Ketut Lacur berpikir memang tidak bijak menyia-nyiakan makanan. Apalagi di masa sulit seperti sekarang. Dan tidak sopan juga menolak pemberian orang.
“Terima kasih kalau begitu,” ucapnya sambil tersenyum sumringah.
“Sama-sama.”
Dalam perjalanan pulang, Ketut Lacur mengucap syukur atas rezekinya hari ini. Selain dapat uang, dia juga ketiban makanan. Ternyata nasibnya tidak benar-benar buruk. Terang bulan pemberian itu akan dibawanya pulang. Dia sudah membayangkan betapa anaknya akan senang mendapat gapgapan.
Benar saja. Sampai di rumah, Ketut Lacur langsung disambut anaknya yang semata wayang.
“Bapak bawa apa itu?”
“Oleh-oleh untuk anak bapak tersayang.”
“Horeee!” seru sang anak girang.
Sang istri juga senang suaminya sudah pulang. “Mau ngopi dulu atau langsung makan?” tanyanya penuh perhatian.
“Ngopi saja dulu, mumpung ada terang bulan,” jawab Ketut Lacur lembut pada istrinya tersayang.
Dia pun duduk di sebelah anaknya. Diperhatikannya sang anak begitu lahap menikmati terang bulan, macam tiga hari tidak makan.
“Enak, Nak?”
Si anak mengangguk. Bibirnya penuh berlumuran coklat.
“Kalau begitu harus habis ya.”
Kopi buatan istri datang, Ketut Lacur urung mengambil terang bulan. Tak sampai hati dia mengganggu kesenangan anaknya. Biarlah nanti aku minta kalau bersisa, pikirnya. Selain pekerja keras bermental baja, Ketut Lacur juga sosok laki-laki penyayang keluarga. Sayang betul dia pada anaknya. Baginya, kebahagiaan anak adalah yang utama.
Begitulah akhirnya malam turun menggantikan siang. Ketut Lacur menyudahi hari itu dengan hati tenteram. Tak tahu dia tragedi tengah menunggunya di sana, di ujung malam. Tragedi yang tak pernah terbayangkan. Tragedi yang menyengsarakan hati melebihi pandemi. Ketut Lacur yang malang harus tabah kehilangan.