***
Nun di sana, di sudut kamar, Luh Kumala tertunduk menyendiri bermuram durja. Matanya semerah saga, wajahnya dibanjiri air mata, rambutnya kusut masai macam diterpa bencana. Kacau, kecewa, dan merana. Itulah yang sedang melandanya. Hatinya hancur berantakan. Terisak-isak dia menangis.
Putu Rai, laki-laki yang amat dicintainya, tega berkhianat! Jalinan asmara sekian tahun kandas lunas setelah dia berpaling ke perempuan lain, meninggalkan perih hati yang tiada tertanggungkan. Sakit sekali. Rasa sakit yang menjelma dendam kesumat. Jika dia tidak bisa memiliki laki-laki itu, perempuan manapun tidak boleh bisa! Maka dia mengirim terang bulan itu untuk sang mantan kekasih. Terang bulan yang telah dilumuri cetikalias racun mematikan. Astaga!
Luh Kumala telah mengirim malapetaka. Tangisnya seketika berganti tawa. Tawa histeris seorang perempuan yang terluka dan putus asa. Dia puas sudah melakukannya. Dia sudah berhasil menghabisi laki-laki tak setia itu. Dia merasa sudah berhasil.
“Ha-ha-ha… Ha-ha-ha… Aaaarrrgghhh!” Luh Kumala lupa diri dan terus saja tertawa seakan gila. (b.)
- I MADE ARIYANA, guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP 9 Denpasar. Menulis cerpen sejak duduk di bangku kuliah. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di DenPost edisi Minggu.