Menu

Mode Gelap
Keragaman Fantasi dalam Festofantasy HUT ke-39 SMA Paris Edukasi Kesejahteraan Hewan, Ajak Anak-anak Kenali Zoonosis Kirab Nasionalisme Hari Kemerdekaan ala Desa Adat Kedonganan Baca Puisi Tak Sekadar Intonasi, Tapi Interpretasi: Dari LBP FULP se-Bali 2023 “Duwe” Desa Adat, Krama dan Prajuru Adat Wajib Bentengi LPD

Bale Bengong · 25 Nov 2022 16:30 WITA ·

Sekeping Kisah Guru dari Kaki Gunung Batukaru


					Sekeping Kisah Guru dari Kaki Gunung Batukaru Perbesar

Oleh I Wayan Artika

Desa Batungsel di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, telah memiliki Sekolah Rakyat pada tahun 1941. Kelak menjadi SDN 1 Batungsel. Warga  ngayah membangun sekolah dan rumah untuk guru. Tanah juga disediakan oleh satu keluarga yang memiliki lahan luas di dekat jalan raya. Guru-guru didatangkan dari luar desa. Sejak itu desa ini menjadi kiblat pendidikan menjelang berakhirnya perang dunia dan memasuki era merdeka.

Pendidikan penting dan jalan menuju kemajuan di masa depan. Begini kira-kira pandangan masyarakat. Jika ditanyakan, hal apa yang membuat kemajuan di desa? Jawabannya adalah SR atau pendidikan dasar. Karena itulah, para petani kopi bekerja keras agar anak-anak mereka bisa sekolah. Sekolah diyakini mampu mengubah kehidupan petani tradisional yang penghasilannya tidak menentu; menjadi kehidupan pegawai dengan gaji bulanan.  

Guru-guru yang bertugas di Batungsel semasa Jepang hingga Revolusi tidak hanya dihormati oleh warga setempat tetapi juga mampu berperan dalam pembaruan sosial di sebuah desa pertanian padi dan kopi kaki Gunung Batukaru. Di desa ini, pendidikan menjadi satu tonggak perubahan sosial yang sangat penting.  

Guru-guru mampu membawa angin perubahan lewat aktivitas belajar. Jadi, benar kata-kata Paulo Freire bahwa pendidikan itu politis. Sekolah sederhana berlantai tanah yang dibangun di Banjar Batungsel Kelod ini adalah ikon baru menuju kemajuan warga desa di masa depan. Pendidikan ini membawa satu persepsi perubahan sosial di tengah arus sejarah dari era Perang Dunia II ke era kemerdekaan dan revolusi Indonesia dan bertahan dari beberapa kali agresi militer Belanda. 

Guru-guru yang didatangkan oleh pemerintah dari desa-desa di Tabanan atau di Kecamatan Penebel adalah agen perubahan sosial yang nyata. Mereka anak-anak muda yang belum genap 20 tahun. Insan-insan terdidik yang diberi tempat oleh masyarakat. Mereka disambut dengan kepercayaan penuh dan dengan itu layak menerima penghormatan sosial. Dari tangan merekalah anak-anak Batungsel dan anak-anak desa di sekitarnya, seperti Sanda, Pempatan, Padangan, Galiukir, dan lain-lain mengenal cara menulis dan titik awal penting kemajuan dan modernisasoi telah ditorehkan: meretas buta aksara. 

Dunia aksara atau literasi dalam sejarah desa Batungsel dimulai di SR atau SDN 1 Batungsel. Di sinilah anak-anak desa mengenal huruf Latin yang merupakan jalan masuk ke dunia baru: dunia pengetahuan tertulis. Lantas warga desa mulai mengenal cara hidup baru, yakni membaca dan menulis serta kertas yang masih langka dan mahal. Guru-guru itu berhasil mengantarkan warga desa Batungsel hingga menjadi guru di jenjang yang lebih tinggai, insinyur, dan dokter, serta mantri.

Di sinilah anak-anak desa bersekolah. Jumlah anak angkatan sekolah yang banyak, juga terjadi di desa ini. Setelah Gempa Seririt 1976, dibangun dua SD baru dalam program SD Inpres (Instruksi Presiden). 

Saya memang akhirnya meraih gelar doktor (Dr.), bekerja sebagai dosen, menjadi penulis, dan menyelenggarakan gerakan literasi, instruktur literasi nasional; tamat di SDN 1 Batungsel. Saya masih ingat dengan baik guru-guru saya di SD ini. Rasanya baru kemarin sore kenangan itu terjadi. Saya hari ini adalah cerita sukses para guru yang pernah mengajar saya dengan ruang kelas bertirai sayong. 

Namun saya mengawali kisah ini dengan pengalaman-pengalaman yang menggelikan dan lucu. Saya anak petani yang berbaju kotor dan orang tua memandang sekolah biasa-biasa saja. Motivasi hanyalah dari teman-teman. Kedua orang tua ke kebun/sawah pagi. Ketika pulang sekolah rumah terkunci. Biasanya sepiring nasi ditempatkan di langki gelebeg dan baju ganti disangkutkan di sunduk. Persetan dengan pesan-pesan guru atau PR yang diberikan tadi karena perut amat lapar dan sebelum hujan turun atau petir menyambar angkasa, harus menyusul ibu dan bapak ke kebun/sawah. Dunia dan pengalaman belajar di sekolah selesai hari ini. Sore ketika rumah-rumah berdinding bedeg telah diterangi lampu minyak gas, kami baru kembali ke desa. Setelah makan malam hari, kami tidur. Belajar sangat jarang karena capek atau kedinginan. 

Suatu pagi saya masuk sekolah kelas I. Di halamannya ada tiang bendera. Di sinilah saya mendengar lagu Indonesia Raya yang tidak saya pahami. Asing. Saya juga tidak mengerti bahasa Indonesia. Tidak tahu apa arti kata “naik” kelas. Saya kira tidak ada aturan naik kelas dan tinggal kelas. Di awal tahun kedua, saya masuk kelas II, begitu saja, sebagaimana teman lain. Empat tahun lagi saya baru tahu, saya sebenarnya tidak naik ke kelas II. Tapi karena saya tidak bisa baca, saya abaikan tanda di buku raport yang mana kata “naik” dicoret. Hal ini baru saya mengerti di kelas V ketika saya telah bisa baca dan mafhum. Ternyata saya tidak naik kelas! 

Hingga di akhir semester pertama di kelas III saya adalah siswa yang bernasib sangat malang karena saya tidak bisa membaca! Saya menikmati hukuman di depan kelas. Sudah berbagai cara saya tempuh tetapi tetap tidak bisa baca. Ini membuat saya dihina oleh guru. Dibenci. Tapi tak ada usaha guru membantu saya. Justru guru menghukum saya di depan kelas. Dengan hukuman inilah baginya jalan untuk saya bisa baca, dengan membuat saya malu. Di hati kecil saya sedih dan merasa diperlakukan tidak adil. Kawan-kawan yang bisa baca mendapat kasih sayang guru. Saya ingin disayangi juga tetapi jelas tidak ada alasan bagi guru untuk ini pada dan atas diri saya. Tapi saya siswa yang kotor dan buta huruf. Saya pun bercita-cita ingin bisa baca. Namun sebelum cita-cita ini terwujud, saya pura-pura bisa baca dan membayangkan bagaimana kehidupan di dalam dunia bacaan. Inilah yang menjadi impian saya yang ingin diwujudkan lewat gerakan literasi akar rumput. 

Hal itu terjadi sepanjang dua tahun lebih karena di awal kelas IV saya masih membaca dengan mengeja. Saya juga buta angka sampai kelas tiga. Pelajaran berhitung selalu diberi di akhir karena siswa yang benar jawab boleh pulang. Dan saya selalu paling akhir dan dipulangkan paksa oleh guru. Di kelas dua saya dipukul oleh Ibu Dewa Sukarni yang mengajar perkalian karena saya menggunakan cara yang salah dalam berhitung. Karena sangat terkejut, sampai terkencing di celana. 

Pernah juga saya menerima kekerasan dari siswa kelas VI yang saya tahu namanya I Macan. Seperti hewan buas inilah ia menyergap saya di halaman. Tapi tak ada yang menolong saya. Kekerasan lain yang terjadi dalam kehidupan saya di SD adalah ejekan yang dari teman-teman karena bentuk telinga saya tidak sempurna. Untuk ke sekian episode saya menderita: dihukum guru karena tidak bisa baca; dipukul sampai kencing di celana gara-gara berhitung perkalian dengan cara yang salah; dan menerima ejekan yang menyakitkan atau “disergap” macan di halaman sekolah. 

Mungkin saat itu, saya tidak memnyoal karena saya tidak mengerti. Tetapi juga karena iklim pendidikan yang keras dan kasar, membuat guru bersikap seenaknya kepada saya. Tidak ada seorang pun yang membantu saya. Saya tetap bertahan bisa sekolah dan tamat. Derita pada tiga tahun awal di SD tampaknya ditebus oleh kemajuan belajar yang saya capai memasuki kelas V. Ini sama sekali bukan karena guru-guru itu. Ini murni dari perkembangan alamiah dan usaha saya sendiri karena saya ingin mendapat perhatian dan keadilan para guru. Saya ingin disayangi! Disayangi guru atau diperhatikan saja, adalah kebahagiaan atau kebangaan yang tiada terperi. Yang mana selama ini hanya didapat oleh teman-teman saya yang lainnya. 

Sama sekali tidak merasa putus asa dalam derita di SDN 1 Batungsel. Saya tetap bersekolah. Mengadu, jangan boleh ke orang tua karena akan dibalik ke diri saya. Karena itu, cita-cita saya yang lain, selain bisa baca; adalah saya ingin sekali dipilih oleh guru untuk mewakili sekolah dalam beberapa lomba, seperti paduan suara atau lomba membuat patung pasir. Di lomba paduan suara, jangan harap apa-apa. Ini tak mungkin! Ini ajang untuk anak-anak pilihan. Saya hanya menonton dengan kagum dari sisi pintu ketika mereka menyanyikan lagu-lagu koor. Dan saya tetap dapat menikmati keindahannya, seperti satu lagu Bali yang kala itu dilombakan, “Don Dadape”. 

Guru mengumumkan akan ada lomba membuat patung pasir yang lokasinya di pantai. Saya tidak pernah pergi jauh keluar desa naik kendaraan. Maka jika saya nanti bisa ikut atau dipilih guru, maka saya akan mendapat kesempatan pergi jauh bersama teman-teman. Saya rajin berlatih atau membatu seorang teman yang dipercaya jadi “pematungnya”. Saya rela disuruh apa saja dengan harapan satu-satunya dan terbesar: saya ikut tim sekolah di ajang lomba patung pasir di Pantai Soka. Tibalah pada saat yang paling menentukan “nasib”. Sudah dapat saya duga, tidak terpilih. Anehnya, guru tebal muka. Kok tidak bisa menghargai kerajinan saya selama persiapan. Dengan sombongnya, menolak saya ikut ke Pantai Soka. Untunglah saya tidak merasa kecewa berlama lama karena mafhum terhadap segala kuasa guru.

Masih serupa dengan kejadian di atas, satu-satunya kesempatan saya ikut adalah pada lomba sendok-kelereng. Terpilih bukan karena sikap iklas guru tetapi karena tidak ada siswa yang mau. Saya hanya “ban serep”. Saya ikut lomba ini dan saya gunakan kelereng yang pecah sebagain. Ketika ditempatkan dalam sendok yang ujungnya saya gigit, praktis kelereng ini bergeming. Saya menang! Anehnya, guru membiarkan saya melakukan tindakan ini. Saya memang sengaja menggunakan kelereng pecah karena saya tidak punya. Di dapur hanya ada sendok. Tapi guru tidak menyiapkan kelereng sama sekali. 

Karena derita itu, saya senang sekali ketika di semester II kelas satu, gempa hebat mengguncang (Gempa Seririt, 1976). Sekolah saya roboh. Saya libur. Saya bebas penderitaan akibat sekolah, lembaga yang merenggut waktu saya di kebun kopi atau di uma! Tentu bencana ini tidak berpihak kepada saya selamanya. Sekolah darurat segera dibangun. Awal kelas dua, saya sudah kembali ke sekolah. Penderitaan pun berlanjut, sampai saya mencapai episode kemajuan yang luar biasa. Inilah yang memberi saya kesan baik untuk jiwa. 

Saya pun meninggalkan sekolah di desa, sebuah Sekolah Rakyat tertua di Kecamatan Pupuan, dibangun semasa Jepang. Di Kota Tabanan, di sebuah sekolah partikelir milik Yayasan Perguruan Rakyat Saraswati, saya diterima masuk tanpa tes karena sekolah ini kekurangan siswa. Di sinilah saya akhirnya menemukan guru-guru yang memberi perhatian. Mereka menyayangi saya. Mereka adil kepada saya. Itu modal besar untuk belajar dan berjalan meretas masa depan lewat jalur pendidikan. 

Di SLUB Saraswati 2 saya berjumpa Bapak Cawi yang membuat saya mencintai aritmatika, aljabar, dan geometri. Di kelasnya suatu siang saya jadi amat tercerahkan dan mafhum, soal konsep bilangan prima. Ibu Sundari mengenalkan saya dengan cerita perang dalam pelajaran sejarah. Pak Made Bandem mengajari saya ilmu fisika. Dari guru biologi saya tahu teori asal mula kehidupan, seperti generatio spontanea atau aksioma “makhluk hidup berasal dari telor” dan mengajari saya metode ilmiah lewat cerita problem solving dan eksperimen saintifik, mengapa dua batang singkong harus tumbuh beda: yang satu subur dan yang satu kurus kering? Pak Seraya mengajarkan agama dengan cara praktis. Pak Made Predana mengajarkan bahasa Bali dengan pendekatan berbasis teks. Tidak ada teori bahasa dalam pelajarannya. Kami membaca satu kisah epos Ramayana dalam aksara Bali. Saya tahu ceritanya, tahu aksara, dan bahasanya. Di sekolah ini saya juga berkenalan dengan Pak Muliana guru seni rupa dan betapa bangga saya ketika mendapat menggamar meja dengan nilai 8. Guru yang baik dengan pengalaman belajar yang hebat akan menjadikan siswa itu tetap berkarya di luar pelajarannya. Saya sampai saat ini menggambar karena titik bersejarah telah tertancap dengan kuat dan penuh makna ketika di SMP. Di SMP inilah saya mencapai puncak prestasi, melampaui semua prestasi teman-teman saat SD. Saya meraih juara umum tetap dan dapat hadiah bebas SPP serta di kelas III menjadi siswa teladan sekecamatan Tabanan. 

Sekolah SMA saya masih satu yayasan dengan SMP. Guru-guru sudah tidak penting bagi saya. Yang terjadi di sini adalah kemerdekaan yang saya dapat dari kepala sekolah dalam mengelola organisasi OSIS. Soal akademik sudah selesai karena di SMA ini pun saya selalu langganan juara umum dan bebas SPP. Saya mencapai ini tanpa guru. Saya memiliki cara belajar sendiri dan konsistensi melakukannya. Merdeka dan mandiri! Yang saya dapat di SMA Saraswati (SLUA 1) adalah pengalaman organisasi sekolah. Saya meninggalkan SMA ini dengan prestasi, masuk universitas tanpa tes. 

Saya jadi dosen dan saya belajar banyak soal pedagogi. Masa lalu saya yang buruk ketika di SDN 1 Batungsel, terutama pada tiga episode buruk itu, di tiga tahun awal, selalu menjadi cerimin untuk saya hindari. Saya ingin menebus semua itu. Saya melakukan hal sebaliknya karena itu saya berpihak kepada siswa atau mahasiswa saya yang mengalami berbagai kekurangan struktural. 

  • Penulis, dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja serta penggerak literasi di desanya, Batungsel. 
Artikel ini telah dibaca 111 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Bertapa Kata-kata di Era Media Sosial [Renungan Hari Saraswati]

20 Mei 2023 - 06:10 WITA

Literasi di Tengah Tantangan Ekonomi Orang Tua Siswa: Catatan Safari Literasi Akar Rumput di Jembrana

14 Mei 2023 - 11:40 WITA

Menguak Hegemoni Teks Ilmiah di Kampus: Catatan Safari Literasi di UPMI Bali

25 Maret 2023 - 09:17 WITA

Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai

12 Desember 2022 - 18:39 WITA

Ketimpangan Filsafat dan Dominasi Superkognitif: Renungan Hari Saraswati

22 Oktober 2022 - 08:52 WITA

Ruang bagi Kesenian Modern

11 Oktober 2022 - 15:26 WITA

Trending di Bale Bengong