Si perempuan menggangguk. Senyum Ketut Lacur merekah. Dari pagi dia sudah mencari dan kini rezeki itu datang sendiri. Ah, astungkara. Sering didengarnya orang-orang berkata ‘semua akan indah pada waktunya’, mungkin inilah maksudnya.
Si perempuan menyerahkan barang berbungkus kresek hitam yang konon berisi makanan. Ketut Lacur menerimanya dengan gestur menandakan dengan senang hati. Di dalam kresek hitam, Ketut Lacur merasakan sebuah kotak. Makanan apa gerangan isi kotak itu? Ketut Lacur tidak bertanya lagi, pun tidak menaruh curiga.
“Kalau ditanya dari siapa, saya bilang apa?”
“Bilang dari Mala.”
“Siap. Saya berangkat sekarang.”
Ketut Lacur meluncur menuju alamat pengiriman. Hatinya senang bukan buatan. Lupa dia akan lapar. Lima puluh ribu tentu jumlah yang lumayan. Sungguh kalau memang rezeki tidak ke mana. Sudah ditakar, tidak mungkin tertukar.
Setelah beberapa kali belok kanan-belok kiri-lurus-kemudian belok lagi, Ketut Lacur tiba di alamat tujuan. Berdiri dia di depan sebuah rumah style bali yang bersebelahan dengan bale banjar.
“Om swastiastu, ada kiriman untuk Putu Rai!” Ketut Lacur mengucapkan salam dan memanggil penghuni rumah dengan suara lantang macam pemimpin barisan. Tak lama, dari dalam rumah muncul lelaki muda.
“Nggih, tiang Putu Rai. Kiriman apa pak ya?”
“Anu, dibilangnya sih makanan,” Ketut Lacur menyerahkan kresek hitam tersebut.
“Makanan? Tiang tidak ada pesan makanan. Siapa yang ngirim?” Si lelaki mengernyitkan dahi, bingung.
“Perempuan. Namanya Mala.”
“Mala? Mala siapa?”
“Tadi bilangnya cuma Mala. Tidak dikasih nama lengkap.”
Laki-laki itu penasaran. Siapa gerangan perempuan yang mengiriminya makanan? Seingatnya dia tidak punya sahabat atau kerabat bernama Mala. Sembari mengingat-ingat, lelaki berkacamata itu membuka kotak kertas di dalam kresek hitam. Setelah dibuka, laki-laki itu tertegun! Raut wajahnya berubah. Isinya ternyata kue terang bulan!
“Luh Kumala,” laki-laki itu berbisik pada dirinya sendiri. Kemudian dia tersenyum, “Pak, saya ingat. Pengirimnya pasti Luh Kumala, dia tahu saya suka terang bulan.”
“Baguslah kalau sudah ingat,” Ketut Lacur lega.
“Tapi saya juga baru saja beli terang bulan. Itu di dalam masih ada, belum habis. Supaya tidak mubasir, ini buat bapak saja.”
“Wah, tidak usah. Itu untuk Anda.”
“Kalau bapak tidak mau, nanti tidak ada yang makan. Kan kasihan kalau terbuang. Mending untuk bapak bawa pulang.”
“Hmm… Benar untuk saya?” Ketut Lacur malu-malu kucing.
“Iya, untuk bapak.”