Menu

Mode Gelap
50 Pengabdi Seni dan Budaya Desa Peliatan Dianugerahi Abisatya Sani Nugraha Meningkatkan Martabat Pendidikan Pertanian di Tengah Dominasi Pariwisata Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun

Cerpen · 18 Jun 2021 21:17 WITA ·

Terang Bulan Pemberian [Cerpen I Made Ariyana]


					Terang Bulan Pemberian [Cerpen I Made Ariyana] Perbesar

Kini, gering agung berkepanjangan membuat perekonomiannya oleng. Pariwisata lumpuh total dan dia harus menerima kenyataan pahit: di-PHK alias dirumahkan. Getir dia menyadari tidak punya lagi payukjakan.

Saat awal-awal dirumahkan, Ketut Lacur masih bisa bertahan dengan sedikit tabungan. Hari demi hari tanpa pemasukan, tabungan pun terkuras untuk biaya kebutuhan. Ketut Lacur mulai kocar-kacir. Apalagi sudah setahun lebih, belum tampak tanda-tanda pariwisata akan bangkit dan berjaya seperti sediakala. Dia pun memutuskan banting setir, hengkang dari dunia pariwisata. Kini Ketut Lacur berkiprah di bidang perhubungan sebagai pengemudi ojol alias ojek online.

Hp di genggaman tiba-tiba berbunyi, menyentak Ketut Lacur dari lamunan basi. Ada pemberitahuan masuk. Bergegas dia membuka hp, kiranya ada orderan masuk. Agar ada tambahan ongkos, untuk sekadar membeli lauk untuk makan nanti bersama istri dan anaknya yang seorang.

Namun sayang seribu sayang, ternyata hanya SMS penipuan berkedok menang hadiah undian. Ketut Lacur jengkel. Pasalnya, SMS tak senonoh semacam itu sering nyelonong masuk ke nomornya. Diam-diam Ketut Lacur berharap ada menteri di republik ini yang bisa menangani kejahatan itu lalu menciduk oknum-oknum culas pelakunya.

Sekian lama, lelah juga Ketut Lacur menganggur. Setengah putus asa, dia melirik jam tangan. Jam tangan yang jarumnya sudah lama ngambul. Jarum panjang mogok di angka 9, jarum pendek terkulai di angka 11. Lalu mengapa dia masih memakai jam tangan memprihatinkan itu? Rupanya angka digitalnya masih menyala. Samar-samar terlihat angka 17.30 di sana. Berkedap-kedip lemah, serupa dengan kondisi pemakainya. Lapar kian terasa. Sebaiknya aku pulang saja, putusnya.

Ketut Lacur berdiri dan sedikit limbung lantaran kakinya gemetar. Dia pakai jaket hijau seragam dinasnya dan sudah bersiap-siap untuk memacu motor ketika seorang perempuan menghampirinya.

“Pak, bisa antar barang?” si perempuan bertanya. Pucuk dicinta, ulam tiba.

“Iya, barang apa, Gek? Diantar ke mana?” Ketut Lacur balas bertanya.

“Makanan, Pak. Diantar ke alamat ini, rumahnya sebelah bale banjar,” si perempuan menyerahkan secarik kertas berisi nama dan alamat.

Ketut Lacur membaca tulisan di secarik kertas tersebut. Kepalanya mengangguk pelan tanda dia tahu alamat tersebut. Belum diiyakan, si perempuan sudah membuka dompet lalu menyodorkan selembar uang biru bergambar pahlawan nasional Bali, I Gusti Ngurah Rai. “Minta tolong ya, Pak. Ini ongkosnya. Cukup, kan?”

Mata Ketut Lacur berbinar demi melihat selembar lima puluh ribuan. Hatinya tidak kuasa menolak.

“Iya, tentu saja bisa. Ini uangnya semua untuk saya?”

Artikel ini telah dibaca 395 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Tak Sempat Kuantar Pulang

28 Mei 2022 - 00:48 WITA

Perempuan Bali

“Tonya Dadi Pedanda”: Penampilan Bisa Menipu

22 Mei 2022 - 21:51 WITA

Ketu Pedanda

Humanisme dalam Balutan Budaya Bali: Membaca Kumpulan Cerpen “Tanah” IDK Raka Kusuma

7 Juni 2021 - 01:08 WITA

Lirikan Mata Perempuanku [Cerpen IBW Widiasa Keniten]

1 Juni 2021 - 22:55 WITA

Ritual Jarak [Sajak-sajak Wayan Esa Bhaskara]

31 Mei 2021 - 08:42 WITA

Dongeng Purba I Wayan Suartha dalam “Buku Harian Ibu belum Selesai”

27 Mei 2021 - 23:58 WITA

Trending di Sloka Bali