saringan tersendiri bagi guru. Hanya yang hebat yang bisa lolos. Idenya mirip dengan program Indonesia Mengajar yang prestisius itu.
Proses belajar atau praktik baik terus dikembangkan dalam suatu periode sebelum yang bersangkutan menyandang guru penggerak. Dimensi kompetensinya jangan ditanya lagi. Yang jauh lebih penting adalah guru penggerak memiliki paradigma baru. Mereka terpanggil sebagai tenaga kerja professional di dunia pendidikan. Mereka bukan lagi barisan guru yang terpaksa sebagai pilihan kerja yang paling tidak menguntungkan.
Guru penggerak kemudian menjelma komunitas baru dunia pendidikan. Mereka penuh dedikasi dan bekerja di berbagai kondisi sekolah tanah air. Mereka mandiri dan berjuang menghadapi aneka tantangan. Pendidikan selama proses menjadi guru penggerak adalah metode-metode kerja yang sangat praktis dan empiris.
Guru penggerak dituntut untuk mengatasi sendiri segala persoalannya dan tidak boleh menyerah. Mereka wajib kerja keras. Mereka diberi tanggung jawab besar dan tanpa ada bayang-bayang kuasa kepala sekolah. Sisa-sisa kepala sekolah yang kuno, jadi serba salah tingkah di hadapan guru penggerak. Analoginya adalah mirip dengan ojek pangkalan dan ojol.
Demikianlah pandangan-pandangan yang terungkap dalam safari literasi di komunitas guru penggerak Kabupaten Jembrana. Jadi, dalam perjumpaan yang tidak lama itu, memang, dalam suatu pembicaraan mengenai gerakan literasi, telah terungkap suatu potret mengagumkan dari insan guru hebat komunitas guru penggerak Kabupaten Jembrana. Mereka betul-betul menghadirkan “iklim” yang berbeda. Hal ini tampak dari pandangan-pandangan mereka terhadap pendidikan, termasuk di dalamnya mengenai literasi.
Literasi sebagai kebutuhan hidup dan profesi
Dari perjalanan safari literasi sebelumnya, yang lebih banyak disampaikan yakni konsep dan cerita pengalaman sebuah gerakan, maka di komunitas guru penggerak ini, literasi adalah perdebatan kritis yang sangat menyemarakkan jiwa. Walaupun banyak di antara mereka akhirnya melihat literasi untuk dirinya sendiri. Dan, ini reflektif. Bagaimana seorang guru penggerak bisa menulis? Ini adalah sebuah topik yang diperdebatkan. Di sini literasi telah menjadi kebutuhan bagi guru-guru penggerak.
Walaupun gerakan literasi sekolah (GLS) menjadi gerakan nasional dan dilaksanakan secara masif, namun masih sangat jauh bagi gerakan ini mampu menjadikan literasi sebagai kebutuhan di sekolah. Inilah yang berbeda dengan komunitas guru penggerak yang memandang literasi itu, pertama kali justru pada dirinya.
Paradigma setiap kebijakan pendidikan yang diterima guru selama ini, termasuk dalam soal literasi adalah guru itu hanya sebagai mandor gerakan. Seorang guru boleh tidak memahami esensi suatu program tetapi guru hanya sebagai pengawas yang buta. Ini sudah cukup dan inilah juga yang menimpa guru-guru dalam GLS.
GLS pun hanya untuk siswa dan guru-guru amat gagal sebagai mandor gerakan literasi. Kegagalan ini terjadi sudah pasti karena para mandor itu tidak tahu apa-apa. Paradigma ini sungguh terbalik di dalam kominats guru penggerak Kabupaten Jembrana. Mereka membutuhkan literasi untuk dirinya sendiri. Pikiran yang mendasari tentu sangat masuk akal. Seorang guru tidak cukup berteori saja tetapi harus mengalami.
Inspirasi penting yang terungkap dalam perjalanan safari literasi di komunitas guru penggerak Kabupaten Jembrana adalah hal yang baru dalam gerakan ini: literasi sebagai kebutuhan guru. Konsekunesi sangat postif sehingga GLS bagi guru-guru penggerak adalah membangun literasi sebagai kebutuhan atas diri mereka sendiri. Lantas literasi dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Mungkin dengan berlatih dan mengasah keterampilan mengelola pengetahuan yang bersentuhan dengan bidang membaca dan menulis.
Rupanya literasi sebagai kebutuhan di kalangan guru adalah kondisi yang masih belum pernah dipikirkan dalam GLS. Jujur saja, GLS selalu menyasar siswa. Guru sepertinya tidak dilibatkan secara serius. Bukan karena demikian kebijakan yang ada, tetapi guru berpikir literasi hanya untuk siswa dan bukan untuk diri mereka. Bahkan lebih sempit lagi, di sekolah berkembang pandangan bahwa literasi hanya identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan otomatis tanggung jawab ini ada di pundak guru bersangkutan.
Karena itu, perjumpaan dengan guru-guru penggerak di Kabupaten Jembrana itu menghasilkan beberapa catatan menarik arah pengembangan literasi: (1) menjadikan literasi sebagai kebutuhan guru dan (2) literasi tidak hanya identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia tetapi literasi berhubungan erat dengan seluruh mata pelajaran kurikulum sekolah.
Literasi sebagai sebuah kebutuhan hidup dan profesi, memberi sejumlah manfaat ideologis, prestise, dan teknis pengetahuan. Hal ini sejalan dengan manfaat literasi dalam konsep new literacies. Dimensi literasi sebagai praksis sosial bukan lagi soal membaca dan menulis dalam kerangka pengetahuan dan kecakapan hidup tetapi literasi untuk membangun prestise sosial.
Literasi berkaitan dengan kebutuhan pengetahuan seseorang dan pengetahuan ini akan membentuk karakter. Perlu jua kiranya ditegaskan, persoalan konstelasi antara literasi, pengetahuan, dan karakter atau dalam konteks Indonesia dikenal dengan istilah budi pakerti.
Inilah yang mendasari lahirnya gagasan literasi yang secara teknis amat praktis dan sederhana, yakni membaca 15 menit. Lewat membaca, pengetahuan diperoleh. Pengetahuan yang memadai dan terkelola dalam pengembangan yang berkelanjutan sebagai implementasi belajar sepanjang hayat, akan memebtuk karakters seorang. Jadi, peran pengetahuan manusia sangat penting dalam pembentukan karakter. Karena itu, harus waspada, karakter tidak dibentuk lewat setumpuk nasihat atau aturan displin. Karakter disemai dari pengetahuan.
Literasi dan ekonomi orang tua siswa
Tidak hanya sampai di ruang pertemuan, malam yang relatif sepi di Pantai Yeh Sumbul, diskusi berlanjut dengan tiga orang guru penggerak, yakni I Wayan Ardika, S.Pd. (guru SDN 3 Baluk), I Gede Anom Apriliawan, S.Pd., M.Pd. (Kepala SDN 2 Medewi) dan Gede Ariasa, S.Pd. (Kepala SDN 3 Pulukan). Walaupun tidak semua anggota komunitas bisa hadir malam itu karena waktu dan kesibukan di rumah masing-masing, obrolan dengan tiga orang guru penggerak ini sudah cukup memadai dan merepresentasikan sebuah pemikiran baru bagi dunia pendidikan.
Makan malam sambil ngobrolin pendidikan mungkin sangat nikmat di sebuah kafe yang malam itu (18/4/2023) ramai oleh para turis yang datang ke Pantai Yeh Sumbul untuk belajar surfing. Tapi, ketika diskusi sampai kepada persoalan ekonomi orang tua siswa, maka sejenak harus berhenti menyantap hidangan di meja yang diterangi lampu temaram.
Visi guru penggerak dan konsep-konsep kepemimpinan dalam pengelolaan pendidikan manusia di satuan pendidikan terkait, sepertinya tengah berhadapan dengan tantangan besar, namun sama sekali tidak akan bisa menjadi ganjalan. Maka, dua kepala sekolah muda dan seorang guru yang masih harus berjuang menjadi kepala sekolah dalam waktu dekat akan disibukkan dan berkutat hebat dengan realitas pendidikan yang sejatinya.
Salah satu realitas yang mereka hadapi adalah orang tua siswa adalah para pangawen. Mereka membuka kebun di pedalaman hutan negara Pulukan atau Pekutatan. Tujuan orang tua adalah uang dan menyabung hidup di tengah tuntutan kebutuhan. Dari beli beras hingga manyamabraya, maka pilihan terpenting adalah ngawen ke pedalaman hutan.
Di sinilah waktu mereka habis dan praktis anak-anak mereka ada di dalam asuhan sekolah. Tapi, itu pun tidak lama, hanya seperempat waktu anak saja. Selebihnya, sepulang sekolah, praktis mereka tanpa pengasuhan. Senja atau hampir malam para orang tua pun baru kembali. Setelah makan malam mereka tidur karena capek dan mengumpulkan tenaga untuk kerja esok dan demikian selanjutnya. Sementara orang tua lelap anak-anak mereka sedang online.
Di dalam kondisi itu, dan dari kisah-kisah yang diceritakan oleh tiga kawan guru penggerak malam itu, terungkap persoalan besar pendidikan adalah ekonomi keluarga. Mungkin tidak berlebihan menyatakan bahwa selain literasi, masih ada soal pendidikan yang lebih hebat: perjuangan orang tua untuk hidup yang berdampak pada penomorduaan pengasuhan anak di luar jam sekolah.
Tampak sangat nyata apa yang menjadi rintangan guru penggerak. Bukan lagi soal jaringan dan digitalisme. Tantangan anak didik mereka adalah bersumber pada ekonomi keluraga. Walaupun demikian, para guru penggerak yang mandiri dan memiliki visi kuat pada pendidikan itu tetap merangsek menghadapi segala rintangan.
- Penulis merupakan dosen di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, pendiri Komunitas Desa Belajar Bali di Desa Batungsel, Tabanan, serta penggerak gerakan literasi akar rumpput.
- Foto: istimewa
- Penyunting: I Made Sujaya