“Mengetahui putra mahkota dan permaisuri telah gugur, Ida Dewa Agung Jambe maju dengan keris terhunus diikuti laskar pemating, keluarga puri berteriak: matelasan! Matelasan sebagai yadnya. Ida Dewa Agung Putra, raja Klungkung, gugur di atas tanah yang dicintai.”
Ini petikan teks Puputan Klungkung yang dibacakan saat apel peringatan Puputan Klungkung di SMA Pariwisata PGRI Dawan Klungkung atau SMA Paris, di halaman sekolah setempat, Jumat (28/4) pagi. Para siswa peserta apel dengan khidmat menyimak nukilan kisah Puputan Klungkung yang dibacakan guru sekolah itu, Kadek Ayu Kumala Dewi. Suasana haru tak terhindarkan. Bahkan, tak sedikit siswa turut terisak mendengar pembacaan detik-detik runtuhnya Klungkung itu. Hujan tangis pun pecah.
“Saya tak menyangka anak-anak apel dengan tertib dan khidmat, bahkan mereka menangis mendengar nukilan detik-detik peristiwa Puputan Klungkung,” kata Kepala SMA Paris, IBG Parwita.
Menurut Parwita, para siswanya ternyata banyak yang tak tahu secara persis peristiwa Puputan Klungkung. Meski kerap mengikuti peringatannya saban tahun, tak semua tahu di kota kelahiran mereka terjadi perang habis-habisan raja bersama rakyat Klungkung melawan penjajahan Belanda.
“Bahkan, bukan hanya siswa, ada juga guru atau orang-orang yang sudah berumur tak secara persis tahu bagaimana peristiwa Puputan Klungkung terjadi. Ini artinya, apel dengan pembacaan teks Puputan Klungkung punya makna penting,” kata Parwita yang dikenal sebagai penyair Klungkung.
Pembacaan teks Puputan Klungkung juga kembali dilakukan saat apresiasi dan diskusi sastra yang digelar di tempat yang sama siang hingga sore hari yang sama. Kali ini teks itu dibacakan siswa. Di ujung pembacaan, siswa itu berurai air mata. Teman-temannya yang ikut hadir juga turut menangis.
Menurut Parwita, apel Puputan Klungkung baru pertama kali digelar di SMA Paris. Kegiatan ini murni atas inisiatif manajemen dan guru-guru SMA Paris. Tak ada surat edaran atau imbauan untuk mengadakan apel peringatan Puputan Klungkung di sekolah. Namun, pihaknya berinisiatif menggelar apel Puputan Klungkung agar siswa mengenal dan memahami peristiwa sejarah penting di daerahnya sendiri.
“Agar siswa mengenal peristiwa heroik 115 tahun lalu itu, dibacakanlah teks Puputan Klungkung,” kata Parwita.
Ketua Komite SMA Paris, I Wayan Suartha mengusulkan agar apel Puputan Klungkung dijadikan agenda rutin tahunan saban perinbgatan Puputan Klungkung. Pembacaan teks Puputan Klungkung, menurut Suartha, wajib dilakukan agar siswa dan seluruh warga sekolah memahami dan bisa memaknai peristiwa tersebut.
“Beginilah cara kita di SMA Paris memperingati dan memaknai Puputan Klungkung,” kata Suartha yang juga penyair Klungkung.
Masih dalam rangkaian peringatan 115 tahun Puputan Klungkung, SMA Paris juga menggelar apresiasi sastra bertajuk “Klungkung Rumah Keindahan”. Apresiasi yang juga dimaksudkan untuk mengenang sastrawan Umbu Landu Paranggi dan I Ketut Rida itu dihadiri para sastrawan dan pecinta sastra dari Klungkung dan luar Klungkung, seperti Gede Aryantha Soethama, GM Sukawidana, IB Pawanasuta, Ngakan Kasub Sidan, Ketut Aryawan Kenceng, Dewa Gede Anom, I Gede Sarjana Putra, April Artison, I Nyoman Wilasa, Nyoman Mudarta, AA Yuliantara, dan Komunitas Sastra Lentera. Manajemen sekolah, guru-guru dan siswa SMA Paris juga turut mengikuti apresiasi selama 2,5 jam yang dipandu dosen sastra dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, I Made Sujaya. (*)