Menu

Mode Gelap
Saraswati, E-book, dan Hoaks Raih Rancage, Ini Tiga Keunggulan Buku Renganis Karya Komang Sujana Memuliakan Bahasa, Mengharmonikan Semesta Raya Babak Pertama yang Membosankan, Babak Kedua yang Menegangkan Siap-siap Tangkil, Usabha Pitra di Pura Dalem Puri Besakih Dimulai Hari Ini

Bale Bengong · 12 Des 2022 18:39 WITA ·

Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai


					Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai Perbesar

Oleh I Wayan Artika

Tahun ini ada kurang lebih delapan undangan kepada saya untuk menjadi juri lomba esai. Sebagai penulis, tentu saya bergembira karena esai menjadi salah satu genre yang saya tekuni. Permintaan sebagai juri sepanjang tahun selalu ada. Puncaknya sekitar Oktober. Bulan ini dikaitkan dengan aktivitas kebahasaan, termasuk tulis-menulis. Keadaan ini menandakan, selalu terpelihara gairah menulis esai. Walaupun secara hakikat genre, bukan esai yang dilombakan. Hal inilah yang memicu lahirnya esai pendek ini.

Lomba esai juga diadakan dalam rangka ulang tahun. Terkadang menjadi bagian dari festival. Di dalamnya lomba esai “nyelip”. Terkesan ekslusif karena hanya mengundang orang khusus. Hal ini menunjukkan bahwa esai tidak semata-mata keterampilan berbahasa tulis dan bernalar analitis kritis tetapi juga diagnose sosial untuk menempatkan seseorang pada suatu posisi dalam hierarki di tengah masyarakat.

Lomba esai yang kerap diselenggarakan oleh mahasiswa diliputi kekeliruan dalam hal genre. Naskah yang dianggap esai adalah artikel jurnal dan sudah pasti dengan embel-embel “ilmiah”. Panitia dan peserta sama-sama “buta”. Mereka tidak paham genre teks. Pihak yang ikut-ikutan bingung adalah juri. Panitia memilih dosen sebagai juri. Jadi, bukan esais yang sudah berpengalaman lama menulis esai dimuat di media cetak/daring.

Sebagai juri, saya juga sering berhadapan dengan masalah ini. Di tengah kondisi ini, saya terpaksa membaca artikel jurnal ilmiah itu dengan yang dibayangkan sebagai esai. Sebenarnya tidak nyaman. Tapi, demi tidak membuat panitia kecewa, saya tutup mata saja. Saya tidak membacanya karena dari formatnya sudah salah. Agar panitia baik-baik saja dan demi tidak terima honor buta, saya berusaha menemukan cupilan-cupilan yang berpotensi esai (pada gaya penulisnya yang luput dari kisi-kisi bahasa ilmiah) di dalam naskah jurnal.

Sementara itu, bagi juri lain (juri yang penulis esai berpengalaman sangat jarang) tidak perlu gundah atau bergeming; apakah yang dihadapi esai (genre yang nyaris tidak pernah dibacanya) atau artikel jurnal, dengan aturan struktur ketat baku: rumusan judul, penulis dan afiliasinya, abstrak, kata kunci, latar belakang, masalah, tujuan, metodologi, hasil dan pembahasan, serta penutup, dan tentu saja harus ada daftar pustaka mutakhir.

Kekeliruan panitia lomba esai dari kalangan kampus terjadi karena kuatnya hegemoni teks ilmiah. Mahasiswa dan dosen sampai muntah menyantap teks ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, artikel, makalah, proposal penelitian, dll.). Puisi, cerpen, kritik, apalagi esai, semisal Catatan Pinggir majalah Tempo, jangan harap!

Lantas, mengapa ada ide lomba esai? Mungkin kata ini kedengarannya indah ketika diucapkan. Padahal panitia sama sekali tidak tahu apa itu esai. Jika juri memberi penjelasan pun mereka gagal paham. Ada panitia yang sejak semula mengajukan bantuan untuk menjadi juri, minta masukan terhadap pedoman lomba yang telah disusun. Menjengkelkan! Mentah-mentah masukan yang benar seputar esai ditolaknya. Ya,  semata karena tidak paham saja. Berdebat juga tidak menyelesaikan masalah.

Namun demikian adanya, mari berhenti membicarakan salah kaprah genre esai. Karangan yang masuk ke panitia, dalam setiap lomba esai, mencerminkan hubungan-hubungan penulisnya dengan tema atau topik. Hal ini menunjukkan wawasan seseorang.

Para penulis “esai” dalam lomba membicarakan tema dari berbagai aspek, datar, luas, umum, dan normatif. Tulisan dipenuhi oleh topik-topik horisontal dalam radius suatu wacana yang sedang in. Pun pengulangan atau epigonistik wajar karena ada rasa nikmat ketika bisa ngomong topik-topik hangat.

Sulit bagi para penulis “mengunyah” atau memeram pokok-pokok persoalan yang umum tersebut. Hasil kunyahan ini lalu dinarasikan lewat bahasa dan gaya personal. Keterbatasan atau karena jarang menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skill (HOTS), topik-topik tersebut hadir dalam “tulisan” tanpa fokus yang kuat dan pastinya ditopang nalar umum.

Menulis esai ibarat pengembala bebek. Seorang penggembala bebek “membawa” dua ribu bebek dalam keadaan lepas, berjalan di jalan raya, menuju sawah, lokasi penggembalaannya. Penggembala harus sukses menggiring seluruhnya sampai tiba di sumber makanan. Pokoknya selamat hinga tujuan. Penggembala harus mampu mempertahankan fokus lurus semua bebek!

Para peserta lomba esai gagal melakukan fokus sebagaimana penggembala bebek. “Bebeknya” lari ke sana ke mari! Cerai berai! Bahkan ada yang digilas mobil! Esai adalah fokus dan pendalaman, yang bermanfaat hebat untuk menjerat pembaca sehingga rampung melahap sebuah esai. Memilih fokus dari bentangan topik umum yang diketahui bersama dalam batas-batas sosial pada galibnya menjadi inti kegiatan menulis esai.

Cara menghindari normatifisme dalam esai adalah dengan cara mempertanyakan kembali suatu subjek atau wacana yang sedang berkembang. Karena itu, menghindari yang lumrah/umum/galib adalah langkah awal lahirnya sebuah esai. Di sini dibutuhkan tidak hanya berpikir kritis tetapi juga subjektivitas dan individualitas.

Subjektivitas adalah sikap memilih pendapat sendiri. Berani beda! Hal ini menjadi muatan esai dan diekspresikan dengan bahasa yang subjektif atau personal penulis. Esai menolak kenormatifan berbahasa. Bahasa esai adalah gaya milik si penulis. Sekali nulis esai untuk lomba sangat tidak cukup untuk membentuk gaya personal. Hal ini baru dicapai dari pelatihan yang panjang.

Demikian pun soal struktur narasi atau susunan pikiran penulis. Tidak ada aturan sama sekali seperti struktur teks ilmiah. Esai tidak memiliki struktur baku. Penulis-penulis esai memulai esainya sesuka hati. Mereka tidak harus berpola deduktif atau taat pada kronologi.

Menulis esai bukan dari apa yang diketahui atas data yang melimpah. Esai ditulis melampaui hal itu. Esai dimulai dari berpikir kritis atas data dan fakta. Data dalam esai bukan barang yang diagungkan. Data dijadikan objek berpikir, yang dianalisis, dipertanyakan, diulas kembali, diinterpretasi, dibandingkan, diukur lagi, dihadapkan pada suatu kondisi sejarah, atau dikupas lapis-lapisnya.

Proses berpikir atas data dan hasilnya ditulis secara personal. Tulisan inilah esai. Tabel atau statistik dalam esai telah dikubur dan jika digali sosoknya masih dapat dikenali.  Demikian pula teori atau filsafat! Tidak tersurat dalam esai tetapi dapat dirasakan secara halus dan tajam. Terasa jejaknya. Aroma-aromanya tercium semerbak wangi.

  • Penulis, dosen di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja serta pegiat literasi di desanya di Batungsel, Kecamatan Pupuan, Tabanan. Di kampungnya itu, dia mendirikan Komunitas Desa Belajar Bali yang bergerak dalam bidang literasi akar rumput. 
Artikel ini telah dibaca 151 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Saraswati, E-book, dan Hoaks

8 Februari 2025 - 08:09 WITA

Siwaratri, Momentum Pendidikan Spiritual dan Lingkungan di Sekolah

27 Januari 2025 - 07:32 WITA

Meningkatkan Martabat Pendidikan Pertanian di Tengah Dominasi Pariwisata

9 Desember 2024 - 08:33 WITA

Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang

6 November 2024 - 19:56 WITA

Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha

27 Juli 2024 - 23:39 WITA

Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang

7 Juli 2024 - 22:51 WITA

Trending di Bale Bengong