Pasraman Citta Dharma Santi (CDS) berkolaborasi dengan LPD Desa Adat Kedonganan menggelar pangruwatan sapuh leger bertepatan dengan rahina Tumpek Wayang, Sabtu, 29 April 2023. Upacara yang dipusatkan di jaba Pura dalem Desa Adat Kedonganan itu diikuti 657 peserta dan di-puput Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda dari Griya Kutuh, Kuta.
Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, upacara pangruwatan sapuh leger merupakan tradisi yang dilandasi keyakinan tentang penyucian manusia untuk menetralisasi pengaruh buruk dari kelahiran pada wuku Wayang. Masyarakat Hindu di Bali meyakini wuku Wayang membawa pengaruh buruk bagi manusia sehingga mesti diharmoniskan atau diseimbangkan.
“Kata Sapuh Leger berasal dari kata sepuh dan leger yang artinya pembersihan dari kekotoran. Upacara pembersihan itu dilakukan dengan pertunjukkan wayang secara keseluruhan dengan lakon Sapuh Leger. Lalu nunas tirtha panglukatan wayang. Wayang Sapuh Leger adalah drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor secara rohani,” jelas Ida Pandita.
Menurut Ida Pandita, selain orang-orang yang lahir pada wuku Wayang, dalam sastra Sapuh Leger disebutkan seseorang yang mesti melaksanakan pangruwatan sapuh leger, yakni mereka yang disebut sebagai janma sukerta atau janma melik. Di antaranya anak yang tiba sampir (anak yang lahir berkalung tali pusar), tiba angker (anak yang terlahir terbelit tali pusar atau sakit tidak menangis), anak jempina (anak terlahir prematur), anak margana (anak yang lahir di tengah perjalanan), anak wahana (anak yang lahir di tengah keramaian), anak julung sungsang (anak yang lahir tepat tengah hari), julung sarab, julung macan, julung caplok (anak yang lahir pada saat mata hari tenggelam), anak kembar (anak yang lahir bersamaan sehari, laki-laki semua atau perempuan semua), anak buncing/dampit (anak yang lanır bersamaan laki perempuan), pancoran apit telaga (tiga saudara: perempuan-laki-perempuan), telaga apit pancoran (tiga bersaudara: laki-perempuan-laki), sanan empeg (anak yang lahir diapit oleh saudara yang mati), pipilan (lima bersaudara,empat perempuan satu laki-laki), dan padangon (lima bersaudara empat laki-laki satu perempuan).
Umat yang mampu mungkin melaksanakan pangruwatan sapuh leger ini secara mandiri. Namun, belakangan banyak yang memilih melaksanakan secara bersama-sama atau massal. Selain menghemat biaya, pelaksanaan upacara secara massal juga berfungsi meneguhkan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.
Di Desa Adat Kedonganan, menurut Ketua Panitia Karya, I Ketut Madra, sudah terbiasa melaksanakan upacara secara bersama-sama dan ngamasa (secara periodik). Misalnya, upacara ngaben dan nyekah ngamasa tiap tiga tahun. Upacara ngamasa itu tanpa dipungut biaya karena merupakan labdha atau nilai manfaat dari produk tabungan Simpanan Upacara Adat (Sipadat) di LPD Desa Adat Kedonganan. Artinya, krama adat yang menjadi nasabah LPD Kedonganan menerima manfaat untuk ikut upacara ngemasa itu.
Selain upacara ngaben dan nyekah, Desa Adat Kedonganan juga melaksanakan upacara pangruwatan sapuh leger. Upacara ini diinisiasi Pasraman CDS dan didukung penuh Desa Adat Kedonganan melalui LPD Desa Adat Kedonganan.
“Upacara sapuh leger ini juga menjadi bagian dari labdha Sipadat Plus LPD Kedonganan,” kata Madra yang juga Ketua LPD Desa Adat Kedonganan yang memasuki masa purnabakti.
Madra menjelaskan upacara pangruwatan sapuh leger oleh Pasraman CDS kali ini merupakan yang kedua kali. Sebelumnya, pada tahun 2017, kegiatan juga sudah pernah digelar. Upacara itu juga digelar secara kolaboratif antara Pasraman CDS dan LPD Kedonganan.
Desa Adat Kedonganan mengapresiasi kegiatan pangruwatan sapuh leger yang digelar Pasraman CDS dan didukung LPD Desa Adat Kedonganan itu. Panyarikan Desa Adat Kedonganan, I Kadek Suparta Warga berharap kegiatan seperti ini dilanjutkan karena sangat membantu warga dalam menunaikan kewajiban yadnya-nya. (b/pwr)